Ini Gw bkan Lu Bkn Dia dan bkan Mereka

Ini Gw bkan Lu Bkn Dia dan bkan Mereka
Persahabatan tak akan ada matinya....

Minggu, 17 Juli 2011

Makalah Zakat


              BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Salah satu problematika mendasar yang saat ini tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah problematika kemiskinan. Berdasarkan data resmi, angka kemiskinan di negara kita mencapai 36 juta jiwa, atau sekitar 16,4 persen dari total penduduk Indonesia[1]. Sementara itu, angka pengangguran juga sangat tinggi, yaitu sekitar 28 juta jiwa, atau 12,7 persen dari total penduduk[2].
Fakta ini merupakan hal yang sangat ironis, mengingat Indonesia adalah sebuah negara yang dikaruniai kekayaan alam yang luar biasa hebatnya. Namun demikian, kondisi ini tidak termanfaatkan dengan baik, sehingga yang terjadi justru sebaliknya. Di mana-mana kita menyaksikan fenomena eksploitasi alam yang tidak terkendali. Hutan-hutan dibabat habis, sehingga menyebabkan kerugian negara yang mencapai 30 trilyun rupiah (3 milyar dolar AS) setiap tahunnya[3]. Sumberdaya alam lainnya, seperti mineral dan barang tambang, juga tidak dapat dioptimalkan pemanfaatannya bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Yang terjadi adalah, semua kekayaan tersebut, terkonsentrasi di tangan segelintir kelompok sehingga menciptakan kesenjangan yang luar biasa besarnya. Padahal, Allah SWT telah mengingatkan bahwa pemusatan kekayaan di tangan segelintir orang adalah perbuatan yang sangat dibenci-Nya. Akibatnya adalah munculnya kesenjangan yang luar biasa di tengah-tengah masyarakat kita.
Hal yang tidak kalah menyedihkan adalah bahwa kesenjangan ini telah menyebabkan terjadinya proses perubahan budaya bangsa yang sangat signifikan, dari bangsa yang berbudaya ramah, suka bergotong royong, dan saling toleransi, menjadi bangsa yang hedonis, kasar, pemarah, dan melupakan nilai-nilai kemanusiaan. Yang kaya semakin arogan dengan kekayaannya, sementara yang miskin semakin terpuruk dalam kemiskinannya. Akibatnya, potensi konflik sosial menjadi sangat besar. Dan hal ini telah dibuktikan dengan beragamnya konflik sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, terutama dalam satu dasawarsa terakhir ini.

B.     Rumusan Masalah
Kondisi ini sesungguhnya merupakan potret dari kemiskinan struktural. Artinya, kemiskinan yang ada bukan disebabkan oleh lemahnya etos kerja, melainkan disebabkan oleh ketidakadilan sistem. Kemiskinan model ini sangat membahayakan kelangsungan hidup sebuah masyarakat, sehingga diperlukan adanya sebuah mekanisme yang mampu mengalirkan kekayaan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat mampu (the have) kepada kelompok masyarakat yang tidak mampu (the have not).
Zakat, sebagai rukun Islam yang ketiga, merupakan instrumen utama dalam ajaran Islam, yang berfungsi sebagai distributor aliran kekayaan dari tangan the have kepada the have not. Ia merupakan institusi resmi yang diarahkan untuk menciptakan pemerataan dan keadilan bagi masyarakat, sehingga taraf kehidupan masyarakat dapat ditingkatkan.
Makalah ini mencoba untuk menguraikan analisis mengenai zakat dan peranannya di dalam mengembangkan perekonomian nasional, khususnya ekonomi syari’ah. Adapun struktur penulisan makalah ini, di samping pendahuluan, juga mencakup makna dan hikmah zakat, urgensi zakat melalui lembaga (amil), dan analisis fungsi zakat sebagai distributor pendapatan. Kemudian makalah ini diakhiri dengan uraian tentang strategi pembangunan zakat di Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Makna dan Hikmah Zakat
Zakat adalah ibadah maaliyah ijtimaiyyah yang memiliki posisi yang penting, strategis dan menentukan, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat[4].Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun Islam, sebagaimana diungkapkan dalam berbagai Hadits Nabi, sehingga keberadaannya dianggap ma`lum min addien bi adl-dlaurah atau diketahui secara tomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari ke-Islaman seseorang[5]. Di dalam Al-Quran terdapat kurang lebih 27 ayat yang mensejajarkan shalat dan kewajiban zakat dalam berbagai bentuk kata[6].
Al-Quran menyatakan bahwa kesediaan berzakat dipandang sebagai indikator utama ketundukan seseorang terhadap ajaran Islam (QS. 9: 5 dan QS. 9: 11), ciri utama mukmin yang akan mendapatkan kebahagiaan hidup (QS. 23: 4), ciri utama mukmin yang akan mendapat Rahmat dan pertolongan Allah SWT (QS. 9: 73 dan QS. 22: 40-41). Kesediaan berzakat dipandang pula sebagai orang yang selalu berkeinginan untuk membersihkan diri dan jiwanya dari berbagai sifat buruk seperti bakhil, egois, rakus, dan tamak, sekaligus berkeinginan untuk selalu membersihkan, mensucikan dan mengembangkan harta yang dimilikinya (QS. 9: 103 dan QS. 30: 39).
Sebaliknya, ajaran Islam memberikan peringatan dan ancaman yang keras terhadap orang yang enggan mengeluarkan zakat. Di akhirat kelak, harta benda yang disimpan dan ditumpuk tanpa dikeluarkan zakatnya, akan berubah menjadi adzab bagi pemiliknya (QS. 9: 34-35). Sementara dalam kehidupan dunia sekarang, orang yang enggan berzakat, menurut beberapa buah Hadits Nabi, harta bendanya akan hancur, dan jika keengganan ini memassal, Allah SWT akan menurunkan berbagai adzab, seperti musim kemarau yang panjang. Atas dasar itu, sahabat Abdullah bin Mas`ud menyatakan bahwa orang-orang yang beriman diperintahkan untuk menegakkan salat dan mengeluarkan zakat. Siapa yang tidak berzakat, maka tidak ada shalat baginya. Rasulullah SAW pernah menghukum Tsa`labah yang enggan berzakat dengan isolasi yang berkepanjangan. Tak ada seorang sahabat pun yang mau berhubungan dengannya, meski hanya sekedar bertegur sapa. Khalifah Abu Bakar Shiddiq bertekad akan memerangi orang-orang yang mau shalat tetapi enggan berzakat[7]. Ketegasan sikap ini menunjukkan bahwa perbuatan meninggalkan zakat adalah suatu kedurhakaan, dan bila hal ini dibiarkan, maka akan memunculkan pelbagai kedurhakaan dan kemaksiatan yang lain[8].
Kewajiban menunaikan zakat yang demikian tegas dan mutlak itu oleh karena di dalam ajaran Islam ini terkandung hikmah dan manfaat yang demikian besar dan mulia, baik yang berkaitan dengan muzakki, mustahik, harta benda yang dikeluarkan zakatnya, maupun bagi masyarakat secara keseluruhan. Hikmah dan manfaat tersebut, antara lain adalah :
Pertama, sebagai perwujudan iman kepada Allah SWT, mensyukuri nikmat-Nya, menumbuhkan akhlak mulia dengan memiliki rasa kepedulian yang tinggi, menghilangkan sifat kikir dan rakus, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus mengembangkan dan mensucikan harta yang dimiliki (QS. 9: 103, QS. 30:39, QS. 14: 7).
Kedua, karena zakat merupakan hak bagi mustahik, maka berfungsi untuk menolong, membantu dan membina mereka, terutama golongan fakir miskin, ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan hasad yang mungkin timbul dari kalangan mereka ketika melihat golongan kaya yang berkecukupan hidupnya. Zakat, sesungguhnya bukan sekedar memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif yang sifatnya sesaat, akan tetapi memberikan kecukupan dan kesejahteraan pada mereka, dengan cara menghilangkan atau memperkecil penyebab kehidupan mereka menjadi miskin dan menderita. Ketiga, sebagai pilar jama`i antara kelompok aghniya yang berkecukupan hidupnya, dengan para mujahid yang waktunya sepenuhnya untuk berjuang di jalan Allah, sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk berusaha bagi kepentingan nafkah diri dan keluarganya (QS. 2: 273). Keempat, sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam, seperti sarana pendidikan, kesehatan, maupun sosial ekonomi dan terlebih lagi bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Kelima, untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, karena zakat tidak akan diterima dari harta yang didapatkan dengan cara yang bathil (Al-Hadits). Zakat mendorong pula umat Islam untuk menjadi muzakki yang sejahtera hidupnya.
Keenam, dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan. Dengan zakat yang dikelola dengan baik, dimungkinkan membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan, atau yang dikenal dengan konsep economic growth with equity (AM Saefuddin, 1986). Monzer Kahf (1995) menyatakan bahwa zakat dan sistem pewarisan Islam cenderung kepada distribusi harta yang egaliter, dan bahwa sebagai akibat dari zakat, harta akan selalu beredar. Zakat, menurut Mustaq Ahmad, adalah sumber utama kas negara sekaligus merupakan soko guru dari kehidupan ekonomi yang dicanangkan Al-Qur’an. Zakat akan mencegah terjadinya akumulasi harta pada satu tangan, dan pada saat yang sama mendorong manusia untuk melakukan investasi dan mempromosikan distribusi. Zakat juga merupakan institusi yang komprehensif untuk distribusi harta, karena hal ini menyangkut harta setiap muslim secara praktis, saat hartanya telah sampai atau melewati nishab.

                                                     
B.     Urgensi Zakat Melalui Lembaga (amil)
Pelaksanaan zakat didasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat dalam QS. At-Taubah ayat 60. Juga pada firman Allah SWT dalam QS. At-Taubah ayat 103. Dalam QS. 9 : 60 tersebut dikemukakan bahwa salah satu golongan yang berhak menerima zakat (mustahik zakat) adalah orang-orang yang bertugas mengurus urusan zakat (‘amilina ‘alaiha). Sedangkan dalam QS. 9 : 103 dijelaskan bahwa zakat itu diambil (dijemput) dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki) untuk kemudian diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahik). Yang mengambil dan yang menjemput tersebut adalah para petugas (‘amil). Imam Qurthubi[9] ketika menafsirkan ayat tersebut (QS. 9 : 60) menyatakan bahwa ‘amil itu adalah orang-orang yang ditugaskan (diutus oleh imam / pemerintah) untuk mengambil, menuliskan, menghitung dan mencatatkan zakat yang diambilnya dari para muzakki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Karena itu, Rasulullah saw pernah mempekerjakan seorang pemuda dari suku Asad, yang bernama Ibnu Lutaibah, untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim[10]. Pernah pula mengutus Ali bin Muaz bin Jabal pernah diutus Rasulullah saw pergi ke Yaman, di samping bertugas sebagai da’i (menjelaskan ajaran Islam secara umum), juga mempunyai tugas khusus menjadi amil zakat. Demikian pula yang dilakukan oleh para khulafaur-rasyidin sesudahnya, mereka selalu mempunyai petugas khusus yang mengatur masalah zakat, baik pengambilan maupun pendistribusiannya. Diambilnya zakat dari muzakki (orang yang memiliki kewajiban berzakat) melalui amil zakat untuk kemudian disalurkan kepada mustahik, menunjukkan kewajiban zakat itu bukanlah semata-mata bersifat amal karitatif (kedermawanan), tetapi juga ia suatu kewajiban yang juga bersifat otoritatif (ijbari)Abi Thalib ke Yaman untuk menjadi amil zakat[11][12][13]. Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat, apalagi yang memiliki kekuatan hukum formal, akan memiliki beberapa keuntungan[14], antara lain :
Pertama: Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat. Kedua: untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki. Ketiga : Untuk mencapai efisien dan efektifitas, serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat. Keempat : Untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang islami. Sebaliknya, jika zakat diserahkan langsung dari muzakki kepada mustahik, meskipun secara hukum syariah adalah sah, akan tetapi di samping akan terabaikannya hal-hal tersebut di atas, juga hikmah dan fungsi zakat, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan umat, akan sulit diwujudkan.

C.    Keuntungan Zakat Melalui Lembaga (Amil)
Di Indonesia, pengelolaan zakat diatur berdasarkan Undang-Undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 38 tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D / 291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Meskipun harus diakui bahwa dalam peraturan-peraturan tersebut masih banyak kekurangan yang sangat mendasar, misalnya tidak dijatuhkannya sanksi bagi muzakki yang melalaikan kewajibannya (tidak mau berzakat), akan tetapi undang-undang tersebut mendorong upaya pembentukan lembaga pengelola zakat yang amanah, kuat dan dipercaya oleh masyarakat.
Dalam Bab II Pasal 5 undang-undang tersebut dikemukakan bahwa pengeloalaan zakat bertujuan:

1. Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama.
2. Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
3. Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.

Dalam Bab III Undang-Undang No. 38 tahun 1999 dikemukakan bahwa organisasi pengelola zakat terdiri dari dua jenis, yaitu Badan Amil Zakat (pasal 6) dan Lembaga Amil Zakat (pasal 7). Selanjutnya pada bab tentang sanksi (Bab VIII) dikemukakan pula bahwa setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat atau mencatat dengan tidak benar tentang zakat, infak, sedekah, hibah, wasiat, waris dan kafarat, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8, pasal 12 dan pasal 11 undang-undang tersebut, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan / atau denda sebanyak-banyaknya Rp 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah). Sanksi ini tentu dimaksudkan agar BAZ dan LAZ yang ada di negara kita menjadi pengelola zakat yang kuat, amanah, dan dipercaya oleh masyarakat, sehingga pada akhirnya masyarakat secara sadar dan sengaja akan menyerahkan zakatnya kepada lembaga pengelola zakat.

D.    Zakat dan Redistribusi Pendapatan
Zakat, di samping termasuk ke dalam kategori ibadah mahdlah, juga memiliki dimensi ekonomi. Bahkan, dalam perspektif ilmu ekonomi, zakat dapat pula dijadikan sebagai instrumen utama kebijakan fiskal. Meskipun sangat disayangkan, bahwa hingga saat ini belum ada satu negara Islam pun di dunia ini yang menjadikan zakat sebagai instrumen utama kebijakan fiskal. Pada bagian ini, penulis bermaksud untuk menganalisis peran zakat sebagai alat redistribusi pendapatan dan kekayaan. Perhatikan QS. Adz-Dzariyat (51) ayat 19, dan juga QS Al-Ma’aarij (70) ayat 24-25.
                                                                       
        Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa harta yang dimiliki oleh seorang muslim tidaklah bersifat absolut. Artinya, tidak ada kepemilikan aset kekayaan yang bersifat mutlak. Ada bagian / prosentase tertentu yang diatur oleh syariah sebagai milik orang lain, yaitu milik kelompok dhuafa.
Pernyataan Allah SWT yang menegaskan bahwa ada bagian tertentu dalam harta seseorang yang bukan merupakan miliknya, menunjukkan bahwa harta tersebut harus dialirkan dan didistribusikan kepada pihak lain, yaitu orang-orang yang membutuhkan. Sehingga hal tersebut perlu diatur dalam sebuah mekanisme redistribusi yang jelas. Zakat, dalam hal ini, berperan sebagai instrumen yang mengatur aliran redistribusi pendapatan dan kekayaan. Persoalan redistribusi ini bukan merupakan persoalan yang sepele. Macetnya saluran distribusi kekayaan ini akan menyebabkan ketimpangan dan kesenjangan sosial. Bahkan, kesenjangan ini semakin meningkat tajam, terlebih lagi pada tiga dasawarsa terakhir, dimana yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Ketimpangan ini tidak hanya terjadi pada struktur sosial masyarakat dalam sebuah negara, melainkan juga terjadi dalam lingkup yang lebih besar lagi, yaitu lingkup dunia internasional. Berdasarkan data yang ada, 15 persen penduduk dunia hidup dengan pendapatan per kapita per hari sebesar 70-80 dolar AS. Pada umumnya mereka hidup di negara-negara Barat. Sementara sisanya, yaitu sekitar 85 persen, harus terpaksa hidup dengan pendapatan per kapita per hari di bawah 5 dolar AS. Kebanyakan diantara mereka tinggal di wilayah negara-negara berkembang yang mayoritas muslim[15].
Kalau kita melihat data di negara kita, persoalan kesenjangan yang dihadapi pun tidak kalah besarnya. Segelintir konglomerasi bisnis, sebagai contoh, mampu menyumbang GNP (Gross National Product) Indonesia sebanyak 58 persen. Sementara BUMN sendiri hanya mampu menyumbang 24 persen GNP. Sisanya, yaitu sebesar 18 persen, disumbang oleh mayoritas pengusaha kecil dan menengah yang jumlahnya mencapai + 40 juta jiwa[16].Sehingga dengan data tersebut, adalah hal yang wajar jika kemudian kesenjangan sosial menimbulkan potensi konflik sosial yang besar.
Untuk itu, pelaksanaan kewajiban zakat merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak. Apalagi pengumpulan zakat di Indonesia masih terbilang sangat minim, yaitu sebesar 800 miliar rupiah, dari total potensi zakat yang mencapai 20 trilyun rupiah setiap tahunnya[17].










KESIMPULAN

  1. Zakat adalah ibadah maaliyah ijtimaiyyah yang memiliki posisi yang penting, strategis dan menentukan, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat.Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun Islam, sebagaimana diungkapkan dalam berbagai Hadits Nabi, sehingga keberadaannya dianggap ma`lum min addien bi adl-dlaurah atau diketahui secara tomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari ke-Islaman seseorang. Di dalam Al-Quran terdapat kurang lebih 27 ayat yang mensejajarkan shalat dan kewajiban zakat dalam berbagai bentuk kata.
  2. Pelaksanaan zakat didasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat dalam QS. At-Taubah ayat 60. Juga pada firman Allah SWT dalam QS. At-Taubah ayat 103. Dalam QS. 9 : 60 tersebut dikemukakan bahwa salah satu golongan yang berhak menerima zakat (mustahik zakat) adalah orang-orang yang bertugas mengurus urusan zakat (‘amilina ‘alaiha). Sedangkan dalam QS. 9 : 103 dijelaskan bahwa zakat itu diambil (dijemput) dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki) untuk kemudian diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahik). Yang mengambil dan yang menjemput tersebut adalah para petugas (‘amil). Imam Qurthubi ketika menafsirkan ayat tersebut (QS. 9 : 60) menyatakan bahwa ‘amil itu adalah orang-orang yang ditugaskan (diutus oleh imam / pemerintah) untuk mengambil, menuliskan, menghitung dan mencatatkan zakat yang diambilnya dari para muzakki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya.
  3. Di Indonesia, pengelolaan zakat diatur berdasarkan Undang-Undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 38 tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D / 291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Meskipun harus diakui bahwa dalam peraturan-peraturan tersebut masih banyak kekurangan yang sangat mendasar, misalnya tidak dijatuhkannya sanksi bagi muzakki yang melalaikan kewajibannya (tidak mau berzakat), akan tetapi undang-undang tersebut mendorong upaya pembentukan lembaga pengelola zakat yang amanah, kuat dan dipercaya oleh masyarakat.
  4. Zakat, di samping termasuk ke dalam kategori ibadah mahdlah, juga memiliki dimensi ekonomi. Bahkan, dalam perspektif ilmu ekonomi, zakat dapat pula dijadikan sebagai instrumen utama kebijakan fiskal. Meskipun sangat disayangkan, bahwa hingga saat ini belum ada satu negara Islam pun di dunia ini yang menjadikan zakat sebagai instrumen utama kebijakan fiskal. Pada bagian ini, penulis bermaksud untuk menganalisis peran zakat sebagai alat redistribusi pendapatan dan kekayaan.












DAFTAR PUSTAKA

Hadrami, Abdullah Shalih. 1992, Hukum-hukum Zakat. Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya
Kaelan, dkk. 2007. Memaknai Manfaat Berzakat. Badan Penerbit Filsafat UGM
Malian, Sobirin. 2003. Tata Cara Berzakat. Yogyakarta: UII Press
Projodikono, Wiryono. 1981. Ilmu Islam. Jakarta: PT. Eresco


[1] Data Biro Pusat Statistika (BPS) 2004
[2] Data Biro Pusat Statistika (BPS) 2002
[3] Data Departemen Kehutanan RI, 2004

                                                       
[4] Yusuf Qardlawi. Al-Ibadah Fi Al-Islam, 1993. h 235
[5] Ali Yafie. Menggagas Fiqh Sosial, 1994. h 231
[6] Yusuf Qardlawi. Fiqh Zakat, 1991. h 42
[7] Wahbah Zuhaily. Al Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, 1989. h 734
[8] Zainal Muttaqin. Kewajiban Menjadi Muzakki, 1997. h 2
                                   
[9] Al-Qurthubi. Al-Jami’ Li Ahkam al-Quran, 1993. Jilid 7-8, h. 112-113
[10] ibid,
[11] ibid, h. 113.
[12] Ismail Al-Kahlani al-Shan’ani. Subulus-Salaam. juz. 2, h. 120.
[13] Abdurrahman Qadir. Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, 1998. h. 85.
[14] ibid, h. 87.
[15] Data IRTI (Islamic Research and Training Institute) Islamic Development Bank, 2004.
[16] Data Biro Pusat Statistika, 2005
[17] Data BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) 2004               


Tidak ada komentar:

Posting Komentar