RANGKUMAN
BUKU FILSAFAT ANALITIK
BAB I
PENDAHULUAN
Saya akan merangkum buku yang
berjudul Filsafat Analitik yang di tulis oleh Drs. Rizal Mustansyir pada tahun
1987 dijakarta utara. Jumlah buku ini tebalnya 127 halaman dengan sistematis sebagai berikut coper,hak
cipta, kata pengantar, daftar isi, isi, dan daftar pustaka, dengan 6 Bab, akan tetapi dalam rangkuman ini
saya hanya akan merangkum Bab 4, Bab 5 dan Bab 6.
BAB
II
PEMBAHASAN
PENYEBAR BENIH FILSAFAT
ANALITIK
Kalau
ada orang yang menganggap analisa bahasa merupakan hal yang baru dalam arena
filsafat, maka anggapan yang demikian itu sebenarnya kurang tepat. Sebab
kendati analisa bahasa baru dicanangkan sebagai suatu metode dalam berfilsafat
oleh Wittgenstein pada keduapuluh ini, tetapi benih analisa bahasa itu sendiri
sesungguhnya sudah ada dalam pemikiran filsuf terdahulu. Kita akan coba menurut
jejak pemikiran para filsuf itu dan menunukan ide mereka yang ada kesamaannya
dengan filsafat analitik. Ide tersebut baik disengaja maupun tidak di sengaja,
diambil oleh tokoh-tokoh filsafat analitik dan dikembangkan sesuai dengan pola
pemikiran mereka masing-masing. Oleh karena itu perkembangan filsafat analitik
hingga mencapai taraf sekarang ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari ide
yang pernah dilontarkan oleh para filsuf terdahulu. Meskipun para filsuf terdahulu
itu belum lagi menjadikan analisa bahasa sebagai satu-satunya objek pemikiran
mereka, namun dalam pemikiran mereka itu kita dapat melihat cuatan-cuatan ide
yang bercirikan filsafat analitik. Jadi baik disengaja ataupun tidak mereka
telah menanamkan saham yang tidak kecil bagi perkembangan analitik. Hal yang
demikian itu merupakan suatu pertanda ada pertautan erat antara sejarah
pertumbuhan filsafat analitik dengan sejarah perkembangan filsafat secara umum. Filsuf yang dapat
dianggap sebagai penyebar benih filsafat analitik itu antara lain Socrates,
aristoteles, Descartes, david hume. Imanuel kant, George Edward Moore
1.
Socrates (469-399)
Filsuf
piawai dari Athena ini hidup pada masa filsafat hanya dipakai sebagai lidah
kaum sofis. Kaum sofis inilah yang membawa perubahan terhadap corak pemikiran
filsafat yang semula terarah pada alam semesta, menjadi corak berpikir filsafat
yang terarah pada teori pengetahuan dan etika.
Dalam
situasi yang kacau itulah Socrates tampil ke arena filsafat untuk
menghadapi pengaruh
kaum sofis. Metode yang dipakai Socrates untuk menghadapi kelihaian silat lidah
kaum sofis itu dikenal sebagai metode dialektik-kritis.
Dengan
memakai metode dialektik-krisis ini Socrates berhasil mengalahkan kaum sofis,
dalam banyak perdebatan yang mereka lakukan. Disini kita melihat, tujuan utama
Socrates adalah menjernihkan pebagai pengertian yang selama ini dikacaukan oleh
kaum sofis. Atau dengan kata lain, metode dialektik-kritis yang dipakai Socrates
itu dimaksudkan untuk menyembuhkan kekacauan yang terjadi dalam arena filsafat
pada masa itu, yang ditimbulkan oleh kaum sofis. Kedua hal tersebut aspek
penyembuhan terhadap kekacauan dalam filsafat dan tidak memiliki objek sendiri
termasuk orang penyebar benih filsafat analitik yang handal pada zamannya.
2.
Aristoteles (384-322)
Filsuf
piawai kelahiran stegeira ini termasuk salah seorang cucu murid Socrates yang
paling jenius dalam bidang filsafat. Ia telah banyak menulis karya filsafat,
salah satu diantara sekian banyak karyanya, organon
merupakan sumbangan paling berharga bagi bidang filsafat analitik. Karya
tersebut berisikan aturan fikir yang sekarang lebih dikenal istilah logika.
Pokok persoalan yang dibahas Aristoteles dalam organon atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama logika
tradisional itu meliputi pengertian dan penggolongan artian, keterangan,
batasan, susunan fikir, penyimpulan langsung dan fikir, adalah butir-butir
pemikiran yang bertaut erat dengan bahasa. Dengan mempelajari aturan fikir yang
diajukan aristoteles itu, suatu bentuk pelajaran deduktif kita dapat memperoleh
keputusan yang terjamin keabsahannya.
Dengan
demikian upaya sebagian besar filsuf analitik untuk meneraokan penggunaan
bahasa logika kedalam bidang filsafat, secara nyata telah memperlihatkan
pengaruh pemikiran Aristoteles, terutama dalam bidang logika. Kendatipun bidang
logika dalam kurun waktu belakangan ini telah mengalami perkembangan yang cukup
sangat pesat (dinamakan logika modern atau logika simbolik), namun dasar-dasar
pemikiran yang digariskan Aristoteles (dinamakan logika tradisional atau logika
Aristoteles) sebelumnya masih tetap merupakan bahan pemikiran yang actual dalam
dunia filsafat pada umumnya. Oleh karena itu Aristoteles tidak saja dapat
dianggap sebagai penyebar benih bagi filsafat anallitik, akan tetap juga
peletak dasar yang kuat bagi perkembangan Atomisme logik dan positivisme logik.
3.
Rene Descartes (1596- 1650)
Filsuf
perancis ini dijuluki sebagai “Bapak filsafat modern”, karena ia menempatkan
akal fikir (rasio) pada kedudukan yang tertinggi, satu hal yang memang
didambakan oleh manusia di zaman modern. Filsafat Descartes terutama tentang
konsep manusia bersifat dualisme. Ia menganggap jiwa dan badan sebagai dua hal
yang terpisah. Konsep Descartes tentang manusia ini kelak akan dikritik
habis-habisan oleh salah seorang tokoh aliran filsafat bahasa biasa, Glbert
Ryle. Tidak tanpa disadari, barang kali juga tidak dikehendakinya, Descartes
telah memberikan rangsangan pada ryle untuk mengritik konsep tentang manusia
itu menyryt kaca mata analisa bahasa. Untuk mendapkan suatu pengetahuan yang
tidak diragukan lagi kebenarannya, Descartes menggariskan empat langkah atau
aturan sebagai berikut :
a.Kita
harus menghindari sifat tergesah-gesah dan prasangka dalam mengambil suatu
keputusan, dan hanya menerima yang dihadirkan pada akal secara jelas dan tegas
sehingga mustahil disangsikan.
b. setiap persoalan yang diteliti,
dibagikan dalam sebanyak mungkin bagia sejauh yang diperlukan bagi pemecahan
yang memadai.
c. mengatur fikiran yang sedemikian
rupa dengan bertitik tolak dari objek yang sederhana sampai pada objek yang
lebih kompleks. Atau dari pengertian yang sederhana dan mutlak sampai pada
pengertian yang kompleks dan nisbi.
d. setiap permasalahan ditinjau
secara universal atau menyeluruh, sehingga tidak ada yang dilalaikan.
Langkah-langkah yang diajukan oleh
Descartes dalam upaya untuk memperoleh kebenaran itu pada prinsipnya bersifat
analitik, terutama langkah kedua dan pula dalam pemikiran para filsuf analitik,
khususnya dalam konsep Atomisme logika russel dan wttgenstein. Kedua tokoh ini
menyakini bahwa realitas itu dapat dipecah menjadi beberapa fakta atomik.
Setiap fakta atomik dapat diungkapkan kedalam proposisi elementer, da sesuai
dengan objek putamanya itu bahasa, makna para filsuf analitik itu tidak
mengarahkan teknik analisa itu pada fakta atomik sebagai objek pembahasan,
melainkan yang proposisi elementer. Akan tetapi perbedaan yang paling jelas
antara penerapan teknik analisa Descartes dengan para filsuf analitik yaitu
“Descartes menggunakan jalan akal yang natural, tanpa teknis dan logis.
4.
David Hume (1711-1776)
Tokoh
empirisme yang berasal dari Inggris ini menganggap pengalaman sebagai yang
paling memadai untuk mencapai kebenaran. Bagi Hume, sumber segala pengertian
filosofis itu adalah pengaaman inderawi yang meliputi isi pengertian, hubungan
antara pengertian. Pandangan yang demikian jelas bertentangan dengan pandangan
dercartes yang lebih mempercayai akal sebagai sarana untuk mencapai kebenaran.
Meski Hume mengakui bahwa sikap skeptis secara metodis dari Descartes berguna
untuk memerangi metafisika, namun ia tidak mempercayai sikap setiap skeptis itu
dapat membahayakan akal sehat, sikap Hume yang secara tegas menolak sikap metafisika
itu kelak akan mewarnai pula corak pemikiran kaum pofitivisme logis.
Sumbangan
Hume lainnya bagi pertumbuhan filsafat analitik adalah pandangannya mengenai
ide sederhana dan ide kompleks. Bagi Hume, ide yang sederhana itu adalah coppy
dari perasaan yang sederhana . Selanjutnya, dalam upaya menyingkirkan
istilah-istilah kosong, artinya meneliti ide-ide kompleks yang lazim digunakan,
apakah ide itu dapat dikembalikan pad aide sederhana yangmembentuknya maka
istilah itu tidak mempunyai arti. Cara pembersihan yang diajukan Hume, akan
dikembangkan oleh kaum positivisme dalam analisa bahasa menjadi suatu prinsip
pentasdikan, Hume tidaklah menerapkan cara pembersihan ini dalam lingkup
bahasa, melainkan dalam lingkuo kesan-kesan yang didasarkan atas pengalaman,
sedangkan kaum positivism logic, menerapkan prinsip ini dalam lingkup bahasa,
selain didasarkan atas dan pengamatan yang telah diterima dalam bentuk yang
menterjemahkan, dalam ukuran yang sangat berbeda dalam halnya empirisme.
5.
Immanuel Kant (1724-1804)
Menurut Kant, pengetahuan yang
dihaasilkan oleh kaum Rasionalisme tercermin dalam putusan yang bersifat analitik. Dalam hal ini
Kant menunjuk pada tiga bidang sebagai tahapan yang harus dilalui, yaitu:
a. Bidang Inderawi ; disini peranan subjek lebih menonjol, namun harus ada
dua bentuk murni yaitu “ruang” dan “waktu” yang dapat bisa diterapkan pada pengalaman
b. Bidang akal; apa yag telah
diperoleh melalui bidang Inderawi tersebut untuk pengetahuan yang bersipat
objektif
c. Bidang Rasio; pengetahuan yang
telah diperoleh dalam bidang akal itu baru dapat dikatakan sebagai putusan.
Namun ketiga macam tersebut ide sendiri itu tidak mungkin dapat dicapai oleh
akal pikir manusia. Ke tiga ide ini hanya merupakan petunjuk untuk menciptakan
kesatuan pengetahuan.
6. George Edward Moore (1873-1958)
Pemikiran moore inilah benih filsafat analitik yang
menampakan tunasnya kendati moore belum bagi mencanangkan analisa bahasa
sebagai satu-satunya metode bagi filsafat , selanjutnya moore menjelaskan,
tugas filsafat bukanlah penjelasan ataupun penafsiran tentang pengalaman kita
melainkan memberikan penjelasan terhadap suatu konsep yang siap untuk
diketahui,
Corak pemikiran moore seperti yang telah dipaparkan
diatas itu, kelak akan disebar luaskan dan dikembangkan secara rinci oleh para
filsuf analitik. Baik secara terang-terangan maupun tidak, telah mengakui
pengaruh pemikiran moore dalam filsafat
ALIRAN DALAM
FILSAFAT ANALITIK
Pada
umumnya aliran yang ada dalam filsafat analitik itu memiliki titik tolak yang
berbeda tentang masalah penggunaan bahasa bagi maksud-maksud filsafat.
“Pertama” mereka yang
berpandangan bahwa bahasa biasa itu cukup memadai untuk maksud filsafat.
Kelemahannya terletak pada penyimpanan terhadap penggunaan bahasa biasa.
“Kedua” mereka yang
berpandangan bahwa bahasa biasa itu tidak cukup memadai bagi maksud filasafat.
Karena bahasa itu mengandung kekaburan, berdasarkan dua titik tolak yang
berbeda tentang penggunaan bahasa bagi maksud filsafat, corak pemikiran aliran
yang bersangkutan dengan teknik analisa bahasa yang mereka terapkan
A.
ATOMISME LOGIK
Aliran
ini mulai dikenal untuk pertama kali pada tahun 1918 melalui tulisan-tulisan dn
kemudian pada puncaknya dalam pemikiran-pemikiran
Atomisme logic ini adalah suatu paham atau ajaran yang
berpandangan bahwa bahasa itu dapat dipecah menjadi proposisi-proposisi atomic
atau proposisi elementer, melalui teknik analisa logic atau analisa bahasa.
Setiap proposisi atomic atau ungkapan keperibadaan suatu fakta atomic, yaitu
bagian terkecil dari realitas. Dengan pandangan yang demikian itu, kaum
atomisme logic bermaksud menunjukan adanya hubungan yang mutlak antara bahasa
dengan realitas.
B.
Konsep Atomisme logic Bertand Russel
(1872-1970)
Pada
umumnya Russel mengikuti garis pemikiran moore sebagai upaya untuk menentang
pengaruh kaum Hegelian di inggris bertitik tolak pada akal sehat, namun dalam
perkembangan pemikiran selanjutnya. Corak logic dengan bertitik tolak pada
bahasa logika, russel bermaksud menentukan corak logic yang terkandung dalam
suatu ungkapan. Oleh karena itu Russel adanya perbedaan corak logic ini melalui
perbandingan antara dua kalimat yang struktur bahasanya sama, namun memiliki
struktur logic yang berbeda.
Menurut
Russel analisa bahasa yang benar itu dapat menghasilkan pengetahuan ynag benar
pula tentang dunia, karena unsure paling kecil bahasa merupakan unsur paling
kecil dari dunia fakta. Atau dengan kata lain, ada kesamaan antara struktur
dunia fakta atau realita di satu pihak dan dunia fakta (bahasa) atau symbol
dipihak lain: ada insomorfi (kesepadaan) antara unsure bahasa dan unsur
kenyataan. Prinsip isomorfi ini berkaitan erat dengan dasar acuan bagi suatu
kata atau ungkapan. Dengan memberikan dasar acuan itu russel menganggap telah
“mengisi” setiap pernyataan dengan fakta.
Bahasa
logika sebagaimana halnya dengan russel, Wittgenstein bertitik tolak pada
bahasa logika untuk merumuskan persoalan filsafat. Dalam pendahuluan tractatus, ia mengatakan bahwa cara
merumuskan persoalan filsafat (oleh para filsuf terdahulu, pen.)
Menurut
Wittgenstein salah satu fungsi filsafat adalah menunjukkan sesuatu yang tidak
dapat dikatakan (atau difikirkan) dengan menghadirkan secara jelas sesuatu yang
dapat dikatakan. Oleh karena itu baginya, suatu karya filsafat seharusnya
mengandung penjelasan. Apa yang dihasilkan dari suatu karya filsafat, melainkan
membuat ungkapan itu terjadi.
Dengan
demikian, sejarah filsafat mencatat tradisi analisa bahasa yang sesungguhnya
terdaoat dalam pemikiran moore-russel-wittgenstein positivism logic hanya
dianggap sebagai suatu penyelangan dari tradisi analisa yang sesungguhnya dari
tokoh filsafat analitik tersebut, lantaran corak positif yang di terapkan dalam
teknik analisa bahasa itu boleh kaum positivisme logic begitu ketat dan kaku,
maka ada untuk yang tmenilai bahwa
“bahwa kaum positivisme logic ini telah membekukan metode filsafat moored an
Wittgenstein itu menjadi suatu dogma”. Namun harus diakui, atas jasa kaum
positivisme logic ini pulalah, filsafat analitik menjadi lebih dikenal oleh
lingkungan filsafat. Salah seorang tokoh positivisme logic yang berhasil
membuat filsafat analitik inindikenal diluar inggris adalah A.J. Ayer. Oleh
karena itu pembincangan mengenai teknik analisa bahasa positivisme logic dalam
tulisan ini banyak menyoroti pemikiran Ayer yang termuat dalam bukunya language, Truth and logic.
Titik-tolak
ayer untuk menghapuskan metafisika dari kancah filsafat selain didasarkan pada
prinsip juga didasarkan pada gagasan russel mengenai aturan-aturan tatabahasa
terhadap keniscayaan-keniscayaan logic. Sebagai contoh Ayer menunjukan kasus
umum terjadi dalam bahasa inggris yaitu, disaat kita menggambarkan sesuatu
melalui penggunaan bentuk tatabahasa dari subjek dan predikat.
Disitu
kita cenderung menganggap bahwa ada keharusan untuk membuat suatu perbedaan
logic antara sesuatu yang digambarkan itu sendiri dengan sifat-sifat
pengertiannya. Dengan cara pengertian itu Ayer bermaksud melibatkan
teknik-teknik analisa itu terhadap struktur bahasa yang kita gunakan.
Mengarahkan
filsafat sebagai pendamping ilmu pengetahuan, artinya tujuan analisa filsafati
adalah mengantar kita kearah suatu pandangan posotivistik mengenai filsafat.
Filsafat harus berkembang kearah logika ilmiyah yaitu, kegiatan yang
memperlihatkan pertalian logis dari hipotesa-hipotesa dan pembatasan
simbol-simbol yang terdapat didalamnya. Dalam bentuk yang bersangkutan dengan
ilmuan-ilmuan filsafat yang ada pada kejanggalan dalam melakukan penelitian
filsafat dapat membentuk karakter hidup.
Pada permasalahan yang telah terjadi pada saat yang memungkinkannya.
Di samping peranannya sebagai bidang
filsafat khusus, filsafat analitik juga ini merupakan salah satu dari aliran
filsafat. Dalam kedudukannya sebagai aliran filsafat, filsafat analitik setarap
dengan aliran filsafat lainnya, seperti Rasionallisme, Empirisme, Kritisisme,
Idealisme, dan lain-lain. Sebagaimana halnya setiap aliran filsafat yang
memperlihatkan kekhasannya melalui metode yang yang dijalankan, maka filsafat
analitik ini pun memiliki aspek metodis yang khas, yaitu metode analisa bahasa.
Peranan yang dimainkan filsafat
analitik ini disatu pihak sebagai bidang filsafat khusus, dipihak lain sebagai
suatu aliran filsafat menjadikannya berbeda dari bidang filsafat dan aliran
filsafat lainnya. Peranan ganda yang dimainkan oleh filsafat analitik inilah
yang sesungguhnya menimbulkan permasalahan dalam “tubuh” filsafat analitik itu
sendiri. Permasalahan itu terutama berkisar pada perbedaan yang timbul diantara
para flsuf analitik itu sendiri dalam menentukan penggunaan bahasa yang
dianggap tepat dan memadai bagi maksud-maksud filsafat. Para penganut atomisme
ligik dan positivism logic misalnya, menganggap bahasa logika lebih sesuai bagi
maksud-maksud filsafat, sedangkan penganut bahasa biasa, menganggap bahasa
biasa cukup memadai bagi maksud-maksud filsafat. Penentuan titik tolak
penggunaan bahasa bagi maksud-maksud filsafat yang berbeda di antara para
filsuf analitik inilah yang menimbulkan kesulitan untuk menentukan batas ruang
lingkup kegiatan flsafat analitik.
Terlepas dari segala kelemahan yang
terdapat dalam metode analisa bahasa itu, sebenarnya kita dapat mengambil
manfaat yang sangat berharga dengan kehadirannya di tengah kancah filsafat.
Beberapa manfaat yang kiranya perlu yang menjadi bahan pemikiran kita yang
mengeluti masalah filsafat meliputi antara lain:
pertama ;
sikap kritis yang diperlihatkan oleh para filsuf analitik terhadap kebanyakan
ungkapan atau istilah flsafat yang “aneh” dan membngungkan (misalnya; kritik
yang dilontarkan moore terhadap kaum) merupakan bekal yang sangat berharga bagi
mereka yang ingin terjun ke kancah filsafat. Sikap yang demikian itu membuat
kita tidak akan menelan mentah-mentah setiap konsep filsafat yang kita pelajari
bahkan kita dituntut untuk mempertimbangkannya melalui pemikiran yang jernih,
dan menghormati “akal sehat” dalam menyimpilkan pelbagai pendapat atau putusan
filsafat.
Kedua ;menyadarkan
pada kita akan besarnya peranan logika untuk memperoleh atau menarik kesimpulan
yang sahih (valid), sehingga keterkaitan yang erat antara bidang logika dengan
bahasa.
Dalam bahasa hal ini
digunakan bagi maksud-maksud filsafat mengandung alasan yang kuat. Kendati
penganut Atomisme logic dan mengenai bahasa logika sbagai satu-satunya sarana
yang paling memadai bagi filsafat agak berlebihan, namun dalam batas kewajan
tertentu kita dapat menerima alasan logis sebagai pendukung atau penunjang
putusan filsafat yang benar. Dengan demikian kita dilatih atau dituntut untuk
berfikir secara teratur.
Ketiga;
prinsip pentadiskan (perification
principle) yang diajukan oleh kaum positivisme logik (khususnya Ayer)
merupakan merupakan cara yang baik untuk melepaskan pemikiran kita dari
pernyataan semu. Pernyataan semu inilah yang membuat bidang filsafat
dijauhi seperyi yang oleh kebanyakan
ahli ilmu pengetahuan, sebab pernyataan seperti itu dianggap tidak mengandung”napas
ilmiah” yang tidak dapat dibuktikan benar atau salahnya.
Keempat;
tugas utama filsafat analitik yang ditekankan pada aspek penyembuhan bahasa
(Therapeutick), sebagaimana diajukan wittgenstein, mengandung aplikasi jadi
pembenahan penggunaan bahasa filsafat. Dengan demikian tidak terjebak didalam
teka-teki filsafat yang penuh mengandung misteri, yang tak mungkin untuk
dipecahkan. Sedikitnya kita punya alasan untuk menghindari diri dari filsafat
yang tidak mungkin untuk dijawab.
Kelima;
penekanan pada penggunaan bahasa biasa bagi maksud-maksud filsafat seperti yang
disarankan oleh penganut filsafat bahasa biasa (wittgenstein II, Ryle, dan
austin.), pembuka peluang yang lebih besar bagi kita untuk memiliki menyelidiki
sendiri perbagai masalah yang relavan dengan kehidupan kita sehari-hari.
Terutama konsep austin tengtang tindakan bahasa (speech acts), merupakan
“lahan” penelitian filsafat analitik yang luas dan menarik. Sebab kita dapat
melihatkan, disecara langsung untuk membuktikan keselarasan antara isi tuturan
dengan tindakan yang dilakukan, sebagai cermin tanggung jawab sipenutur
terhadap isi tuturannya.
Semjua contoh diatas merupakan tindakan illokusi, sebab
dalam berjanji dan menyarankan. Namun dalam tindakan illokusi itu terkebih
dahulu harus dilihat apakah situasi dan kondisi yang melingkupi memang sesuai
dengan isi tuturan. Sebab manakal isi tuturan tidak sesuai dengan situasi dan
kondisi yang melingkupinya, mak tindakan illokusi itu tindakan akan dapat
mencerminkan tanggung jawab si penutur.
Apabila ada hal tersebut tidak ada atau tidak sesuai
dengan kenyataan, berarti berarti tindakan illokusi itu tidak akan mencerminkan
tanggung jawab isi penutur terhadap isi tuturannya. Akibatnya timbul
kejanggalan hal yang bersifat tidak semestinya dalam pengungkapan isi tuturan
itu, padahal tindakan akan diselenggarakan atau yang dimaksud itu telah usai
isi tuturan yang diungkapkan dan sangatlah tidak bertanggung jawab tidak
memiliki peluang atau kemungkinan untuk menghadirinya, mungkin lantaran itu
harus menjalankan tugasnya.
Namun perlu kita ketahui bahwa “siyuasi atau keadaan yang
dikemukakan diatas bukanlah merupakan syarat bagi tindakan illukasi, keadaan
itu dibutuhkan tindakan illukasi yang wajar dan bertanggung jawab, keadaan itu
tidak dapat dianggap sebagai syarat yang mutlak bagi tindakan illukasi, karena
mungkin saja dalam kasus tindakan illukasi tertentu sipenutur memang tidak mengetahui berlakunya
keadaan yang demikian.
BAB
III
PENUTUP
1.
Kritik
Dalam buku yang saya rangkum ini
banyak kata yang memakai kata yang bersangkutan dengan kata-kata sulit dan
tidak dapat dimengerti dan memahaminya.
2.
Saran
Buku ini sangat baik untuk para
siswa para guru dan calon guru, dan dapat dijadikan modal untuk mendidik para
siswa.
3.
Daftar
Pustaka
Mustansyir , Rizal. 1987. Filsafat
analitik. Jakarta utara: PT Raja grafindo persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar