BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Khulul
secara etimologis berasal dari kata hall-yahull-hulûl berarti
berhenti atau diam. Menurut Abû Manshûr al-Hallaj dalam tasawuf filosofis
menyatakan bahwa khulûl adalah pengalaman spiritual seorang
sufi sehingga ia dekat dengan Allah, lalu Allah memilih kemudian menempati dan
menjelma padanya. Konsep hulûl dibangun di
atas landasan teori lâhût dan nâsût. Lâhût berasal dari perkataan ilâh yang
berarti tuhan, sedangkan lâhût berarti sifat ketuhanan. Nâsût berasal dari perkatan nâs yang berarti manusia; sedangkan nâsût berarti
sifat kemanusiaan. Menurut Al-Hamdany menyebutkan bahwa, hulul merupakan
kepercayaan manusia bahwa Allah bersemayam ditubuh salah seorang yang kiranya bersedia
untuk ditempati, karena kemurnian jiwanya dan kesulitan ruhnya. Di antara
orang-orang yang menganut aqidah dan kepercayaan itu ialah al-Hallaj yang telah
dihalalkan darahnya oleh para alim ulama hingga ia terbunuh. Konsep yang
diusung oleh Mansur al-Hallaj dalam praktek pengalaman tasawufnya sebenarnya
berpijak dari kedekatannya dengan Tuhan. Kedekatan berikut dengan segala
atribut nuansa spiritualnya bertumpu pada konsep teologi yang masih dalam
koridor spiritualitas Islam (Islamic Spirituality). Spiritualitas Islam yang
senantiasa identik dengan upaya menyaksikan Yang Satu, mengungkap Yang Satu,
dan mengenali Yang Satu, Tuhan dalam kemutlakan Realitas-Nya yang melampaui
segala manifestasi dan determinasi, Sang Tunggal yang ditegaskan dalam
al-Qur’an dengan nama Allah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
KHULUL
Khulul secara etimologis berasal dari kata hall-yahull-hulûl
berarti berhenti atau diam. Menurut Abû Manshûr al-Hallaj dalam tasawuf
filosofis menyatakan bahwa hulûl adalah
pengalaman spiritual seorang sufi sehingga ia dekat dengan Allah, lalu Allah
memilih kemudian menempati dan menjelma padanya. Konsep hulûl dibangun di atas landasan teori lâhût dan nâsût. Lâhût berasal dari perkataan ilâh
yang berarti tuhan, sedangkan lâhût berarti sifat ketuhanan. Nâsût berasal dari perkatan nâs yang berarti manusia; sedangkan nâsût berarti sifat kemanusiaan. Al-Hallaj
mengambil teori khulûl dari kaum Nasrani yang menyatakan bahwa Allah memilih
tubuh Nabi Isa, menempati, dan menjelma pada diri Isa putra Maryam. Nabi Isa
menjadi Tuhan, karena nilai kemanusiaannya telah hilang. Khulûl Allah pada diri Nabi Isa bersifat
fundamental dan permanen. Sedangkan khulul Allah pada diri al-Hallaj
bersifat sementara; melibatkan emosi dan spiritual; tidak fundamental dan
permanen.
Al-Hallaj
tidak menjadi Tuhan dan tidak menyatakan Tuhan, kecuali ucapan yang tidak
disadarinya (syathahât).
Al-Hallaj tidak kehilangan nilai kemanusiannya. Ia hanya tidak menyadarinya
selama syathahât.
Adapun tazkiyat
al-nafs adalah langkah untuk membersihkan jiwa melalui tahapan maqâmât hingga
merasakan kedekatan dengan Allah dan mengalami al-fanâ’ 'an al-nafs. Out put dari tazkiyat al-nafs
adalah lâhût manusia menjadi bening, sehingga bisa
menerima khulûl dari nâsût Allah.
Pada
tahun 301 H/913 M al-Hallaj masuk penjara Baghdad selama 8 tahun karena dituduh
terlibat makar dan nodai kesucian agama. Setidaknya ada empat tindakan
subversif yang dituduhkan kepadanya. Pertama, ia dituduh memiliki hubungan
politik dengan kaum Qarâmithah, gerakan bawah tanah yang hendak menggulingkan
pemerintah Abbasiyyah. Kedua, keyakinan al-Hallaj yang mengaku dirinya Tuhan,
ketika mengalami syathahât. Ketiga, keyakinan al-Hallaj bahwa
ibadah haji bukanlah kewajiban agama yang penting. Dan keempat, keyakinan
al-Hallaj tentang wahdat
al-adyân (kesatuan agama). Amnesti untuk al-Hallaj tidak terlaksana
karena sikap Perdana Menteri yang menghalanginya. Kasus al-Hallaj diputuskan di
Mahkamah Syari’ah dengan vonis hukuman mati dan dieksekusi dengan disalib pada
tiang gantungan tahun 309 H/922 M. Saya memandang hukum mati yang diberlakukan
kepada al-Hallaj lebih karena faktor politik karena sejarah peradaban Islam
sangat didominasi oleh politik.
B. Konsep
al-Hulul dalam teorinya Mansur al-Hallaj
1. Sketsa Biografi dan Bangunan
Pemikiran Keagamaan Mansur al- Hallaj.
Manshur al-Hallaj lahir di Persia (Iran) pada tahun 224
H/858 M. Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughist al-Husain ibn Mansur ibn Mahma
al-Baidlawi al-Hallaj.7 Ayahnya bekerja sebagai pemital kapas. Kakeknya yang
bernama Mahma adalah seorang Majusi.8[1]
Ketika masih kecil, ayahnya pindah ke Tustar, kota kecil dikawasan Wasith,
dekat Baghdad.
Masa kecilnya banyak dihabiskan untuk belajar ilmu
keagamaan. Sejak kecil, al-Hallaj mulai belajar membaca al-Qur’an, sehingga
berhasil menjadi penghafal al-Qur’an (hafidz). Pemahaman tasawuf pertama kali
ia kenal dan pelajari dari seorang sufi yang bernama Sahl al-Tustari.[2]
Karena pengembaraannya yang intens, maka ia dikenal sebagai seorang sufi yang berkelana
ke berbagai daerah. Berkelananya ke berbagai daerah, mengantarkan ia dapat
berkelana, bertmu, berteman dan bahkan berguru kepada para sufi kenamaan pada
masa itu.
Menginjak usia 20 tahun, al-Hallaj meninggalkan Tustar
menuju kota Basra dan berguru kepada Amr Makki. Untuk memperdalam keilmuannya,
seterusnya pindah ke kota Bagdad untuk menemui sekaligus berguru kepada tokoh
sufi modern yang termasyhur, yaitu al-Junaid al-Baghdadi. Ia digelari al-Hallaj
karena penghidupannya yang dia peroleh dari memintal wol.[3]
Dalam sumber lain dijelaskan, bahwa disebut al- Hallaj karena dapat membaca
pikiran-pikiran manusia yang rahasia, maka terkenal dengan Hallaj al-Asror,
penenun ilmu ghaib.[4]
Selanjutnya, al-Hallaj muda pergi ke
kota Makkah. Di kota suci ini, ia menetap selama kurang lebih satu tahun.
Selama di kota suci ini ia tinggal dan bermukim di pelataran Masjid al-Haram
sambil melakukan praktek kesufiannya. Pada situasi dan kondisi seperti inilah,
ia mengalam dan merasakan sebuah pengalaman spiritual yang tiada tara
bandingannya. Dalam sebuah pengakuannya, ia telah mengalami pengalaman mistik
yang luar biasa, yang pada wacana berikutnya kemudian terkenal dengan istilah
khulul.
Pada ujung proses merasakan dan mengalami pengalaman
spiritual yang luar bisa tersebut, al-Hallaj memutuskan untuk kembali ke kota Baghdad
dan menetap di kota ini sambil terus menyebarkan ajaran tasawufnya. Namun
demikian, keadaan menentukan lain dan memaksanya menjadi rakyat yang tertindas
dari kekejaman penguasa saat itu. Pada tanggal 18 Dzulkaidah 309 H / 922 M ia
ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh pengusa Dinasti Abbasiyah (Khalifah
Al-Muktadir Billah). Motive dan latar belakang penangkapan dan vonis hukuman
mati ini adalah bermuara dari tuduhan membawa pahamhulul yang dianggap menyesatkan
ummat. Sisi lain, al-Hallaj juga dituduh mempunyai hubungan dengan Syiah
Qaramitah.[5]
2. Konsep al-Hullul Mansur al-Hallaj
Konsep
yang diusung oleh Mansur Al-Hallaj dalam praktek pengalaman tasawufnya
sebenarnya berpijak dari kedekatannya dengan Tuhan. Kedekatan berikut dengan
segala atribut nuansa spiritualnya bertumpu pada konsep teologi yang masih
dalam koridor spiritualitas Islam (Islamic Spirituality). Spiritualitas Islam14 yang senantiasa identik dengan upaya
menyaksikan Yang Satu, mengungkap Yang Satu, dan mengenali Yang Satu, Tuhan
dalam kemutlakan Realitas-Nya yang melampaui segala manifestasi dan
determinasi, Sang Tunggal yang ditegaskan dalam al-Qur’an dengan nama Allah.[6]
Ajaran tasawuf Al-Hallaj yang terkenal adalah konsephulul.
Tuhan dipahami mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu setelah manusia
tersebut betul-betul berhasil melenyapkan sifat kemanusiaan yang ada dalam
tubuhnya.
Menurut
Al-Hallaj bahwa Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu al-lahut (sifat
ketuhanan) dan al-nasut (sifat kemanusiaan).[7]
Demikian juga manusia juga memiliki dua sifat dasar yang
sama. Oleh karena itu, antara Tuhan dan manusia terdapat kesamaan sifat.
Argumentasi pemahaman ini dibangun berdasarkan kandungan makna dari sebuah hadits
yang mengatakan bahwa : “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan
bentukNya” sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Ahamad bin Hambal
atau Imam Hambali. Hadits ini memberikan wawasan bahwa di dalam diri Adam as
terdapat bentuk Tuhan yang disebutal- lahut. Sebaliknya di dalam diri Tuhan
terdapat bentuk manusia yang disebutal-nasut.
Berdasarkan pemahaman adanya sifat antara Tuhan dan manusia tersebut,
maka integrasi atau persatuan antara Tuhan dan manusia sangat mungkin terjadi.
Proses bersatunya antara Tuhan dn manusia dalam pemahaman ini adalah dalam
bentukhulul.[8]
Bersatunya antara Tuhan dan manusia harus melalui proses bersyarat,
dimana manakala manusia berkeinginan menyatu dengan Tuhannya, maka ia harus
mampu melenyapkan sifat al-nasutnya. Lenyapnya sifat al-nasut, maka secara
otomatis akan dibarengi dengan munculnya sifat al-lahut dan dalam keadaan
seperti inilah terjadi pengalamanhulul.[9]
Untuk melenyapkan sifat al-nasut, seorang hamba harus memperbanyak
ibadah. Dengan membersihkan diri melalui ibadah dan berhasil usahanya
melenyapkan sifat ini, maka yang tinggal dalam dirinya hanya sifat al-lahut.
Pada saat itulah sifat al-nasut Tuhan turun dan masuk ke dalam tubuh seorang Sufi,
sehingga terjadilah hulul, dan peristiwa ini terjadi hanya sesaat.
Pernyataan al-Hallaj bahwa dirinya tetap ada, yang terjadi
adalah
bersatunya
sifat Tuhan di dalam dirinya, sebagaimana ungkapan syairnya :
“Maha suci zat yang sifat
kemanusiaan-Nya membukakan rahasia
ketuhanan-Nya
yang gemilang. Kemudian kelihatan bagi makhluknya
dengan
nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum”.
Dalam syair di atas tampak Tuhan mempunyai dua sifat dasar
ke- Tuhanan, yaitu “Lahut” dan “Nasut”. Dua istilah ini oleh al-Hallaj diambil dari
falsafah Kristen yang mengatakan bahwa Nasut Allah mengandung tabiat
kemanusiaan di dalamnya. Dalam konsep hulul al-Hallaj dimana Tuhan dengan sifat
ketuhanan menyatu dalam dirinya, berbaur sifat Tuhan itu dengan sifat
kemanusiaan.
Penyatuan antara roh Tuhan dengan roh manusia dilukiskan
oleh
al-Hallaj
di dalam syairnya sebagai berikut :
“JiwaMu disatukan dengan jiwaku,
sebagaimana anggur dicampur dengan air
suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan
ketika itu dalam setiap keadaaan Engkau adalah aku”.[10]
Bahkan
didalam syairnya yang lain, al-Hallaj melukiskan dengan
sangat
jelas bahwa :
“Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia
yang kucinta adalah aku.
Kami
adalah dua roh yang bersatu dalam satu tubuh. Jika engkau lihat
aku,
engkau lihat Dia, dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat kami”.[11]
Tatkala peristiwa hulul sedang berlangsung, keluarlah
syatahat (kata-kata aneh) dari lidah al-Hallaj yang berbunyi Ana al-Haqq (Aku adalah
Yang Maha Benar). Kataal-Haq dalam istilah tasawuf, berarti Tuhan. Sebagian
masyarakat saat itu menganggap al-Hallaj telah kafir, karena ia mengaku dirinya
sebagai Tuhan. Padahal yang sebenarnya, dengan segala kearifan dan kerendahan
hati spiritualnya, al-Hallaj tidak mengaku demikian. Perspektif ini dibangun
berdasarkan ungkapan syairnya yang lain dengan mengatakan bahwa :
“Aku adalah Rahasia Yang Maha Benar,
dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku,
aku hanya satu dari yang benar, dibedakanlah antara kami atau aku dan Dia Yang
Maha Benar”.
Dalam pengertian lain dapat diungkapkan bahwa syatahat yang keluar
dari mulut al-Hallaj tidak lain adalah ucapan Tuhan melalui lidahnya.[12]
Dengan ungkapan ini, semakin tidak mungkin untuk memahami bahwa
maksud al-Hallaj dengan hululnya dalam berbagai syairnya adalah dirinya al-Haq.
Jadi karena sangat cintanya kepada Allah menjadikan tidak ada pemisah antara
dirinya dengan kehendak Allah, seolah-olah dirinya dan Tuhan adalah satu.
Sebagaimana diungkapkan dalam syairnya : “Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia
yang kucintai adalah aku”.[13]
Seandainya apa yang dikemukakan oleh Harun Nasution, tentang
tafsiran al-Hallaj mengenai perintah Tuhan agar sujud kepada Adam (QS. 2 : 34)
adalah pendapat yang sebenarnya yang dimaksud oleh al-Hallaj, tentu ini
pandangan yang sesat. Karena apabila masuk ke jiwa seseorang misalnya Isa, maka
jadilah Tuhan semisal Isa, ini bertentangan dengan firman Allah “Laisa
kamitslihi syaiun”. Apabila dengan masuknya Tuhan ke dalam diri manusia tidak
dengan tidak mengurangi keberadaan Tuhan, maka berarti ada dua Tuhan atau
sekurang-kurangnya belahan Tuhan yang dapat dinamakan dengan anak Tuhan
sebagaimana yang disebut penganut Kristen sekarang, tentu ini sangat
bertentangan dengan Al-Qur’an Surat Al-Ikhlash.
Namun pendapat al-Hallaj bahwa dalam diri manusia terdapat
sifat ketuhanan itu akan masuk ke dalam diri manusia dengan jalan fana’ yaitu
dengan menghilangkan sifat kemanusiaan, hal ini dapat diterima. Sebagaimana
menurut al-Hallaj ia bukanlah Yang Maha Benar, tetapi hanyalah satu dari yang
benar. Jadi menurutnya, ia bukan Tuhan. Oleh karena itu yang lebih tepat dalam
manafsirkan atau memahami ajaran al- Hallaj adalah bahwa menurutnya, Tuhan
mengisi diri manusia-manusia tertentu dengan sifat ketuhanan, maka jadilah
manusia itu satu dari yang benar, dialah manusia yang memiliki / dikaruniai
sifat Tuhan
C. AL-HULUL
DALAM TASAWUF
A.
Sejarah Al-Khulul
Doktrin al-Hulul adalah salah satu tipe dari aliran tasawuf falsafi dan
merupakan perkembangan lanjut dari paham al-Ittihad. Konsepsi al-Hulul pertama
kali ditampilkan oleh Husein Ibn Masur al-Hallaj yang meninggal karena dihukum
mati di Baghdad pada tahun 308 H, karena paham yang ia sebarkan itu dipandang
sesat oleh penguasa pada masa itu.
B. Pengertian Al-Khulul
Pengertian al-khulul secara singkat ialah Tuhan mengambil tempat dalam
tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya
dari sifat-sifat kemausiaannya melalui fana dan ekstase.
Menurut Al-Hamdany (Sanggahan Terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi. 1969, Hal :
19) menyebutkan bahwa, hulul merupakan kepercayaan manusia bahwa Allah bersemayam
ditubuh salah seorang yang kiranya bersedia untuk ditempati, karena
kemurnian jiwanya dan kesulitan ruhnya. Di antara orang-orang yang menganut
aqidah dan kepercayaan itu ialah al-Hallaj yang telah dihalalkan darahnya oleh
para alim ulama hingga ia terbunuh.
C.
Konsep Ajaran Al-Khulul
Menurut al-Hallaj manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat
ketuhannan atau lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut. Demikian juga halnya
tuhan memiliki sifat ganda, yaitu sifat-sifat Ilahiyat dan lahut dan sifat
Insaniyah atau nasut. Apabila seseorang telah dapat menghilangkan sifat-sifat
kemanusiaannya dan mengembangkan sifat-sifat Ilahiyatnya melalui fana, maka
Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan manusia
dengan Tuhan dan inilah yang dimaksud dengan hulul.
Teori lahut dan nasut ini, berangkat dari pemahamannya tentang proses
kejadian manusia. Al-Hallaj berpendapat bahwa Adam sebagai manusia pertama
diciptakan Tuhan sebagai copy dari diri-Nya – shurah minn nafsih – dengan
segenap sifat dan kebesarannya, sebagaimana ia ungkapkan dalam syairnya.
“Maha suci dzat yang
menampakkan nasut-nya, Seiring cemerlang bersama lahut-Nya, Demikian padu makhluk-Nya pun terlihat nyata, Seperti manusia yang makan dan minum layaknya”.
Konsepsi lahut
dan nasut ini didasarkan al-Hallaj pada firman Allah dalam Surah al-Baqarah 34,
menurut pemahamannya, adanya perintah Allah agar malaikat sujud kepada Adam itu
adalah karena Allah telah menjelma dalam diri Adam sehingga ia harus disembah
sebagaimana meyembah Allah. Bagaimana gambaran hulul itu dapat dipahami dari
ungkapan al-Hallaj berikut ini:
Berbaur sudah sukma-Mu dalam rohku jadi
satu,
Bagai anggur dan air bening berpadu,
Bila engkau tersentuh, tertusuk pula aku,
Karena ketika itu, Kau dalam segala hal
adalah aku.
Aku yang kurindu, danyang kurindu Aku jua,
Kami dua jiwa padu jadi satu raga,
Bila kau lihat aku, tampak jua Dia dalam
pandanganmu,
Jika kau lihat Dia, kami dalam penglihatanmu
tampak nyata.
Dari ungkapan di atas, terlihat bahwa wujud manusia tetap ada dan sama
sekali tidak hancur atau sirna. Dengan demikian, nampaknya paham hulul ini
bersifat figuratif, bukan riel karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalam
kondisi fana dalam iradat Allah. Manusia diciptakan Tuhan sesuai dengan
citra-Nya, maka makna perpaduan itu adalah munculnya citra Tuhan ke dalam
citraNya yang ada dalam diri manusia, bukan hubungan manusia dengan Tuhan
secara riel. Oleh karena itu, ucapan ana al-haqq yang meluncur dari
lidah al-Halaj, bukanlah ia maksudkan sebagai pernyataan bahwa dirinya adalah
Tuhan. Sebab, yang mengucapkan kalimat itu pada hakikatnya adalah Tuhan juga
tetapi melalui lidah al-Hallaj. Interpretasi ini sesuai pula dengan pernyataan
al-Hallaj dalam syair berikut:
“Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, aku
bukanlah Yang Maha Benar”.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Khulul secara
etimologis berasal dari kata hall-yahull-hulûl berarti berhenti atau diam,
Menurut Abû Manshûr al-Hallaj dalam tasawuf filosofis menyatakan bahwa hulûl adalah
pengalaman spiritual seorang sufi sehingga ia dekat dengan Allah, lalu Allah
memilih kemudian menempati dan menjelma padanya, Konsep yang diusung oleh
Mansur al-Hallaj dalam praktek pengalaman tasawufnya sebenarnya berpijak dari
kedekatannya dengan Tuhan. Kedekatan berikut dengan segala atribut nuansa
spiritualnya bertumpu pada konsep teologi yang masih dalam koridor
spiritualitas Islam (Islamic Spirituality), Menurut al-Hallaj manusia mempunyai
sifat dasar yang ganda, yaitu sifat ketuhannan atau lahut dan sifat kemanusiaan
atau nasut. Demikian juga halnya tuhan memiliki sifat ganda, yaitu sifat-sifat
Ilahiyat dan lahut dan sifat Insaniyah atau nasut.
DAFTAR PUSTAKA
Azra Azyumardi, et. Al., Ensiklopedia Islam, Jakarta, PT
Ichtiar Baru van Hoeve, Cetakan X, 2002.
al-Syaiby Musthafa, Syarah al-Diwan li al-Hallaj (Beirut :
Maktabah An- Nahdhoh, 1974)
Hadi M. Abd. W., dalam pengantar
Saleh Abdul Sabur, Tragedi al-Hallaj, Pustaka, Bandung, 1976, viii.
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya
Dalam Islam (Jakarta, Raja Grafindo, 1997).
Joebar Ajoeb, dalam pengantar
Ibrahim Gazur I-Ilahi, The Secret of Ana L-Haqq, (Jakarta : Rajawali, 1986
Siregar
Rivay. 2000. Tasawuf : Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufieme. Jakarta :
PT Rajagrafindo Persada
Said
bin Abdullah Al-Hamdany. 1969. Sanggahan Terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi.
Bandung : Pelit
[1] Kamil Musthafa al-Syaiby,
Syarah al-Diwan li al-Hallaj (Beirut : Maktabah An-
Nahdhoh, 1974), 19
[2]
Azyumardi Azra, et. Al., Ensiklopedia Islam, Jakarta, PT
Ichtiar Baru van Hoeve, Cetakan X, 2002, hal. 74.
Bandung, 1976, viii.
[6] Sulaiman
Al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym, Semarang, Pustaka Nuun,
2004, hal. 4
[8] Ibid.
[9] M.
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999, hal. 57
[10] Ajoeb Joebar, dalam pengantar Ibrahim Gazur I-Ilahi, The
Secret of Ana L-Haqq,
(Jakarta : Rajawali, 1986), 21
[11] Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam,
(Jakarta, Bulan Bintang, 1973), 90.
[12] Azyumardi
Azra, et.al.,Log.cit, hal. 75
Tidak ada komentar:
Posting Komentar