Ini Gw bkan Lu Bkn Dia dan bkan Mereka

Ini Gw bkan Lu Bkn Dia dan bkan Mereka
Persahabatan tak akan ada matinya....

Minggu, 17 Juli 2011

Rangkuman Buku filsafat analitik

RANGKUMAN
BUKU FILSAFAT ANALITIK
BAB I
PENDAHULUAN
Saya akan merangkum buku yang berjudul Filsafat Analitik yang di tulis oleh Drs. Rizal Mustansyir pada tahun 1987 dijakarta utara. Jumlah buku ini tebalnya 127 halaman    dengan sistematis sebagai berikut coper,hak cipta, kata pengantar, daftar isi, isi, dan daftar pustaka,  dengan 6 Bab, akan tetapi dalam rangkuman ini saya hanya akan merangkum Bab 4, Bab 5 dan Bab 6.
     BAB II
PEMBAHASAN
PENYEBAR BENIH FILSAFAT ANALITIK
Kalau ada orang yang menganggap analisa bahasa merupakan hal yang baru dalam arena filsafat, maka anggapan yang demikian itu sebenarnya kurang tepat. Sebab kendati analisa bahasa baru dicanangkan sebagai suatu metode dalam berfilsafat oleh Wittgenstein pada keduapuluh ini, tetapi benih analisa bahasa itu sendiri sesungguhnya sudah ada dalam pemikiran filsuf terdahulu. Kita akan coba menurut jejak pemikiran para filsuf itu dan menunukan ide mereka yang ada kesamaannya dengan filsafat analitik. Ide tersebut baik disengaja maupun tidak di sengaja, diambil oleh tokoh-tokoh filsafat analitik dan dikembangkan sesuai dengan pola pemikiran mereka masing-masing. Oleh karena itu perkembangan filsafat analitik hingga mencapai taraf sekarang ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari ide yang pernah dilontarkan oleh para filsuf terdahulu. Meskipun para filsuf terdahulu itu belum lagi menjadikan analisa bahasa sebagai satu-satunya objek pemikiran mereka, namun dalam pemikiran mereka itu kita dapat melihat cuatan-cuatan ide yang bercirikan filsafat analitik. Jadi baik disengaja ataupun tidak mereka telah menanamkan saham yang tidak kecil bagi perkembangan analitik. Hal yang demikian itu merupakan suatu pertanda ada pertautan erat antara sejarah pertumbuhan filsafat analitik dengan sejarah perkembangan filsafat secara umum. Filsuf yang dapat dianggap sebagai penyebar benih filsafat analitik itu antara lain Socrates, aristoteles, Descartes, david hume. Imanuel kant, George Edward Moore
1.      Socrates (469-399)
Filsuf piawai dari Athena ini hidup pada masa filsafat hanya dipakai sebagai lidah kaum sofis. Kaum sofis inilah yang membawa perubahan terhadap corak pemikiran filsafat yang semula terarah pada alam semesta, menjadi corak berpikir filsafat yang terarah pada teori pengetahuan dan etika.
Dalam situasi yang kacau itulah Socrates tampil ke arena filsafat untuk
menghadapi pengaruh kaum sofis. Metode yang dipakai Socrates untuk menghadapi kelihaian silat lidah kaum sofis itu dikenal sebagai metode dialektik-kritis.
Dengan memakai metode dialektik-krisis ini Socrates berhasil mengalahkan kaum sofis, dalam banyak perdebatan yang mereka lakukan. Disini kita melihat, tujuan utama Socrates adalah menjernihkan pebagai pengertian yang selama ini dikacaukan oleh kaum sofis. Atau dengan kata lain, metode dialektik-kritis yang dipakai Socrates itu dimaksudkan untuk menyembuhkan kekacauan yang terjadi dalam arena filsafat pada masa itu, yang ditimbulkan oleh kaum sofis. Kedua hal tersebut aspek penyembuhan terhadap kekacauan dalam filsafat dan tidak memiliki objek sendiri termasuk orang penyebar benih filsafat analitik yang handal pada zamannya.
2.      Aristoteles (384-322)
Filsuf piawai kelahiran stegeira ini termasuk salah seorang cucu murid Socrates yang paling jenius dalam bidang filsafat. Ia telah banyak menulis karya filsafat, salah satu diantara sekian banyak karyanya, organon merupakan sumbangan paling berharga bagi bidang filsafat analitik. Karya tersebut berisikan aturan fikir yang sekarang lebih dikenal istilah logika. Pokok persoalan yang dibahas Aristoteles dalam organon atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama logika tradisional itu meliputi pengertian dan penggolongan artian, keterangan, batasan, susunan fikir, penyimpulan langsung dan fikir, adalah butir-butir pemikiran yang bertaut erat dengan bahasa. Dengan mempelajari aturan fikir yang diajukan aristoteles itu, suatu bentuk pelajaran deduktif kita dapat memperoleh keputusan yang terjamin keabsahannya.
Dengan demikian upaya sebagian besar filsuf analitik untuk meneraokan penggunaan bahasa logika kedalam bidang filsafat, secara nyata telah memperlihatkan pengaruh pemikiran Aristoteles, terutama dalam bidang logika. Kendatipun bidang logika dalam kurun waktu belakangan ini telah mengalami perkembangan yang cukup sangat pesat (dinamakan logika modern atau logika simbolik), namun dasar-dasar pemikiran yang digariskan Aristoteles (dinamakan logika tradisional atau logika Aristoteles) sebelumnya masih tetap merupakan bahan pemikiran yang actual dalam dunia filsafat pada umumnya. Oleh karena itu Aristoteles tidak saja dapat dianggap sebagai penyebar benih bagi filsafat anallitik, akan tetap juga peletak dasar yang kuat bagi perkembangan Atomisme logik dan positivisme logik.
3.      Rene Descartes (1596- 1650)
Filsuf perancis ini dijuluki sebagai “Bapak filsafat modern”, karena ia menempatkan akal fikir (rasio) pada kedudukan yang tertinggi, satu hal yang memang didambakan oleh manusia di zaman modern. Filsafat Descartes terutama tentang konsep manusia bersifat dualisme. Ia menganggap jiwa dan badan sebagai dua hal yang terpisah. Konsep Descartes tentang manusia ini kelak akan dikritik habis-habisan oleh salah seorang tokoh aliran filsafat bahasa biasa, Glbert Ryle. Tidak tanpa disadari, barang kali juga tidak dikehendakinya, Descartes telah memberikan rangsangan pada ryle untuk mengritik konsep tentang manusia itu menyryt kaca mata analisa bahasa. Untuk mendapkan suatu pengetahuan yang tidak diragukan lagi kebenarannya, Descartes menggariskan empat langkah atau aturan sebagai berikut :
            a.Kita harus menghindari sifat tergesah-gesah dan prasangka dalam mengambil suatu keputusan, dan hanya menerima yang dihadirkan pada akal secara jelas dan tegas sehingga mustahil disangsikan.
            b. setiap persoalan yang diteliti, dibagikan dalam sebanyak mungkin bagia sejauh yang diperlukan bagi pemecahan yang memadai.
            c. mengatur fikiran yang sedemikian rupa dengan bertitik tolak dari objek yang sederhana sampai pada objek yang lebih kompleks. Atau dari pengertian yang sederhana dan mutlak sampai pada pengertian yang kompleks dan nisbi.
            d. setiap permasalahan ditinjau secara universal atau menyeluruh, sehingga tidak ada yang dilalaikan.
            Langkah-langkah yang diajukan oleh Descartes dalam upaya untuk memperoleh kebenaran itu pada prinsipnya bersifat analitik, terutama langkah kedua dan pula dalam pemikiran para filsuf analitik, khususnya dalam konsep Atomisme logika russel dan wttgenstein. Kedua tokoh ini menyakini bahwa realitas itu dapat dipecah menjadi beberapa fakta atomik. Setiap fakta atomik dapat diungkapkan kedalam proposisi elementer, da sesuai dengan objek putamanya itu bahasa, makna para filsuf analitik itu tidak mengarahkan teknik analisa itu pada fakta atomik sebagai objek pembahasan, melainkan yang proposisi elementer. Akan tetapi perbedaan yang paling jelas antara penerapan teknik analisa Descartes dengan para filsuf analitik yaitu “Descartes menggunakan jalan akal yang natural, tanpa teknis dan logis.
4.      David Hume (1711-1776)
Tokoh empirisme yang berasal dari Inggris ini menganggap pengalaman sebagai yang paling memadai untuk mencapai kebenaran. Bagi Hume, sumber segala pengertian filosofis itu adalah pengaaman inderawi yang meliputi isi pengertian, hubungan antara pengertian. Pandangan yang demikian jelas bertentangan dengan pandangan dercartes yang lebih mempercayai akal sebagai sarana untuk mencapai kebenaran. Meski Hume mengakui bahwa sikap skeptis secara metodis dari Descartes berguna untuk memerangi metafisika, namun ia tidak mempercayai sikap setiap skeptis itu dapat membahayakan akal sehat, sikap Hume yang secara tegas menolak sikap metafisika itu kelak akan mewarnai pula corak pemikiran kaum pofitivisme logis.
Sumbangan Hume lainnya bagi pertumbuhan filsafat analitik adalah pandangannya mengenai ide sederhana dan ide kompleks. Bagi Hume, ide yang sederhana itu adalah coppy dari perasaan yang sederhana . Selanjutnya, dalam upaya menyingkirkan istilah-istilah kosong, artinya meneliti ide-ide kompleks yang lazim digunakan, apakah ide itu dapat dikembalikan pad aide sederhana yangmembentuknya maka istilah itu tidak mempunyai arti. Cara pembersihan yang diajukan Hume, akan dikembangkan oleh kaum positivisme dalam analisa bahasa menjadi suatu prinsip pentasdikan, Hume tidaklah menerapkan cara pembersihan ini dalam lingkup bahasa, melainkan dalam lingkuo kesan-kesan yang didasarkan atas pengalaman, sedangkan kaum positivism logic, menerapkan prinsip ini dalam lingkup bahasa, selain didasarkan atas dan pengamatan yang telah diterima dalam bentuk yang menterjemahkan, dalam ukuran yang sangat berbeda dalam halnya empirisme.

5.      Immanuel Kant (1724-1804)
              Menurut Kant, pengetahuan yang dihaasilkan oleh kaum Rasionalisme tercermin dalam  putusan yang bersifat analitik. Dalam hal ini Kant menunjuk pada tiga bidang sebagai tahapan yang harus dilalui, yaitu:
         a. Bidang Inderawi ; disini peranan subjek lebih menonjol, namun harus ada dua bentuk murni yaitu “ruang” dan “waktu” yang dapat bisa  diterapkan pada pengalaman
         b. Bidang akal; apa yag telah diperoleh melalui bidang Inderawi tersebut untuk pengetahuan yang bersipat objektif
          c. Bidang Rasio; pengetahuan yang telah diperoleh dalam bidang akal itu baru dapat dikatakan sebagai putusan. Namun ketiga macam tersebut ide sendiri itu tidak mungkin dapat dicapai oleh akal pikir manusia. Ke tiga ide ini hanya merupakan petunjuk untuk menciptakan kesatuan pengetahuan.
      6. George Edward Moore (1873-1958)
            Pemikiran moore inilah benih filsafat analitik yang menampakan tunasnya kendati moore belum bagi mencanangkan analisa bahasa sebagai satu-satunya metode bagi filsafat , selanjutnya moore menjelaskan, tugas filsafat bukanlah penjelasan ataupun penafsiran tentang pengalaman kita melainkan memberikan penjelasan terhadap suatu konsep yang siap untuk diketahui,
            Corak pemikiran moore seperti yang telah dipaparkan diatas itu, kelak akan disebar luaskan dan dikembangkan secara rinci oleh para filsuf analitik. Baik secara terang-terangan maupun tidak, telah mengakui pengaruh pemikiran moore dalam filsafat

ALIRAN DALAM FILSAFAT ANALITIK
Pada umumnya aliran yang ada dalam filsafat analitik itu memiliki titik tolak yang berbeda tentang masalah penggunaan bahasa bagi maksud-maksud filsafat.
“Pertama” mereka yang berpandangan bahwa bahasa biasa itu cukup memadai untuk maksud filsafat. Kelemahannya terletak pada penyimpanan terhadap penggunaan bahasa biasa.
“Kedua” mereka yang berpandangan bahwa bahasa biasa itu tidak cukup memadai bagi maksud filasafat. Karena bahasa itu mengandung kekaburan, berdasarkan dua titik tolak yang berbeda tentang penggunaan bahasa bagi maksud filsafat, corak pemikiran aliran yang bersangkutan dengan teknik analisa bahasa yang mereka terapkan
A.    ATOMISME LOGIK
Aliran ini mulai dikenal untuk pertama kali pada tahun 1918 melalui tulisan-tulisan dn kemudian pada puncaknya dalam pemikiran-pemikiran
            Atomisme logic ini adalah suatu paham atau ajaran yang berpandangan bahwa bahasa itu dapat dipecah menjadi proposisi-proposisi atomic atau proposisi elementer, melalui teknik analisa logic atau analisa bahasa. Setiap proposisi atomic atau ungkapan keperibadaan suatu fakta atomic, yaitu bagian terkecil dari realitas. Dengan pandangan yang demikian itu, kaum atomisme logic bermaksud menunjukan adanya hubungan yang mutlak antara bahasa dengan realitas.
B.     Konsep Atomisme logic Bertand Russel (1872-1970)
Pada umumnya Russel mengikuti garis pemikiran moore sebagai upaya untuk menentang pengaruh kaum Hegelian di inggris bertitik tolak pada akal sehat, namun dalam perkembangan pemikiran selanjutnya. Corak logic dengan bertitik tolak pada bahasa logika, russel bermaksud menentukan corak logic yang terkandung dalam suatu ungkapan. Oleh karena itu Russel adanya perbedaan corak logic ini melalui perbandingan antara dua kalimat yang struktur bahasanya sama, namun memiliki struktur logic yang berbeda.
Menurut Russel analisa bahasa yang benar itu dapat menghasilkan pengetahuan ynag benar pula tentang dunia, karena unsure paling kecil bahasa merupakan unsur paling kecil dari dunia fakta. Atau dengan kata lain, ada kesamaan antara struktur dunia fakta atau realita di satu pihak dan dunia fakta (bahasa) atau symbol dipihak lain: ada insomorfi (kesepadaan) antara unsure bahasa dan unsur kenyataan. Prinsip isomorfi ini berkaitan erat dengan dasar acuan bagi suatu kata atau ungkapan. Dengan memberikan dasar acuan itu russel menganggap telah “mengisi” setiap pernyataan dengan fakta.
Bahasa logika sebagaimana halnya dengan russel, Wittgenstein bertitik tolak pada bahasa logika untuk merumuskan persoalan filsafat. Dalam pendahuluan tractatus, ia mengatakan bahwa cara merumuskan persoalan filsafat (oleh para filsuf terdahulu, pen.)
Menurut Wittgenstein salah satu fungsi filsafat adalah menunjukkan sesuatu yang tidak dapat dikatakan (atau difikirkan) dengan menghadirkan secara jelas sesuatu yang dapat dikatakan. Oleh karena itu baginya, suatu karya filsafat seharusnya mengandung penjelasan. Apa yang dihasilkan dari suatu karya filsafat, melainkan membuat ungkapan itu terjadi.
Dengan demikian, sejarah filsafat mencatat tradisi analisa bahasa yang sesungguhnya terdaoat dalam pemikiran moore-russel-wittgenstein positivism logic hanya dianggap sebagai suatu penyelangan dari tradisi analisa yang sesungguhnya dari tokoh filsafat analitik tersebut, lantaran corak positif yang di terapkan dalam teknik analisa bahasa itu boleh kaum positivisme logic begitu ketat dan kaku, maka ada  untuk yang tmenilai bahwa “bahwa kaum positivisme logic ini telah membekukan metode filsafat moored an Wittgenstein itu menjadi suatu dogma”. Namun harus diakui, atas jasa kaum positivisme logic ini pulalah, filsafat analitik menjadi lebih dikenal oleh lingkungan filsafat. Salah seorang tokoh positivisme logic yang berhasil membuat filsafat analitik inindikenal diluar inggris adalah A.J. Ayer. Oleh karena itu pembincangan mengenai teknik analisa bahasa positivisme logic dalam tulisan ini banyak menyoroti pemikiran Ayer yang termuat dalam bukunya language, Truth and logic.
Titik-tolak ayer untuk menghapuskan metafisika dari kancah filsafat selain didasarkan pada prinsip juga didasarkan pada gagasan russel mengenai aturan-aturan tatabahasa terhadap keniscayaan-keniscayaan logic. Sebagai contoh Ayer menunjukan kasus umum terjadi dalam bahasa inggris yaitu, disaat kita menggambarkan sesuatu melalui penggunaan bentuk tatabahasa dari subjek dan predikat.
Disitu kita cenderung menganggap bahwa ada keharusan untuk membuat suatu perbedaan logic antara sesuatu yang digambarkan itu sendiri dengan sifat-sifat pengertiannya. Dengan cara pengertian itu Ayer bermaksud melibatkan teknik-teknik analisa itu terhadap struktur bahasa yang kita gunakan.
Mengarahkan filsafat sebagai pendamping ilmu pengetahuan, artinya tujuan analisa filsafati adalah mengantar kita kearah suatu pandangan posotivistik mengenai filsafat. Filsafat harus berkembang kearah logika ilmiyah yaitu, kegiatan yang memperlihatkan pertalian logis dari hipotesa-hipotesa dan pembatasan simbol-simbol yang terdapat didalamnya. Dalam bentuk yang bersangkutan dengan ilmuan-ilmuan filsafat yang ada pada kejanggalan dalam melakukan penelitian filsafat  dapat membentuk karakter hidup. Pada permasalahan yang telah terjadi pada saat yang memungkinkannya.
            Di samping peranannya sebagai bidang filsafat khusus, filsafat analitik juga ini merupakan salah satu dari aliran filsafat. Dalam kedudukannya sebagai aliran filsafat, filsafat analitik setarap dengan aliran filsafat lainnya, seperti Rasionallisme, Empirisme, Kritisisme, Idealisme, dan lain-lain. Sebagaimana halnya setiap aliran filsafat yang memperlihatkan kekhasannya melalui metode yang yang dijalankan, maka filsafat analitik ini pun memiliki aspek metodis yang khas, yaitu metode analisa bahasa.
            Peranan yang dimainkan filsafat analitik ini disatu pihak sebagai bidang filsafat khusus, dipihak lain sebagai suatu aliran filsafat menjadikannya berbeda dari bidang filsafat dan aliran filsafat lainnya. Peranan ganda yang dimainkan oleh filsafat analitik inilah yang sesungguhnya menimbulkan permasalahan dalam “tubuh” filsafat analitik itu sendiri. Permasalahan itu terutama berkisar pada perbedaan yang timbul diantara para flsuf analitik itu sendiri dalam menentukan penggunaan bahasa yang dianggap tepat dan memadai bagi maksud-maksud filsafat. Para penganut atomisme ligik dan positivism logic misalnya, menganggap bahasa logika lebih sesuai bagi maksud-maksud filsafat, sedangkan penganut bahasa biasa, menganggap bahasa biasa cukup memadai bagi maksud-maksud filsafat. Penentuan titik tolak penggunaan bahasa bagi maksud-maksud filsafat yang berbeda di antara para filsuf analitik inilah yang menimbulkan kesulitan untuk menentukan batas ruang lingkup kegiatan flsafat analitik.
            Terlepas dari segala kelemahan yang terdapat dalam metode analisa bahasa itu, sebenarnya kita dapat mengambil manfaat yang sangat berharga dengan kehadirannya di tengah kancah filsafat. Beberapa manfaat yang kiranya perlu yang menjadi bahan pemikiran kita yang mengeluti masalah filsafat meliputi antara lain:
pertama ; sikap kritis yang diperlihatkan oleh para filsuf analitik terhadap kebanyakan ungkapan atau istilah flsafat yang “aneh” dan membngungkan (misalnya; kritik yang dilontarkan moore terhadap kaum) merupakan bekal yang sangat berharga bagi mereka yang ingin terjun ke kancah filsafat. Sikap yang demikian itu membuat kita tidak akan menelan mentah-mentah setiap konsep filsafat yang kita pelajari bahkan kita dituntut untuk mempertimbangkannya melalui pemikiran yang jernih, dan menghormati “akal sehat” dalam menyimpilkan pelbagai pendapat atau putusan filsafat.
Kedua ;menyadarkan pada kita akan besarnya peranan logika untuk memperoleh atau menarik kesimpulan yang sahih (valid), sehingga keterkaitan yang erat antara bidang logika dengan bahasa. 
Dalam bahasa hal ini digunakan bagi maksud-maksud filsafat mengandung alasan yang kuat. Kendati penganut Atomisme logic dan mengenai bahasa logika sbagai satu-satunya sarana yang paling memadai bagi filsafat agak berlebihan, namun dalam batas kewajan tertentu kita dapat menerima alasan logis sebagai pendukung atau penunjang putusan filsafat yang benar. Dengan demikian kita dilatih atau dituntut untuk berfikir secara teratur.
Ketiga; prinsip pentadiskan (perification principle) yang diajukan oleh kaum positivisme logik (khususnya Ayer) merupakan merupakan cara yang baik untuk melepaskan pemikiran kita dari pernyataan semu. Pernyataan semu inilah yang membuat bidang filsafat dijauhi  seperyi yang oleh kebanyakan ahli ilmu pengetahuan, sebab pernyataan seperti itu dianggap tidak mengandung”napas ilmiah” yang tidak dapat dibuktikan benar atau salahnya.
Keempat; tugas utama filsafat analitik yang ditekankan pada aspek penyembuhan bahasa (Therapeutick), sebagaimana diajukan wittgenstein, mengandung aplikasi jadi pembenahan penggunaan bahasa filsafat. Dengan demikian tidak terjebak didalam teka-teki filsafat yang penuh mengandung misteri, yang tak mungkin untuk dipecahkan. Sedikitnya kita punya alasan untuk menghindari diri dari filsafat yang tidak mungkin untuk dijawab.
Kelima; penekanan pada penggunaan bahasa biasa bagi maksud-maksud filsafat seperti yang disarankan oleh penganut filsafat bahasa biasa (wittgenstein II, Ryle, dan austin.), pembuka peluang yang lebih besar bagi kita untuk memiliki menyelidiki sendiri perbagai masalah yang relavan dengan kehidupan kita sehari-hari. Terutama konsep austin tengtang tindakan bahasa (speech acts), merupakan “lahan” penelitian filsafat analitik yang luas dan menarik. Sebab kita dapat melihatkan, disecara langsung untuk membuktikan keselarasan antara isi tuturan dengan tindakan yang dilakukan, sebagai cermin tanggung jawab sipenutur terhadap isi tuturannya.
            Semjua contoh diatas merupakan tindakan illokusi, sebab dalam berjanji dan menyarankan. Namun dalam tindakan illokusi itu terkebih dahulu harus dilihat apakah situasi dan kondisi yang melingkupi memang sesuai dengan isi tuturan. Sebab manakal isi tuturan tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya, mak tindakan illokusi itu tindakan akan dapat mencerminkan tanggung jawab si penutur.
            Apabila ada hal tersebut tidak ada atau tidak sesuai dengan kenyataan, berarti berarti tindakan illokusi itu tidak akan mencerminkan tanggung jawab isi penutur terhadap isi tuturannya. Akibatnya timbul kejanggalan hal yang bersifat tidak semestinya dalam pengungkapan isi tuturan itu, padahal tindakan akan diselenggarakan atau yang dimaksud itu telah usai isi tuturan yang diungkapkan dan sangatlah tidak bertanggung jawab tidak memiliki peluang atau kemungkinan untuk menghadirinya, mungkin lantaran itu harus menjalankan tugasnya.
            Namun perlu kita ketahui bahwa “siyuasi atau keadaan yang dikemukakan diatas bukanlah merupakan syarat bagi tindakan illukasi, keadaan itu dibutuhkan tindakan illukasi yang wajar dan bertanggung jawab, keadaan itu tidak dapat dianggap sebagai syarat yang mutlak bagi tindakan illukasi, karena mungkin saja dalam kasus tindakan illukasi tertentu  sipenutur memang tidak mengetahui berlakunya keadaan yang demikian.
BAB III
PENUTUP
1.      Kritik
Dalam buku yang saya rangkum ini banyak kata yang memakai kata yang bersangkutan dengan kata-kata sulit dan tidak dapat dimengerti dan memahaminya.
2.      Saran
Buku ini sangat baik untuk para siswa para guru dan calon guru, dan dapat dijadikan modal untuk mendidik para siswa.
3.      Daftar Pustaka
Mustansyir , Rizal. 1987. Filsafat analitik. Jakarta utara: PT Raja grafindo persada





Tidak ada komentar:

Posting Komentar