BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu problematika
mendasar yang saat ini tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah problematika kemiskinan. Berdasarkan data resmi, angka
kemiskinan di negara kita mencapai 36 juta jiwa, atau sekitar 16,4 persen dari
total penduduk Indonesia[1]. Sementara itu, angka
pengangguran juga sangat tinggi, yaitu sekitar 28 juta jiwa, atau 12,7 persen
dari total penduduk[2].
Fakta ini merupakan hal yang
sangat ironis, mengingat Indonesia adalah sebuah negara yang dikaruniai
kekayaan alam yang luar biasa hebatnya. Namun demikian, kondisi ini tidak
termanfaatkan dengan baik, sehingga yang terjadi justru sebaliknya. Di
mana-mana kita menyaksikan fenomena eksploitasi alam yang tidak terkendali.
Hutan-hutan dibabat habis, sehingga menyebabkan kerugian negara yang mencapai
30 trilyun rupiah (3 milyar dolar AS) setiap tahunnya[3].
Sumberdaya alam lainnya, seperti mineral dan barang tambang, juga tidak dapat
dioptimalkan pemanfaatannya bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Yang
terjadi adalah, semua kekayaan tersebut, terkonsentrasi di tangan segelintir
kelompok sehingga menciptakan kesenjangan yang luar biasa besarnya. Padahal,
Allah SWT telah mengingatkan bahwa pemusatan kekayaan di tangan segelintir
orang adalah perbuatan yang sangat dibenci-Nya. Akibatnya adalah munculnya
kesenjangan yang luar biasa di tengah-tengah masyarakat kita.
Hal yang tidak kalah
menyedihkan adalah bahwa kesenjangan ini telah menyebabkan terjadinya proses
perubahan budaya bangsa yang sangat signifikan, dari bangsa yang berbudaya
ramah, suka bergotong royong, dan saling toleransi, menjadi bangsa yang
hedonis, kasar, pemarah, dan melupakan nilai-nilai kemanusiaan. Yang kaya semakin
arogan dengan kekayaannya, sementara yang miskin semakin terpuruk dalam
kemiskinannya. Akibatnya, potensi konflik sosial menjadi sangat besar. Dan hal
ini telah dibuktikan dengan beragamnya konflik sosial yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat kita, terutama dalam satu dasawarsa terakhir ini.
B. Rumusan Masalah
Kondisi ini sesungguhnya merupakan potret
dari kemiskinan struktural. Artinya, kemiskinan yang ada bukan disebabkan oleh
lemahnya etos kerja, melainkan disebabkan oleh ketidakadilan sistem. Kemiskinan
model ini sangat membahayakan kelangsungan hidup sebuah masyarakat, sehingga
diperlukan adanya sebuah mekanisme yang mampu mengalirkan kekayaan yang
dimiliki oleh kelompok masyarakat mampu (the have) kepada kelompok
masyarakat yang tidak mampu (the have not).
Zakat, sebagai rukun Islam yang ketiga,
merupakan instrumen utama dalam ajaran Islam, yang berfungsi sebagai
distributor aliran kekayaan dari tangan the have kepada the have not.
Ia merupakan institusi resmi yang diarahkan untuk menciptakan pemerataan dan
keadilan bagi masyarakat, sehingga taraf kehidupan masyarakat dapat
ditingkatkan.
Makalah ini mencoba untuk menguraikan
analisis mengenai zakat dan peranannya di dalam mengembangkan perekonomian
nasional, khususnya ekonomi syari’ah. Adapun struktur penulisan makalah ini, di
samping pendahuluan, juga mencakup makna dan hikmah zakat, urgensi zakat
melalui lembaga (amil), dan analisis fungsi zakat sebagai distributor
pendapatan. Kemudian makalah ini diakhiri dengan uraian tentang strategi pembangunan
zakat di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Makna dan Hikmah Zakat
Zakat
adalah ibadah maaliyah ijtimaiyyah yang memiliki posisi yang penting,
strategis dan menentukan, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan
kesejahteraan umat[4].Sebagai suatu ibadah pokok, zakat
termasuk salah satu rukun Islam, sebagaimana diungkapkan dalam berbagai Hadits
Nabi, sehingga keberadaannya dianggap ma`lum min addien bi adl-dlaurah atau
diketahui secara tomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari ke-Islaman seseorang[5].
Di dalam Al-Quran terdapat kurang lebih 27 ayat yang mensejajarkan shalat dan
kewajiban zakat dalam berbagai bentuk kata[6].
Al-Quran menyatakan bahwa kesediaan
berzakat dipandang sebagai indikator utama ketundukan seseorang terhadap ajaran
Islam (QS. 9: 5 dan QS. 9: 11), ciri utama mukmin yang akan mendapatkan
kebahagiaan hidup (QS. 23: 4), ciri utama mukmin yang akan mendapat Rahmat dan
pertolongan Allah SWT (QS. 9: 73 dan QS. 22: 40-41). Kesediaan berzakat
dipandang pula sebagai orang yang selalu berkeinginan untuk membersihkan diri
dan jiwanya dari berbagai sifat buruk seperti bakhil, egois, rakus, dan tamak,
sekaligus berkeinginan untuk selalu membersihkan, mensucikan dan mengembangkan
harta yang dimilikinya (QS. 9: 103 dan QS. 30: 39).
Sebaliknya, ajaran Islam memberikan
peringatan dan ancaman yang keras terhadap orang yang enggan mengeluarkan
zakat. Di akhirat kelak, harta benda yang disimpan dan ditumpuk tanpa
dikeluarkan zakatnya, akan berubah menjadi adzab bagi pemiliknya (QS. 9: 34-35).
Sementara dalam kehidupan dunia sekarang, orang yang enggan berzakat, menurut
beberapa buah Hadits Nabi, harta bendanya akan hancur, dan jika keengganan ini
memassal, Allah SWT akan menurunkan berbagai adzab, seperti musim kemarau yang
panjang. Atas dasar itu, sahabat Abdullah bin Mas`ud menyatakan bahwa
orang-orang yang beriman diperintahkan untuk menegakkan salat dan mengeluarkan
zakat. Siapa yang tidak berzakat, maka tidak ada shalat baginya. Rasulullah SAW
pernah menghukum Tsa`labah yang enggan berzakat dengan isolasi yang
berkepanjangan. Tak ada seorang sahabat pun yang mau berhubungan dengannya,
meski hanya sekedar bertegur sapa. Khalifah Abu Bakar Shiddiq bertekad akan
memerangi orang-orang yang mau shalat tetapi enggan berzakat[7].
Ketegasan sikap ini menunjukkan bahwa perbuatan meninggalkan zakat adalah suatu
kedurhakaan, dan bila hal ini dibiarkan, maka akan memunculkan pelbagai
kedurhakaan dan kemaksiatan yang lain[8].
Kewajiban menunaikan zakat yang demikian
tegas dan mutlak itu oleh karena di dalam ajaran Islam ini terkandung hikmah
dan manfaat yang demikian besar dan mulia, baik yang berkaitan dengan muzakki,
mustahik, harta benda yang dikeluarkan zakatnya, maupun bagi masyarakat secara
keseluruhan. Hikmah dan manfaat tersebut, antara lain adalah :
Pertama, sebagai perwujudan iman kepada Allah SWT,
mensyukuri nikmat-Nya, menumbuhkan akhlak mulia dengan memiliki rasa kepedulian
yang tinggi, menghilangkan sifat kikir dan rakus, menumbuhkan ketenangan hidup,
sekaligus mengembangkan dan mensucikan harta yang dimiliki (QS. 9: 103, QS.
30:39, QS. 14: 7).
Kedua, karena zakat merupakan hak bagi mustahik, maka
berfungsi untuk menolong, membantu dan membina mereka, terutama golongan fakir
miskin, ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allah
SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki
dan hasad yang mungkin timbul dari kalangan mereka ketika melihat golongan kaya
yang berkecukupan hidupnya. Zakat, sesungguhnya bukan sekedar memenuhi
kebutuhan yang bersifat konsumtif yang sifatnya sesaat, akan tetapi memberikan
kecukupan dan kesejahteraan pada mereka, dengan cara menghilangkan atau
memperkecil penyebab kehidupan mereka menjadi miskin dan menderita. Ketiga,
sebagai pilar jama`i antara kelompok aghniya yang berkecukupan
hidupnya, dengan para mujahid yang waktunya sepenuhnya untuk berjuang di
jalan Allah, sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk berusaha bagi
kepentingan nafkah diri dan keluarganya (QS. 2: 273). Keempat, sebagai
salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang harus
dimiliki umat Islam, seperti sarana pendidikan, kesehatan, maupun sosial
ekonomi dan terlebih lagi bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Kelima, untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar,
karena zakat tidak akan diterima dari harta yang didapatkan dengan cara yang
bathil (Al-Hadits). Zakat mendorong pula umat Islam untuk menjadi muzakki yang
sejahtera hidupnya.
Keenam, dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat
merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan. Dengan zakat yang
dikelola dengan baik, dimungkinkan membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus
pemerataan pendapatan, atau yang dikenal dengan konsep economic growth with
equity (AM Saefuddin, 1986). Monzer Kahf (1995) menyatakan bahwa zakat dan
sistem pewarisan Islam cenderung kepada distribusi harta yang egaliter, dan
bahwa sebagai akibat dari zakat, harta akan selalu beredar. Zakat, menurut
Mustaq Ahmad, adalah sumber utama kas negara sekaligus merupakan soko guru dari
kehidupan ekonomi yang dicanangkan Al-Qur’an. Zakat akan mencegah terjadinya
akumulasi harta pada satu tangan, dan pada saat yang sama mendorong manusia
untuk melakukan investasi dan mempromosikan distribusi. Zakat juga merupakan
institusi yang komprehensif untuk distribusi harta, karena hal ini menyangkut
harta setiap muslim secara praktis, saat hartanya telah sampai atau melewati nishab.
B. Urgensi Zakat Melalui Lembaga (amil)
Pelaksanaan zakat didasarkan pada firman
Allah SWT yang terdapat dalam QS. At-Taubah ayat 60. Juga pada firman Allah SWT
dalam QS. At-Taubah ayat 103. Dalam QS. 9 : 60 tersebut dikemukakan bahwa salah
satu golongan yang berhak menerima zakat (mustahik zakat) adalah orang-orang
yang bertugas mengurus urusan zakat (‘amilina ‘alaiha). Sedangkan dalam QS. 9 :
103 dijelaskan bahwa zakat itu diambil (dijemput) dari orang-orang yang
berkewajiban untuk berzakat (muzakki) untuk kemudian diberikan kepada mereka
yang berhak menerimanya (mustahik). Yang mengambil dan yang menjemput tersebut
adalah para petugas (‘amil). Imam Qurthubi[9]
ketika menafsirkan ayat tersebut (QS. 9 : 60) menyatakan bahwa ‘amil itu adalah
orang-orang yang ditugaskan (diutus oleh imam / pemerintah) untuk mengambil,
menuliskan, menghitung dan mencatatkan zakat yang diambilnya dari para muzakki
untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Karena itu, Rasulullah saw pernah
mempekerjakan seorang pemuda dari suku Asad, yang bernama Ibnu Lutaibah, untuk
mengurus urusan zakat Bani Sulaim[10].
Pernah pula mengutus Ali bin Muaz bin Jabal pernah diutus Rasulullah saw pergi
ke Yaman, di samping bertugas sebagai da’i (menjelaskan ajaran Islam secara
umum), juga mempunyai tugas khusus menjadi amil zakat. Demikian pula yang
dilakukan oleh para khulafaur-rasyidin sesudahnya, mereka selalu
mempunyai petugas khusus yang mengatur masalah zakat, baik pengambilan maupun
pendistribusiannya. Diambilnya zakat dari muzakki (orang yang memiliki
kewajiban berzakat) melalui amil zakat untuk kemudian disalurkan kepada
mustahik, menunjukkan kewajiban zakat itu bukanlah semata-mata bersifat amal
karitatif (kedermawanan), tetapi juga ia suatu kewajiban yang juga bersifat
otoritatif (ijbari)Abi Thalib ke Yaman untuk menjadi amil zakat[11][12][13].
Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat, apalagi yang memiliki kekuatan
hukum formal, akan memiliki beberapa keuntungan[14],
antara lain :
Pertama: Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar
zakat. Kedua: untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat
apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki. Ketiga :
Untuk mencapai efisien dan efektifitas, serta sasaran yang tepat dalam
penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat. Keempat
: Untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan
pemerintahan yang islami. Sebaliknya, jika zakat diserahkan langsung dari
muzakki kepada mustahik, meskipun secara hukum syariah adalah sah, akan tetapi
di samping akan terabaikannya hal-hal tersebut di atas, juga hikmah dan fungsi
zakat, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan umat, akan sulit
diwujudkan.
C. Keuntungan Zakat Melalui Lembaga (Amil)
Di Indonesia, pengelolaan zakat diatur
berdasarkan Undang-Undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dengan
Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No. 38 tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D / 291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Zakat. Meskipun harus diakui bahwa dalam peraturan-peraturan
tersebut masih banyak kekurangan yang sangat mendasar, misalnya tidak
dijatuhkannya sanksi bagi muzakki yang melalaikan kewajibannya (tidak mau
berzakat), akan tetapi undang-undang tersebut mendorong upaya pembentukan
lembaga pengelola zakat yang amanah, kuat dan dipercaya oleh masyarakat.
Dalam Bab II Pasal 5 undang-undang
tersebut dikemukakan bahwa pengeloalaan zakat bertujuan:
1. Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam
menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama.
2. Meningkatkan fungsi dan peranan pranata
keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
3. Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.
Dalam Bab III Undang-Undang No. 38 tahun
1999 dikemukakan bahwa organisasi pengelola zakat terdiri dari dua jenis, yaitu
Badan Amil Zakat (pasal 6) dan Lembaga Amil Zakat (pasal 7). Selanjutnya pada
bab tentang sanksi (Bab VIII) dikemukakan pula bahwa setiap pengelola zakat
yang karena kelalaiannya tidak mencatat atau mencatat dengan tidak benar
tentang zakat, infak, sedekah, hibah, wasiat, waris dan kafarat, sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 8, pasal 12 dan pasal 11 undang-undang tersebut,
diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan / atau denda
sebanyak-banyaknya Rp 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah). Sanksi ini tentu
dimaksudkan agar BAZ dan LAZ yang ada di negara kita menjadi pengelola zakat
yang kuat, amanah, dan dipercaya oleh masyarakat, sehingga pada akhirnya
masyarakat secara sadar dan sengaja akan menyerahkan zakatnya kepada lembaga
pengelola zakat.
D. Zakat dan Redistribusi Pendapatan
Zakat, di samping termasuk ke dalam
kategori ibadah mahdlah, juga memiliki dimensi ekonomi. Bahkan, dalam
perspektif ilmu ekonomi, zakat dapat pula dijadikan sebagai instrumen utama
kebijakan fiskal. Meskipun sangat disayangkan, bahwa hingga saat ini belum ada
satu negara Islam pun di dunia ini yang menjadikan zakat sebagai instrumen
utama kebijakan fiskal. Pada bagian ini, penulis bermaksud untuk menganalisis
peran zakat sebagai alat redistribusi pendapatan dan kekayaan. Perhatikan QS.
Adz-Dzariyat (51) ayat 19, dan juga QS Al-Ma’aarij (70) ayat 24-25.
Ayat-ayat
tersebut menunjukkan bahwa harta yang dimiliki oleh seorang muslim tidaklah bersifat
absolut. Artinya, tidak ada kepemilikan aset kekayaan yang bersifat mutlak. Ada
bagian / prosentase tertentu yang diatur oleh syariah sebagai milik orang lain,
yaitu milik kelompok dhuafa.
Pernyataan Allah SWT yang menegaskan bahwa
ada bagian tertentu dalam harta seseorang yang bukan merupakan miliknya,
menunjukkan bahwa harta tersebut harus dialirkan dan didistribusikan kepada
pihak lain, yaitu orang-orang yang membutuhkan. Sehingga hal tersebut perlu
diatur dalam sebuah mekanisme redistribusi yang jelas. Zakat, dalam hal ini,
berperan sebagai instrumen yang mengatur aliran redistribusi pendapatan dan
kekayaan. Persoalan redistribusi ini bukan merupakan persoalan yang sepele.
Macetnya saluran distribusi kekayaan ini akan menyebabkan ketimpangan dan kesenjangan
sosial. Bahkan, kesenjangan ini semakin meningkat tajam, terlebih lagi pada
tiga dasawarsa terakhir, dimana yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin
miskin.
Ketimpangan ini tidak hanya terjadi pada
struktur sosial masyarakat dalam sebuah negara, melainkan juga terjadi dalam
lingkup yang lebih besar lagi, yaitu lingkup dunia internasional. Berdasarkan
data yang ada, 15 persen penduduk dunia hidup dengan pendapatan per kapita per
hari sebesar 70-80 dolar AS. Pada umumnya mereka hidup di negara-negara Barat.
Sementara sisanya, yaitu sekitar 85 persen, harus terpaksa hidup dengan
pendapatan per kapita per hari di bawah 5 dolar AS. Kebanyakan diantara mereka
tinggal di wilayah negara-negara berkembang yang mayoritas muslim[15].
Kalau kita melihat data di negara kita,
persoalan kesenjangan yang dihadapi pun tidak kalah besarnya. Segelintir
konglomerasi bisnis, sebagai contoh, mampu menyumbang GNP (Gross National
Product) Indonesia sebanyak 58 persen. Sementara BUMN sendiri hanya mampu
menyumbang 24 persen GNP. Sisanya, yaitu sebesar 18 persen, disumbang oleh
mayoritas pengusaha kecil dan menengah yang jumlahnya mencapai + 40 juta jiwa[16].Sehingga
dengan data tersebut, adalah hal yang wajar jika kemudian kesenjangan sosial
menimbulkan potensi konflik sosial yang besar.
Untuk itu, pelaksanaan kewajiban zakat
merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak. Apalagi pengumpulan zakat di
Indonesia masih terbilang sangat minim, yaitu sebesar 800 miliar rupiah, dari
total potensi zakat yang mencapai 20 trilyun rupiah setiap tahunnya[17].
KESIMPULAN
- Zakat adalah ibadah maaliyah
ijtimaiyyah yang memiliki posisi yang penting, strategis dan
menentukan, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan
kesejahteraan umat.Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu
rukun Islam, sebagaimana diungkapkan dalam berbagai Hadits Nabi, sehingga
keberadaannya dianggap ma`lum min addien bi adl-dlaurah atau
diketahui secara tomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari
ke-Islaman seseorang. Di dalam Al-Quran terdapat kurang lebih 27 ayat yang
mensejajarkan shalat dan kewajiban zakat dalam berbagai bentuk kata.
- Pelaksanaan zakat didasarkan pada
firman Allah SWT yang terdapat dalam QS. At-Taubah ayat 60. Juga pada firman Allah SWT
dalam QS. At-Taubah ayat 103. Dalam QS. 9 : 60 tersebut dikemukakan bahwa
salah satu golongan yang berhak menerima zakat (mustahik zakat) adalah
orang-orang yang bertugas mengurus urusan zakat (‘amilina ‘alaiha).
Sedangkan dalam QS. 9 : 103 dijelaskan bahwa zakat itu diambil (dijemput)
dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki) untuk kemudian
diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahik). Yang mengambil
dan yang menjemput tersebut adalah para petugas (‘amil). Imam Qurthubi
ketika menafsirkan ayat tersebut (QS. 9 : 60) menyatakan bahwa ‘amil itu
adalah orang-orang yang ditugaskan (diutus oleh imam / pemerintah) untuk
mengambil, menuliskan, menghitung dan mencatatkan zakat yang diambilnya
dari para muzakki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya.
- Di Indonesia, pengelolaan zakat
diatur berdasarkan Undang-Undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 581 tahun 1999 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 38 tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jendral
Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D / 291 tahun 2000 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Meskipun harus diakui bahwa dalam
peraturan-peraturan tersebut masih banyak kekurangan yang sangat mendasar,
misalnya tidak dijatuhkannya sanksi bagi muzakki yang melalaikan
kewajibannya (tidak mau berzakat), akan tetapi undang-undang tersebut
mendorong upaya pembentukan lembaga pengelola zakat yang amanah, kuat dan
dipercaya oleh masyarakat.
- Zakat, di samping termasuk ke dalam
kategori ibadah mahdlah, juga memiliki dimensi ekonomi. Bahkan,
dalam perspektif ilmu ekonomi, zakat dapat pula dijadikan sebagai
instrumen utama kebijakan fiskal. Meskipun sangat disayangkan, bahwa
hingga saat ini belum ada satu negara Islam pun di dunia ini yang menjadikan
zakat sebagai instrumen utama kebijakan fiskal. Pada bagian ini, penulis
bermaksud untuk menganalisis peran zakat sebagai alat redistribusi
pendapatan dan kekayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Hadrami, Abdullah Shalih. 1992, Hukum-hukum
Zakat. Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya
Kaelan, dkk. 2007. Memaknai Manfaat Berzakat. Badan
Penerbit Filsafat UGM
Malian, Sobirin. 2003. Tata Cara Berzakat. Yogyakarta: UII
Press
Projodikono, Wiryono. 1981. Ilmu Islam. Jakarta: PT. Eresco
[4] Yusuf Qardlawi. Al-Ibadah Fi Al-Islam, 1993. h 235
[5] Ali Yafie. Menggagas Fiqh Sosial, 1994. h 231
[6] Yusuf Qardlawi. Fiqh Zakat, 1991. h 42
[7] Wahbah Zuhaily. Al Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, 1989.
h 734
[8] Zainal
Muttaqin. Kewajiban Menjadi Muzakki, 1997. h 2
[12] Ismail Al-Kahlani al-Shan’ani. Subulus-Salaam. juz.
2, h. 120.
[13] Abdurrahman Qadir. Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan
Sosial, 1998. h. 85.
[15] Data IRTI (Islamic Research and Training Institute) Islamic
Development Bank, 2004.
[16] Data Biro Pusat Statistika,
2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar