Ini Gw bkan Lu Bkn Dia dan bkan Mereka

Ini Gw bkan Lu Bkn Dia dan bkan Mereka
Persahabatan tak akan ada matinya....

Rabu, 30 November 2011

Bahasa

Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang dalam kehidupannya selalu hidup bermasyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakatnya ini dikembangkan ialah norma-norma etika yang membedakan antara yang benar dan yang salah, dan norma-norma estetika yang membedakan antara yang baik dan yang buruk atau yang indah dan yang tidak indah. Norma-norma etika dan norma-norma estetika yang demikian itu diterapkannya ke dalam setiap aspek kehidupannya, juga ke dalam setiap lembaga-lembaga sosialnya.
Bahasa adalah salah satu dari lembaga sosial kemanusiaan. Karena itu tidak heranlah kalau kita di dalam berbahasa membedakan antara bentuk ucapan bahasa yang benar/betul dan yang salah, antara bentuk ucapan bahasa yang baik/indah dan yang tidak baik/tidak indah.
Sehubungann dengan ini Otto Jespersen (1954: 110) mengatakan bahwa pembedaan antara bentuk ucapan bahasa yang benar dan yang salah dan antara yang baik dan yang buruk itu disebabkan oleh karena adanya kebiasaan membedakan serupa itu dalam bidang kehidupan yang lain. Selanjutnya dikatakan bahwa pembedaan serupa itu sebenarnya bukanlah persoalan bahasa itu sendiri, melainkan pembedaan yang dibuat oleh masyarakat pemakai bahasa itu.
Bentuk ucapan bahasa yang benar dan yang baik itu sering dihubungkan dengan bentuk ucapan bahasa yang baku atau standar, yaitu bentuk ucapan bahasa yang dipakai sebagai pedoman atau dianggap sebagai bentuk ucapan bahasa yang ideal.
Ditinjau secara hakikinya dan secara ilmu pengetahuan, antara bentuk ucapan bahasa yang benar dan bentuk ucapan bahasa yang baik/bagus dan bentuk ucapan bahasa yang standar (bahasa standar) tidak bisa diidentikkan begitu saja yang satu dengan yang lainnya, karena masing-masing mempunyai pengertiannya tersendiri dan ciri-ciri yang tersendiri pula. Tetapi walaupun demikian yang satu dengan yang lainnya masih menunjukkan hubungan yang dekat yang membuat orang mengidentikkannya. Hakikat, ciri-ciri, dan hubungan antara bentuk ucapan bahasa yang benar, bentuk ucapan yang baik dan bahasa standar inilah yang akan dibahas dalam uraian berikut.
Persoalan benar-salah dalam bentuk ucapan bahasa
Persoalan benar-salah dalam bentuk ucapan bahasa merupakan persoalan yang selalu hangat dibicarakan oleh para penyelidik bahasa dan para pengajar/guru bahasa. Bermacam-macamlah pendapat orang tentang persoalan ini.
C.F. Hockett (1960: 3) misalnya mengatakan bahwa persoalan benar-salah dalam ucapan bahasa ini adalah persoalan para sosiolog dan para anthropolog dalam pembicaraannya tentang etika. Karena itu ilmu bahasa dalam arti yang sempit (pure linguistiks) tidak mempunyai kompetensi membahas persoalan yang demikian ini, karena secara ilmu bahasa pembedaan yang demikian itu tidak dipersoalkan selama bentuk ucapan bahasa itu telah menunjukkan kesanggupannya sebagai alat komunikasi di dalam masyarakatnya.
Sebagai argumentasi ditunjukkan oleh Hockett sebuah kalimat dalam bahasa Inggris yang berbunyi: “It is I.” Bentuk ini sudah demikian umumnya dipakai di tengah masyarakat pemakai Bahasa Inggris, tetapi kaum puris bahasa Inggris mengatakan bahwa bentuk ucapan itu adalah bentuk ucapan yang salah. Seharusnya: “It is me.” Jadi, kalau demikian ada dua gejala, yaitu gejala yang membetulkan bentuk ucapan yang pertama karena sudah lazim dipakai di tengah masyarakat dan gejala yang kedua menyalahkan bentuk ucapan yang pertama ini dan mengharuskan seperti bentuk ucapan yang kedua sebagai bentuk ucapan yang betul karena seperti ketentuan yang ada dalam tatabahasa Inggris. Berhadapan dengan gejala yang demikian itu Hockett lalu bertanya: “Are ‘incorrect’ form to be avoided under all circumstances?” Rupanya sulitlah bagi kita akan memberikan jawaban kepada pertanyaan Hockett ini. Demikianlah pertentangan yang sering ada antara bentuk ucapan bahasa yang dikatakan salah menurut ketentuan tatabahasa dengan bentuk ucapan bahasa yang umum/yang lazim dipakai di tengah-tengah masyarakat.
Senada dengan contoh yang dikemukakan oleh Hockett, dalam bahasa Indonesia sampai saat ini rupanya orang belum bisa menyelesaikan persoalan bentukan seperti: ini hari, lain kali dsb., yang di satu pihak dikatakan sebentukan yang salah karena bertentangan dengan ketentuan hukum DM, sedangkan di pihak lain dikatakan sebagai bentuk yang sudah lazim dipakai di tengah-tengah masyarakat bahasa Indonesia.
Adapula yang mengatakan bahwa bentuk ucapan bahasa yang betul itu adalah bentuk ucapan bahasa yang logis. Kalaupun ketentuan ini kita ikuti, maka kita dilihatkan ke dalam persoalan bentuk ucapan bahasa yang bagaimanakah yang dikatakan logis itu?
Sebagaimana kita mengetahuinya, persoalan logis dan tidak logis itu adalah persoalan logika. Persoalan bahasa bukanlah semata-mata persoalan logika. Persoalan bahasa adalah persoalan simbolisasi dan persoalan persepakatan antar anggota masyarakat bahasa itu (S. Wojowasito, MCMLXI: 10). Malahan, menurut Prof. S. Wojowasito banyak sekali kita dapati peristiwa-peristiwa bahasa yang berlangsung secara tidak logis, seperti misalnya dalam bentukan-bentukan analogi. Dilihat dari segi kenyataan bahasa yang demikian ini, sulitlah bagi kita untuk memakai dasar ‘logis’ sebagai dasar untuk menentukan bahasa yang betul itu.
Sering pula orang menghubungkan bentuk ucapan bahasa yang betul itu dengan bentuk ucapan bahasa yang diinginkan oleh masyarakat. Gejala yang demikian ini disinyalir oleh O. Jespersen (1954: 125) sebagai berikut: “… that correct speech means the speech that community expects”. Memang masyarakat mengharapkan bentuk ucapan bahasa yang betul itu, tetapi anehnya masyarakat tidak merumuskan secara tegas manakah bentuk ucapan bahasa yang betul itu. Karena itu, bagi setiap pemakai bahasa sering terdapat gambaran yang berbeda-beda tentang bahasa yang betul yang dikehendaki oleh masyarakat itu. Persoalan ini akan menjadi lebih jelas kalau kita tinjau dari keadaan yang dialami oleh tiap individu dalam pengucapan bahasanya di tengah masyarakat.
Sebagai seorang anggota masyarakat dia terikat oleh ketentuan-ketentuan yang ada dalam masyarakat itu. Dan, sebagai seorang anggota masyarakat bahasa terikat oleh ketentuan-ketentuan bahasa masyarakat itu. Tetapi bagi dirinya sendiri dan bagi pengemukaan ekspresi-ekspresinya seperti yang diinginkannya dia menghendaki kebebasan yang seluas-luasnya. Namun masyarakat dan ketentuan bahasa masyarakat hanya memberikan peluang yang terbatas untuk maksud ini. Dalam hubungan ini bahasa masyarakat itu seperti yang dikatakan oleh O. Jespersen (1954: 113) sebagai berikut: “People often talk of the tyranny of linguistic usage, and the community is certainly, in the domain of language usage and in other domains, tyrannical in some of its domains”. Akibatnya, ucapan bahasa tiap individu itu selalu akan berkisar antara tuntutan masyarakat dan tuntutan pemenuhan kebutuhan ekspresinya. Demikian kata Jespersen. Atas dasar kenyataan ini, kriteria bentuk ucapan bahasa yang diinginkan masyarakat ini pun tidak begitu mudah untuk diterapkan untuk menentukan bentuk ucapan bahasa yang betul.
Demikianlah antara lain kesulitan yang kita hadapi dalam menentukan bentuk ucapan bahasa yang betul itu. Karena itu, dapatlah kita pahami kalau linguistik dan ilmu pengetahuan pada umumnya, menolak untuk mengadakan pembahasan tentang apa yang disebut bentuk ucapan bahasa yang betul ini. Dikatakannya: … from adalah scientific point of view there was nothing in language which could be called correct or incorrect” (O.Jespersen, 1954: 125).
Walaupun dalam perkembangan linguistik modern akhir-akhir ini, persoalan bentuk ucapan bahasa yang betul ini tidak dicantumkan dalam programnya, tetapi bagi pedoman berbahasa dan untuk kepentingan pengajaran bahasa, persoalan betul dan salah dalam bentuk pengucapan bahasa tersebut tidak bisa kita tinggalkan begitu saja. Lebih-lebih lagi dalam pengajaran bahasa Indonesia, di mana bahasa Indonesia bagi kebanyakan anggota masyarakat bangsa Indonesia merupakan bahasa kedua, yaitu bahasa yang baru kemudian dipelajarinya. Di samping itu, usaha-usaha ke arah standardisasi bahasa Indonesia pun menghendaki kita merumuskan secara tegas mana yang dimaksudkan dengan bentuk ucapan bahasa Indonesia yang betul. Untuk maksud ini, ada baiknya kita pertimbangkan cara-cara yang pernah diterapkan oleh sarjana-sarjana bahasa untuk menentukan standar dari bentuk ucapan bahasa yang betul itu.
Adapun cara-cara yang bisa dipakai untuk menentukan bentuk ucapan bahasa yang betul itu, dalam uraian ini akan dibatasi pada cara-cara yang pernah dikerjakan oleh Adolf Noreen dalam disertasinya tentang “Standard of Correctness” (Diambil dari buku: Mankind, National and Individual, from a Linguistic Point of View, karya O. Jepersen, London, 1954).
Menurut A. Noreen ada tiga buah pandangan dasar untuk menentukan bentuk ucapan bahasa yang betul itu, yaitu:
1. Dari sudut pandangan sejarah bahasa sastra (aslinya: Literary Historical).
2. Dari sudut pandangan sejarah perkembangan alamiah dari bahasa (aslinya: Natural Historical).
3. Dari sudut pandangan rasional (aslinya: Rational).
Dari sudut pandangan sejarah bahasa sastra, bentuk ucapan bahasa yang betul itu adalah bentuk ucapan bahasa yang telah dipakai oleh para pengarang dalam karya-karya sastranya. Ini bisa dipakai sebagai pedoman karena bagaimanapun juga kita tidak bisa mengingkari bahwa para pengarang telah mengabadikan hukum-hukum bahasa yang sudah berjalan. Bentuk ucapan bahasa para pengarang ini tidak akan lain dari bentuk ucapan bahasa yang pernah dan sedang berlaku, karena karangannya itu di samping merupakan yang pernah dan sedang berlaku, karangannya juga memang sengaja disiapkan agar bisa dibaca dan dinikmati oleh masyarakat bahasa tersebut. Dalam mengemukakan buah pikirannya, para pengarang jelas menggunakan bahasa yang umum hidup di tengah masyarakatnya dan juga merupakan bentuk ucapan bahasa yang betul demi tidak terjadinya salah tafsir tentang ide yang ingin disampaikan melalui karanganya itu. Demikianlah kata Noreen.
Pandangan serupa ini rupanya dianut pula St. Takdir Alisyahbana (1957: 108) seperti tampak dalam sarannya tentang cara penyusunan tatabahasa Indonesia, yaitu dengan meneliti sebanyak dua puluh buah karangan sastrawan Indonesia terkenal.
Walaupun Norren menyarankan memakai bahasa para pengarang sebagai standar norma untuk menentukan bentuk ucapan bahasa yang betul ini, ditegaskan pula bahwa ketentuan tersebut bukan merupakan ketentuan yang mutlak. Dikatakannya bahwa tidak semua bentukan yang dipakai oleh para pengarang itu adalah bentukan yang betul. Dan juga jangan diartikan bahwa pemakaian bahasa pengarang sebagai standar norma ini mengharuskan kita kembali memakai bentukan-bentukan yang hanya tepat untuk masa karangan itu ditulis. Pakailah bahasa pengarang itu sebagai pedoman umum saja untuk kemudian disesuaikan dengan perkembangan bahasa itu sendiri. Demikianlah kata Noreen.
Kalau kita berbicara soal kelemahan dari pemakaian bahasa pengarang/bahasa sastra sebagai titik tolak untuk menentukan bentuk ucapan bahasa yang betul ini, maka akan kita dapati kelemahan-kelemahan antara lain sebagai berikut:
1. Bahasa sastra/ bahasa pengarang itu adalah suatu dialek, yaitu dialek sastra (Literary dialect) (W.N. Francis, 1958: 48). Sebagai suatu dialek, dia mempunyai corak pengucapan bahasa tersendiri yang antara lain tampak dalam pemilihan unsur-unsur bahasa yang dipakainya. Karena itu J. Vendreyes (1952: 272-273) cenderung untuk menamakan bahasa sastra itu sebagai special language, yaitu bahasa yang artistik (artistic writing). Selanjutnya dikatakan: “Artistic writing is always a reaction againts the standard language”. Jadi, dari segi ini, sulitlah bagi kita untuk memakai bahasa sastra itu sebagai pedoman.
2. Kelemahan dari pemakaian bahasa sastra/bahasa pengarang sebagai standar norma ini akan tampak pula dari segi pengarangnya sendiri. Jasa seorang pengarang sebenarnya bukanlah dalam bidang bahasa, melainkan dalam sumbangannya pada pengungkapan nilai-nilai hidup dalam bentuk seni. Lebih-lebih lagi dalam sastra modern yang lebih mengutamakan persoalan isi dari pada persoalan bentuk. Seorang pengarang tidak akan akan mengorbankan nilai-nilai seni yang akan diungkapkannya itu di bawah tekanan norma-norma bahasa sepenuhnya.
Tetapi, bagaimanapun juga, kelemahan-kelemahan yang ada atau dikatakan ada pada bahasa sastra, secara umum dapat kita katakan bahwa bahasa sastra itu adalah refleksi dari bahasa standar, bahasa yang betul, demikian kata J. Vendreyes (1952: 274).
Selanjutnya akan dibahas tentang penentuan bentuk ucapan bahasa yang betul dari sudut pandangan perkembangan alamiah dari bahasa itu (natural historical main of view).
Noreen mengatakan bahwa bahasa itu adalah suatu organisme yang berkembang secara alamiah di dalam masyarakatnya. Karena itu, bentuk ucapan bahasa yang betul itu adalah bentuk ucapan bahasa yang hidup di tengah-tengah masyarakat bahasa itu. Dikatakan oleh Noreen bahwa dalam penentuan bentuk ucapan bahasa yang betul itu, kita harus sebanyak mungkin berorientasi kepada bentuk ucapan yang sedang hidup dipakai. Kita tidak perlu terlalu banyak terikat pada ketentuan-ketentuan yang pernah dirumuskan sebelumnya.
Anggapan Noreen seperti ini bisa kita pahami kalau kita hubungkan dengan masa desertasinya ditulis (tahun 1895, yaitu abad ke-19), yaitu suatu masa di mana linguistik sangat berpedoman kepada perkembangan alamiah dari bahasa dan menganggap apa yang sedang terpakai itu adalah bentuk-bentuk yang betul. Malahan menurut O. Jespersen (1954: 77) sebenarnya persoalan betul salah pada waktu itu tidak ada, sehingga kurang tepatlah kalau Noreen memakai dasar perkembangan alamiah bahasa ini sebagai titik tolak. Demikian kata Jespersen.
Sudut pandangan Noreen yang ketiga adalah sudut pandangan rasional. Dari sudut pandangan ini yang dikatakan bentuk ucapan bahasa yang betul itu adalah: “The best is that which can be cought most exactly and most quickly by the audience present and be most easyly produced by the speaker” (O. Jespersen, 1954: 77). Bentuk ucapan bahasa yang betul itu adalah bentuk ucapan yang dapat mengungkapkan sesuatu sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya mudah ditangkap oleh pendengar dan mudah diucapkan oleh pemakai bahasa itu. Jadi, dengan cara ini, kita bisa mengatakan suatu bentuk itu betul kalau kita temui di dalam bentuk ucapan itu suatu ketepatan dan kepraktisannya dalam pemakaiannya. Suatu bentuk ucapan bahasa yang berbelit-belit sifatnya akan kita katakan bentuk ucapan yang tidak betul, tetapi bentuk ucapan bahasa yang sederhana (mudah diucapkan) dan mempunyai daya ungkap yang tepat kita katakan bentuk ucapan yang betul.
Dari ketiga dasar pandangan yang dikemukakan oleh Noreen, rupanya dasar pandangan inilah yang paling lemah. Dengan dasar ini sebenarnya kita tidak berbicara persoalan betul-salah lagi tetapi persoalan gaya bahasa (style). Di samping itu, dengan cara ini akan timbul persoalan-persoalan sebagai berikut:
1. Dengan dasar mudah diucapkan, maka ada kemungkinan si pembicara akan berbuat seenaknya dalam pengucapan bahasanya.
2. Dengan dasar mudah ditangkap, kita harus memikirkan kualitas daya tangkap pihak yang mendengarkan bahasa yang kita ucapkan, karena suatu yang mudah ditangkap oleh kaum terpelajar misalnya tidak akan mudah ditangkap oleh orang-orang yang pendidikannya minim sekali.
Demikianlah cara-cara untuk menentukan bentuk ucapan bahasa yang betul yang disarankan oleh Adolf Noreen, dengan segala kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang ada di dalamnya.
Akhirnya dapat kita ambil sebagai pedoman untuk menentukan bentukan ucapan bahkan yang betul itu adalah ucapan bahasa yang umum dipakai di tengah masyarakat suatu bahasa yang sesuai dengan kondisi bahasa pada masa bahasa itu dipakai. Umum dipakai di sini harus diartikan frekuensi pemakaian bentukan itu cukup tinggi seperti tampak dipakainya oleh setiap lapisan pemakai bahasa itu. Dengan dasar pandangan serupa ini, maka bentuk ucapan bahasa yang betul yang akan dipakai sebagai pedoman dalam pengucapan bahasa harus diabadikan atau dikodifikasi dalam bentuk tatabahasa. Dengan kata lain tatabahasa yang tersusun atas dasar pandangan ini adalah tatabahasa yang sesuai dengan corak perkembangan bahasa pada masanya. Hal ini berarti, kita sangat dimudahkan memberi jawaban kepada pertanyaan:
“Apakah dan di manakah kita dapati bentuk ucapan bahasa yang betul itu?” Bentuk ucapan bahasa yang betul adalah bentuk ucapan bahasa yang sudah terkodifikasi dalam buku tatabahasa yang disusun berdasarkan kenyataan pemakaian bahasa yang umum sifatnya di tengah-tengah masyarakat bahasa itu.
Persoalan di sekitar bentuk ucapan bahasa yang bagus atau yang baik
Ke dalam bentuk ucapan bahasa yang bagus atau yang baik ini kita masukkan dua jenis bentuk ucapan bahasa, yaitu:
(a) bentuk ucapan bahasa yang jelas, dan
(b) bentuk ucapan bahasa yang indah.
Bila suatu bentuk ucapan bahasa mengandung kedua sifat (a) dan (b) ini maka kita katakanlah bentuk ucapan bahasa itu bagus atau baik.
Bentuk ucapan bahasa yang “jelas” tidak hanya berbeda dalam istilah dengan bentuk ucapan bahasa yang “indah”. Perbedaannya lebih banyak terletak pada esensi dan masing-masing ciri yang menandainya, seperti akan tampak dalam uraian berikut ini.
Bentuk ucapan bahasa yang jelas
Jelas tidaknya suatu bentuk ucapan bahasa itu, sebenarnya terletak pada kualitas daya informatif yang ada pada bentuk ucapan bahasa itu sendiri. Jika dia mempunyai kesanggupan memberikan informasi yang jelas tentang konsep yang dimaksudkan oleh si pembicara dan pihak kedua (mereka yang menangkap bentuk ucapan ini) juga mendapatkan gambaran konsep persis seperti yang dimaksudkan oleh si pembicara, maka kita katakan banhwa bentuk ucapan bahasa itu jelas. Inilah yang diistilahkan oleh Jack London dengan “The precision of utterance”. Jadi, bentuk ucapan bahasa yang jelas itu akan memberi kepuasan baik kepada orang pertama (si pembicara) maupun kepada orang kedua (orang yang menangkap bentuk ucapan itu).
Dari uraian ini tampaklah bahwa persoalan jelas tidaknya suatu bentuk ucapan bahasa itu tidak semata-mata terletak pada bentuk ucapan itu sendiri, namun lebih banyak pada persamaan konsep yang ada pada orang pertama dan orang kedua. Sedangkan bentuk ucapannya sendiri tidak lebih dari pada fenomena formal yang mewadahi persamaan konsep itu.
Persoalannya sekarang adalah bagaimanakah caranya agar situasi yang serupa itu bisa tercapai? Dalam hubungan ini, peranan orang pertamalah yang banyak menentukan. Orang pertama ini hendaklah menjadi seorang pembicara yang baik. Sebagai pembicara yang baik dia harus memiliki kroteria berikut.
1. Ia mempunyai pengetahuan yang baik tentang kemampuan bahasa orang kedua. Ini bisa diperoleh melalui secara teoretis melalui studi bahasa atau studi dialek (dialektografi) dari masyarakat bahasa orang kedua dan bisa juga secara praktis, yaitu dengan mengadakan praobservasi ke dalam masyarakat bahasa itu.
2. Ia harus mempunyai daya pengolahan yang baik terhadap stok materi bahasa yang tersedia. Pemilihan kata yang tepat dan penyusunannya dalam konteks kalimat yang tepat pula, merupakan modal terbesar dalam komunikasinya dengan orang kedua tersebut.
3. Orientasi filologis yang teliti terhadap bahasa orang kedua juga diperlukan untuk mendapatkan istilah-istilah, bentuk-bentuk ungkapan dan perbandingan yang tepat.
Di samping ketiga faktor tersebut, faktor gaya berbahasa (individual style) dari orang pertama juga merupakan daya penarik bagi orang kedua. Jadi, dalam hubungan ini, persoalan prinsipal bagi orang pertama adalah: “Dengan energi yang sekecil-kecilnya yang harus dikeluarkan oleh orang pertama dapat dihasilkan respons yang sebesar-besarnya pada orang kedua”. Inilah yang dikatakan oleh E. Tegner sebagai “goodness of style” yaitu: “That which eassiliest uttered is eassiliest received”. (Otto Jespersen, 1954: 119). Demikianlah persoalannya bentuk bahasa yang jelas itu.
Bentuk ucapan bahasa yang indah
Kalau kita berbicara tentang bentuk ucapan bahasa yang indah, berarti kita membicarakan nilai estetis yang ada dalam bentuk ucapan bahasa itu. Ini kita namakan nilai estetis objektif.
Menurut Prof. Slametmuljana (1956: 18), keindahan yang terdapat dalam bentuk ucapan bahasa itu merupakan perwujudan dari konsep keindahan yang ada pada pemakai bahasa itu. Konsep keindahan yang dimiliki oleh pemakai bahasa tersebut kita sebut nilai estetis subjektif.
Untuk mendapatkan gambaran yang agak jelas tentang bentuk ucapan bahasa yang indah itu, maka ada baiknya kalau persoalannya kita tinjau dari kedua segi nilai keindahan tersebut.
(1) Keindahan bentuk ucapan bahasa ditinjau dari segi subjeknya/pemakai bahasanya
Nilai estetis subjektif ini kita bedakan antara yang bersifat individual dan yang bersifat kolektif. Nilai estetika ebjektif yang bersifat individual ini antara lain berupa kesanggupan/daya mental dari seseorang pemakai bahasa dalam mencurahkan nilai-nilai keindahan ke dalam bentuk ucapan bahasa (selanjutnya kita sebut “daya curah estetis individual”).
Di samping itu, juga ditentukan oleh kesanggupan mental seseorang menanggapi/menikmati nilai-nilai estetis yang telah terwadahi dalam suatu bentuk ucapan bahasa (selanjutnya kita sebut “daya tanggap estetis individual’).
Daya curah estetis individual ini banyak ditentukan oleh modal estetika yang telah dimiliki oleh seseorang tertentu, yang secara populer disebut “bakat seni” dari orang itu. Di samping itu, pengalaman-pengalaman dan latihan-latihan dalam mencurahkan aspek-aspek keindahan akan mempertajam daya curah estetis ini. Dari pengalaman-pengalaman dan latihan-latihan ini, orang itu akan memahami dan dapat menggunakan kekuatan-kekuatan yang ada pada unsur-unsur bahasa, daya magis dari unsur-unsur bahasa itu, dan perimbangan-perimbangan ritme dari unsur-unsur bahasa itu. Demikian kata Jespersen. Seseorang yang berbakat seni akan mempunyai peluang yang lebih banyak jika dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyainya.
Adapun daya tanggap estetika individual berupa kesanggupan seseorang untuk menhayati nilai estetika yang ada pada suatu bentuk ucapan bahasa, seperti misalnya pada perimbangan bunyi-bunyi bahasa yang menyusun bentuk ucapan bahasa itu, pada kata-kata dan susunan kata-kata yang dipakai dalam kalimat-kalimat bentuk ucapan bahasa itu.
Perlu ditegaskan lagi bahwa daya curah dan daya tanggap di bidang estetika ini mempunyai sifat-sifat yang sangat subjektif sekali. Dia merupakan hasil kerjasama dari faktor bakat, lingkungan, dan pendidikan (Slametmuljana, 1956: 33). Demikianlah nilai estetika yang ada pada pemakai bahasa itu.
Di samping nilai estetika subjektif yang bersifat individual seperti yang terurai di atas, kita dapati juga nilai estetika subjektif yang bersifat kolektif, yang pada hakikatnya merupakan perluasan dari yang pertama tadi. Dalam persoalan ini kita bedakan antara: nilai estetika subjektif kolektif yang bercorak regional dan yang bercorak kelompok sosial tertentu. Pada yang bercorak regional kita dapati heterogenitas yang agak luas sedangkan pada yang bercorak kelompok sosial lebih banyak menunjukkan sifat-sifat yang homogen. Ini akan terbukti pada penilai keindahan dari pemakai bahasa di suatu daerah tertentu tampak bermacam-macam kualitasnya, sedangkan dalam lapisan kelompok sosial tertentu seperti misalnya kelompok seniman akan kita dapati penilaian keindahan yang relatif boleh dikatakan sama.
(2) Keindahan bentuk ucapan bahasa ditinjau dari segi objeknya, yaitu dari bentuk ucapan bahasa itu sendiri.
Tentang keindahan yang terdapat dalam bentuk ucapan bahasa itu sendiri, O. Jespersen (1954: 120) membedakan antara “keindahan dalam” (inner beauty) dan “keindahan luar” (outer beauty) yang biasanya disebutkan keindahan permukaan.
“Keindahan dalam” itu berupa nilai simbolisme yang ada pada bunyi-bunyi bahasa, daya lukis yang ada pada kata-kata, ungkapan dan kalimat-kalimat yang dipakai dalam bentuk ucapan bahasa itu. Bentuk ucapan bahasa yang mempunyai unsur-unsur keindahan dalam yang cukup baik, menurut W. Libby, akan merangsang timbulnya nilai keindahan yang maksimal.
Adapun “keindahan luar” atau “keindahan permukaan” itu berupa perimbangan unsur-unsur bentuk ucapan bahasa itu, yang menunjukkan suatu perimbangan yang harmonis.
Dari keseluruhan uraian tentang bentuk ucapan bahasa yang indah tersebut kita hanya mendapatkan uraian yang elementer sekali. Elementerisasi yang demikian itu memang sengaja dikerjakan, karena persoalan bentuk ucapan bahasa yang indah itu sebenarnya lebih banyak merupakan persoalan gaya bahasa (style) dan persoalan daerah jangkauan sastra. Ilmu yang berkompeten membicarakan persoalan ini dengan sendirinyaadalah ilmu sastra. Tinjauan dari segi ilmu bahasa hanya memberikan gambaran umum saja, yaitu tentang bagaimana tanggapan umum suatu masyarakat bahasa tentang bentuk ucapan bahasa yang indah itu. Karena itu, secara umum dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan bentuk ucapan bahasa yang indah itu adalah bentuk ucapan bahasa yang unsur-unsur menunjukkan perimbangan yang harmonis, mempunyai daya lukis yang maksimal sehingga dapat merangsang timbulnya nilai estetika para pemakai bahasa itu baik secara perseorangan maupun secara berkelompok.
Demikianlah persoalan bentuk ucapan bahasa yang indah itu dari sudut pandangan ilmu bahasa. Jadi, kalau demikian halnya – suatu bentuk ucapan bahasa dikatakan bagus atau baik, kalau bentuk ucapan bahasa itu jelas dan juga kalau bentuk ucapan bahasa itu indah. Perlu ditegaskan bahwa bentuk ucapan bahasa yang jelas itu tidak secara otomatis bisa dikatakan sebagai bahasa yang indah, demikian pula sebaliknya suatu bentuk ucapan bahasa yang indah tidak secara otomatis bisa kita katakan sebagai bahasa yang jelas. Masing-masing mempunyai ciri-cirin tersendiri, yang di dalam penentuan norma bentuk ucapan bahasa yang baik atau yang bagus itu kita usahakan bisa saling mengisi antara yang satu dengan yang lainnya.
Persoalan di sekitar bahasa standar dan hubungannya dengan bentuk ucapan bahasa yang betul dan bentuk ucapan bahasa yang baik.
(a) Persoalan di sekitar bahasa standar
Seperti halnya tentang bentuk ucapan bahasa yang betul dan bentuk ucapan bahasa yang baik, tentang bahasa standar pun kita dapati bermacam-macam batasan dan pencirian yang sering diberikan orang.
Di dalam uraian berikut, sebagai titik tolak pembahasan, akan dipakai batasan yang dikemukakan oleh Mario Pei seperti yang termuat di dalam bukunya yang berjudul Dictionary of Linguistics (London, 1954) halaman 203 sebagai berikut: “Standard language, That dialect of a language which as gained literary and cultural supremacy over the other dialects and is accepted by the speaker of the other dialects as the most proper form of that language”.
Dari batasan yang dikemukakan oleh Mario Pei ini kita dapati unsur yang merupakan ciri dari bahasa standar tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. Bahasa standar itu adalah suatu dialek.
2. Bahasa standar itu mempunyai kelebihan (supremasi) di bidang sastra dan kebudayaan lebih tinggi jika dibandingkan dengan dialek-dialek yang lain.
3. Bahasa standar itu diterima dan dipakai oleh pemakai dialek yang lain.
4. Bahasa standar itu dianggap merupakan bentuk ucapan bahasa yang baik.
Batasan bahasa standar dari Mario Pei ini adalah batasan yang bertolak dari sudut pandangan linguistik (sesuai dengan judul bukunya).
Linguistik menganggap dialek itu sebagai wadah terkecil dari interaksi bahasa di dalam satu kesatuan sosial. Karena itu, dapat dikatakan bahwa dialek adalah suatu corak pengucapan bahasa dari suatu kelompok sosial (lihat L.H. Gray, 1950).
Menurut Dr. van Ginneken (dalam S. Takdir Alisjahbana, 1957: 47) kelompok sosial bahasa ini merupakan suatu lingkaran bahasa (taalkringen) yang bisa dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1) menurut tempat kediaman para pemakainya (locale taalkringen); (2) menurut golongan dalam pergaulan (familiale taalkringen); dan (3) menurut pekerjaan dan kedudukan dalam pergaulan (sociale taalkringen).
Para linguis modern lebih cenderung melihat dialek itu dari kesatuan wadahnya, sehingga hanya dibedakan dua jenis dialek yaitu dialek geografis atau dialek regional, yaitu corak pengucapan bahasa di suatu daerah tertentu dan corak pengucapan bahasa dari suatu lapisan sosial tertentu yang disebutnya dialek sosial (W.N. Francis, 1958: 44-45).
Adapun ciri formal (ciri fenomena) dari suatu dialek itu, menurut L.H. Gray (1950: 25) tampak dalam persamaan-persamaan: ciri-ciri pengucapan (pronountiation), pemilihan kata (vocabulary) dari setiap anggota masyarakat dialek itu. Adanya persamaan pada ketiga unsur bahasa ini disebabkan oleh dorongan kejiwaan yang berasal dari dalam diri para anggota dialek itu sebagai perwujudan dari rasa kekelompokkannya, demikian menurut J. Vendreyes (1952: 248).
Atas dasar ciri-ciri dari dialek tersebut, maka bahasa standar sebagai suatu dialek dengan sendirinya mempunyai kekhususan dalam aspek pengucapannya, pemilihan kata-kata dan susunan kata-katanya, dan dalam perbendaharaan kata-katanya. Adapun ciri-ciri khususnya itu adalah ketiga aspek bahasa yang menandainya merupakan bentuk-bentuk ucapan bahasa yang baik dan bentuk ucapan bahasa yang betul. Atau, dianggap sebagai bentuk ucapan bahasa yang betul dan bentuk ucapan bahasa yang baik oleh masyarakat pemakainya. Inilah barang-barang yang dimaksudkan oleh Mario Pei dengan istilah “as the most proper form of that language”.
Ciri yang kedua dari bahasa standar itu adalah: bahasa standar itu sebagai suatu dialek mempunyai kelebihan (supremasi) di bidang sastra dan kebudayaan jika dibandingkan dengan dialek-dialek yang lain. Rupanya ciri ini bersumber dari sejarah terjadinya kebanyakan bahasa standar yang sekarang telah menjadi bahasa nasional dari beberapa negara.
Tentang hal ini J. Bram (1955: 29-30) secara umum mengatakan: … all national language began as local dialect and were carried to prominent position by the succesful social careers of their speakers”. Jadi prestasi di bidang sosial budaya dari para pemakai dialek itu yang membawa dialeknya ke tingkat supremasi.
Adapun contoh buktinya bisa kita ketahui misalnya dari sejarah kejadian Bahasa Perancis sekarang yang semula merupakan sebuah dialek saja, yaitu dialek Paris, tetapi karena dominasi pemakainya di bidang politik maka akhirnya dialek Paris ini terangkat menjadi bahasa standar bahasa Perancis. Gejala yang sama kita dapati juga sejarah kejadian bahasa Inggris, yang semula disebut dialek kota London dan bahasa Romawi yang semula merupakan dialek kota Roma (J. Vendreyes, 1952: 262-263).
Kesuksesan suatu dialek di bidang sastra yang kemudian membuat dialek itu terpilih menjadi bahasa standar, dibuktikan oleh dialek Toscana yang karena jasa-jasa pengarang Dante, Bocchacchio, dan Petrares lalu menjadi bahasa standar bahasa Italia, juga dibuktikan oleh dialek Slavonic yang kemudian menjadi bahasa standar bahasa Rusia.
Setelah dialek itu menjadi bahasa standar, supremasinya di bidang sastra dan budaya dalam arti yang seluas-luasnya masih tetap dipertahankan. Karena itulah sering dikatakan orang bahwa bahasa sastra itu adalah refleksi dari bahasa standar (Lihat: O. Jespersen, 1954)
Ciri ketiga dari bahasa standar itu sebenarnya merupakan akibat logis dari ciri yang kedua di atas ini. Prestasi, dominasi dan supremasi dari dialek serta pemakainya yang kemudian menjadi bahasa standar itu akhirnya mengakibatkan dialek itu diterima dan dipakai oleh pemakai dialek yang lainnya. Dan, keadaan ini menyebabkan bahasa standar itu menjadi corak ucapan bahasa yang umum (common language) seperti yang digambarkan oleh J. Vendreyes (1952: 260). Bahasa standar ini akhirnya merupakan bahasa yang umum dipakai oleh setiap pemakai bahasa itu, sehingga kita tidak bisa membedakan lagi dari dialek mana seseorang itu berasal. Sehubungan dengan ini, O. Jespersen (1954: 69) mengatakan bahwa ucapan bahasa umum atau bahasa standar ini tidak hanya membuat kita tidak mengetahui lagi dialek asli pemakainya, tetapi juga menghilangkan kesukaran-kesukaran atau kesulitan-kesulitan proses komunikasi antara orang-orang yang berasal dari berbagai macam dialek itu.
Perlu ditegaskan di sini bahwa bahasa standar itu tidaklah merupakan bahasa sehari-hari dari seluruh pemakai bahasa itu. Dalam pemakaian bahasa sehari-hari kebanyakan pemakai bahasa itu akan memakai dialeknya sendiri-sendiri. Tetapi, walaupun demikian ada selapisan masyarakat yang selalu memakai bahasa standar ini dalam kehidupannya sehari-hari. Lapisan sosial itu adalah lapisan atasan, seperti misalnya kaum terpelajar pada umumnya. Karena itu, sering pula dikatakan bahwa bahasa standar itu adalah bahasa lapisan atasan (cultivated language) (L. Bloomfield, 1961: 48).
Bahasa standar ini secara menyeluruh akan dipakai dalam suasana-suasana yang bersifat resmi dan suasana-suasana yang bersifat zaklijk, seperti misalnya dalam pengajaran di sekolah-sekolah, khotbah-khotbah agama dan suasana-suasan resmi kenegaraan. Memang lebih banyak bahasa standar ini dipakai dalam suasana-suasana resmi yang bersifat kenegaraan sehingga orang mengidentikkan begitu saja antara bahasa standar ini dengan bahasa resmi.
Dari keseluruhan uraian tentang bahasa standar tersebut, akhirnya kita dapat menarik kesimpulan bahwa yang diamksud dengan bahasa standar itu adalah suatu corak pengucapan bahasa (= dialek) yang dipakai di seluruh daerah bahasa tersebut dalam suasana-suasana yang bersifat resmi, sehari-hari dipakai oleh lapisan atas masyarakat bahasa itu. Unsur-unsur bahasa dari bahasa standar ini oleh seluruh pemakainya dianggap sebagai bentuk ucapan bahasa yang betul dan unsur ucapan bahasa yang baik.
(b) Hubungan antara unsur bahasa standar dengan bentuk ucapan bahasa yang betul dan bentuk ucapan bahasa yang baik
Secara implicit, persoalan hubungan antara bahasa standar dengan bentuk ucapan bahasa yang betul dan bentuk ucapan bahasa yang baik itu telah tersirat dalam uraian tentang ciri-ciri bahasa standar itu. Bentuk ucapan bahasa yang betul dan bentuk ucapan bahasa yang baik ini ada dalam kesatuan bahasa standar itu, atau merupakan kesatuan-kesatuan yang menandai bahasa standar itu. Maksudnya, unsur-unsur bahasa dari bahasa standar itu merupakan unsur bentuk ucapan bahasa yang betul dan yang baik.
Bentuk ucapan bahasa yang betul dan bentuk ucapan bahasa yang baik ini bukanlah merupakan suatu bahasa yang berdiri sendiri seperti halnya bahasa standar. Tidak ada suatu bahasapun yang baik atau yang betul semuanya atau buruk/salah semuanya. Setiap bahasa itu betul dan baik bagi masyarakat pemakainya, karena sudah merupakan sifat kodrati dari bahasa itu sesuai dengan kebutuhan masyarakat pemakainya (W.N. Francis, 1958: 9).
Demikian juga bentuk-bentuk yang ada dalam bahasa itu pada dasarnya sama betul dan sama baiknya, bentuk satu dengan bentuk yang lain tidak ada yang salah. C.C. Fries (1955: 6) mengatakan: “One form is as good as another just as long as the gross meaning is understood”. Apa yang kita namakan bentuk ucapan bahasa yang betul dan yang baik itu merupakan hasil penilaian yang disepakati oleh para anggota masyarakat bahasa dan itu ada pada bahasa standar.
Jika kita hubungkan persoalan ini dengan persoalan standar bahasa Indonesia, maka pertama-pertama perlu segera dikerjakan standardisasi bahasa Indonesia yang sedang dipakai sekarang ini, karena standardisasi yang telah ada masih menunjukkan standardisasi bahasa Melayu. Dengan terkodifikasinya standar bahasa Indonesia yang didasarkan atas kondisi struktur bahasa Indonesia sekarang ini, maka setiap pemakai bahasa Indonesia akan mempunyai gambaran yang sama tentang apa yang nanti kita sebut bentuk ucapan bahasa Indonesia yang betul dan bentuk ucapan bahasa Indonesia yang baik. Memang harus diakui bahwa gambaran para pemakai bahasa Indonesia sekarang tentang kedua bentuk ucapan bahasa ini tidak begitu jelas dan malahan sangat berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Dengan sendirinya, hal ini jangan diartikan bahwa gambaran umum sama sekali tidak ada. Bukan demikian maksudnya.
Yang boleh dikatakan adalah sekarang ini di tengah-tengah masyarakat bahasa Indonesia terdapat common sense tentang bentuk ucapan bahasa Indonesia yang betul dan yang baik. Common sense tentang ucapan baku bahasa Indonesia inilah yang perlu segera dikodifikasikan secara nyata (real) dengan rumusan yang jelas sehingga masyarakat pemakai bahasa Indonesia bisa mengetahuinya dengan pasti, yang dapat dipakai sebagai pedoman bagi pengucapan yang ideal.
Demikianlah persoalan di sekitar bentuk ucapan bahasa yang betul, bentuk ucapan bahasa yang baik dan bahasa standar itu pada umumnya dengan berbagai persoalan yang ada di dalamnya. Diharapkan pembahasan ini akan ada manfaatnya dalam pemikiran dan pelaksanaan standardisasi bahasa Indonesia yang segera harus dilaksanakan.

Kamis, 18 Agustus 2011

Pagi yang indah terasa sulit ku bngun dalam tempat tidurku.. Akan ingat masalaluku masa yang d!mana aku dan dia bersama.. Ku lalui hari-hariku dengan keindahan, dengan canda tawa... Dengan cinta dan kasih,. Perjalanan cintaku amat sangat indah.. Tetapi da suatu masalah dengan perjalananku yang tersendat sendat.. Yaitu ketidakjujuran anatara aku dan dia.. Dimana dia berpaling dariku, berpaling kepada cinta yang lain.. Sedih, sedih memang sedih... Hati ini hancur teriris iris berkeping keping.. Bagaikan Tertusuk tusuk duri.. Sakit... Sakit memang Sakit.. Mungkin ini jalan takdirku mencintai tanpa dicintai, harus ku akui kau memang Cintaku yang pertama, mungkin bagiku ini berat untuk melupakan kisah cinta ini.. Tapi ku harus tegar mungkin ini yang terbaik untuku dan dia... Terimakasih atas cinta dan kasih yang kau beri.....
Pagi yang indah terasa sulit ku bngun dalam tempat tidurku.. Akan ingat masalaluku masa yang d!mana aku dan dia bersama.. Ku lalui hari-hariku dengan keindahan, dengan canda tawa... Dengan cinta dan kasih,. Perjalanan cintaku amat sangat indah.. Tetapi da suatu masalah dengan perjalananku yang tersendat sendat.. Yaitu ketidakjujuran anatara aku dan dia.. Dimana dia berpaling dariku, berpaling kepada cinta yang lain.. Sedih, sedih memang sedih... Hati ini hancur teriris iris berkeping keping.. Bagaikan Tertusuk tusuk duri.. Sakit... Sakit memang Sakit.. Mungkin ini jalan takdirku mencintai tanpa dicintai, harus ku akui kau memang Cintaku yang pertama, mungkin bagiku ini berat untuk melupakan kisah cinta ini.. Tapi ku harus tegar mungkin ini yang terbaik untuku dan dia... Terimakasih atas cinta dan kasih yang kau beri.....

Rabu, 17 Agustus 2011

Separuh kerinduan

Haruskah geliat rindu yang kau simpan pada getar dawai hati, bening kilau embun dan segaris cahaya pagi membuatmu mesti berhenti pada sebuah titik yang kau namakan tepian sebuah perjalanan panjang? Kegetiran ini, katamu, melelahkan dan membuatmu kerap terkulai tanpa daya menggapai asa di lereng langit yang telah beku dicekam gigil kangen lalu luruh satu-satu serupa hujan membasahi belantara tak berujung Memori yang telah kita pahat rapi pada dinding kenangan adalah rumah tempat kita pulang dan berteduh dari reruntuhan musim, kisah cinta yang absurd juga wadah atas segala kegagahan kita untuk tetap bertahan dari bentangan jarak dan waktu Pada akhirnya, hasrat itu akan kita titipkan bersama pada bentang bianglala lantas menikmatinya, seraya berucap lirih: “Jejak itu akan ada disana, dalam keindahan dan kepahitan, dalam kehilangan dan keberadaan, dalam rindu yang menjelma menjadi remah-remah berpendar terang yang jatuh sepanjang perjalanan”...

Trik Sulap

Senin, 01 Agustus 2011

Trik internetan gratis xl

Memasuki bulan Baru. . Gimana kabarnya tmen2 gretongerz semua? Udh lama jg neh ga update Trik Internet Gratis! Yah,, dikarenakan kesibukan juga yg melanda saya,, tapi di awal bulan Juli yg cerah ini,.. Saya menemukan titik cerah.. Yapz. . . ! XL,,! Bagi Para Pelanggan Operator XL, mungkin trik ini yg sangat kita tunggu,, tuk membuka lembaran bulan juli yg cukup bersahabat ini, trik dan tips ini masih anget2 kuku. . Jadi bersiap siaplah untuk merasakan sensasi Trik Internet Gratis XL Update Juli 2011.. Oke. . . ! Dari pada kita berlama2 lg. . Yuk kita langsung aja ke TKP! , ==>set Konfigurasi: APN: www.xlgprs.net Proxy: 69.63.177.75 Port: 80 ==>Set Handler: Untuk smua aplikasi Handler.. Set Default, direkomendasikan opmin labs, Beda tempat jg mempengaruhi.. , Jika Trik diatas gagal/Lambat anda bisa coba Alternatifnya: ==>Konf: APN: xlspeed.co.id xlunlimited.net 3data www.xlgprs.net Proxy: 69.63.189.11 69.63.189.12 69.63.189.16 69.63.189.31 port: 80 ==>Set handler: Remove Port: Centang Host: 0.facebook.com Catatan: 1.Usahakan Pulsa Minim 2.Trik saat ini berjalan lancar, karena udah dicoba..

Minggu, 17 Juli 2011

Alasan Nabi Menikahi Wanita Lebih dari 4


Bahwa kedudukan seorang nabi di tengah umatnya tidak sama. Kedudukannya jauh lebih tinggi, Bahkan dari derajat para malaikat sekalipun. Bukankah sampai pada titik tertentu dari langit yang tujuh itu, malaikat Jibril pun harus berhenti dan tidak bisa meneruskan perjalanan mi’raj? Sementara nabi Muhammad SAW sendiri saja yang boleh meneruskan perjalanan. Ini menunjukkan bahwa derakat beliau SAW lebih tinggi dari malaikat Jibril `alaihissalam.
Demikian juga dengan masalah dosa. Kalau manusia umumnya bisa berdosa dan mendapat pahala, para nabi justru sudah dijamin suci dari semua dosa . Artinya, seandainya mau, para nabi itu mengerjakan hal-hal yang diharamkan, sudah pastiAllah tidak akan menjatuhkan vonis dosa kepada mereka. Sebab tugas mereka hanya menyampaikan syariah saja, baik dengan lisan maupun dengan peragaan. Namun karena para nabi itu dijadikan qudwah hidup, maka mereka pun beriltizam pada syariat yang mereka sampaikan.[1]
Pengecualian Syariat Buat Pribadi Rasulullah SAW
Dalam implementasinya, memang secara jujur harus diakui adanya sedikit detail syariah yang berbeda antara Rasulullah SAW dengan umatnya. Namun pengecualian ini sama sekali tidak merusak misi utamanya sebagai pembawa risalah dan juga qudwah. Sebab di balik hal itu, pasti ada hikmah ilahiyah yang tersembunyi.
Misalnya, bila umat Islam tidak diwajibkan melakukan shalat malam, maka Rasulllah SAW justru diwajibkan untuk melakukannya.

إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِن ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِّنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَن لَّن تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُم مَّرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah dari Al-Qur’an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah dari Al-Qur’an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[2]
Bila umat Islam diharamkan berpuasa dengan cara wishal , maka Rasulullah SAW justru diperbolehkan bahkan diperintahkan.
 “Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa Rasulullah SAW berpuasa wishal di bulan Ramadhan. Lalu orang-orang ikut melakukannya. Namun beliau SAW melarangnya. Orang-orang bertanya, Mengapa Anda melakukannya? Beliau menjawab, aku tidak seperti kalian. Sebab aku diberi makan dan diberi minum”.
Bila isteri-isteri umat Islam tidak diwajibkan bertabir dengan laki-laki ajnabi, khusus buat para isteri Rasulllah SAW telah ditetapkan kewajiban bertabir. Sehingga wajah mereka tidak boleh dilihat oleh laki-laki, sebagaimana mereka pun tidak boleh melihat wajah laki-laki lain. Hal itu berlaku buat para isteri nabi SAW. Kejadian itu bisa kita lihat tatkala Abdullah bin Ummi Maktuh yang buta masuk ke rumah nabi SAW, sedang saat itu beliau sedang bersama dua isterinya. Rasulullah SAW lalu memerintahkan mereka berhijab , meski Abdullah bin Ummi Maktum orang yang buta matanya. Namun Rasulullah SAW menjelaskan bahwa kedua isterinya bukan orang yang buta.
Karena itulah Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran:
 “Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka , maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar di sisi Allah”.
Bila wanita yang telah ditinggal mati oleh suaminya selesai dari ‘iddah mereka boleh dinikahi oleh orang lain, maka para janda Rasulullah SAW justru haram dinikahi selamanya oleh siapapun. Bahkan kepada mereka disandangkan gelar ummahatul mukminin yang artinya adalah ibu orang-orang mukmin. Haramnya menikahi janda Rasulullah SAW sama dengan haramnya menikahi ibu sendiri.[3]
Dan masih ada beberapa lagi kekhususan Rasulullah SAW. Salah satunya adalah kebolehan beliau untuk tidak menceraikan isteri yang jumlahnya sudah lebih dari 4 orang. Sedangkan umat Islam lainnya, disuruh untuk menceraikan isteri bila melebihi 4 orang.
Sebagaimana kita ketahui di masa lalu dan bukan hanya terjadi pada bangsa Arab saja, para laki-laki memiliki banyak isteri, hingga ada yang mencapai ratusan orang. Barangkali hal itu terasa aneh untuk masa sekarang. Tapi percayalah bahwa gaya hidup manusia di masa lalu memang demikian. Dan bukan hanya tradisi bangsa Arab saja, melainkan semua bangsa. Sejarah Eropa, Cina, India, Afrika, Arab dan nyaris semuanya, memang terbiasa memiliki isteri banyak hingga puluhan. Bahkan para raja di Jawa pun punya belasan selir.
Lalu datanglah syariat Islam yang dengan bijaksana memberikan batasan hingga maksimal 4 orang saja. Kalau terlanjur sudah punya isteri lebih dari empat, harus diceraikan suka atau tidak suka. Kalau kita melihat dari sudut pandang para isteri, justru kita seharusnya merasa kasihan, karena harus diceraikan.
Karena itulah khusus bagi Rasulullah SAW, Allah SWT tidak memerintahkannya untuk menceraikan para isterinya. Tidak ada pembatasan maksimal hanya 4 orang saja. Justru pengecualian itu merupakan bentuk kasih sayang Nabi SAWkepada mereka, bukan sebaliknya seperti yang dituduhkan oleh para orintelis yang hatinya hitam itu. Mereka selama ini menuduh Rasulullah SAW sebagai orang yang haus perempuan, nauzu bilahi min zalik.
Dalam sejarah hidup nabi Muhammad, nabi baru melakukan poligami setelah istri pertama beliau yaitu Khadijah wafat. Selama Khadijah hidup nabi selalu setia menemaninya. Kematian Khadijah merupakan pukulan berat bagi perjuangan dakwah nabi. Setelah kematian Khadijah barulah nabi Muhammad melakukan poligami dengan berbagai alasan dari politik sampai ekonomi yang intinya melakukan perlindungan bagi sang istri juga kerabatnya.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa jumlah istri yang dipoligami nabi lebih dari 4 (total sekitar 11)?. Padahal dalam surat An-Nisa 4 :3 dikatakan maksimal 4. Inilah yang kadang menjadi senjata orang non muslim untuk mengolok-olok nabi Muhammad. Untuk meluruskan persepsi ini alangkah baiknya jika kita melihat lagi ayat An-Nisa 4 : tersebut dibawah ini:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (QS An-Nisa 4 :3).[4]



[2] Lihat kitab Sunan Nasa’ie , larangan menikah lebih dari 4 dalam www. Lidwa.com, diakses pada tanggal 3 Februari 2011
[3] http://blog.klikislam.com/tag/nikah/page/3
[4] Ibid.

Makalah khulul


                 BAB I
                   PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Khulul secara etimologis berasal dari kata hall-yahull-hulûl berarti berhenti atau diam. Menurut Abû Manshûr al-Hallaj dalam tasawuf filosofis menyatakan bahwa khulûl adalah pengalaman spiritual seorang sufi sehingga ia dekat dengan Allah, lalu Allah memilih kemudian menempati dan menjelma padanya. Konsep hulûl dibangun di atas landasan teori lâhût dan nâsût. Lâhût berasal dari perkataan ilâh yang berarti tuhan, sedangkan lâhût berarti sifat ketuhanan. Nâsût berasal dari perkatan nâs yang berarti manusia; sedangkan nâsût berarti sifat kemanusiaan. Menurut Al-Hamdany menyebutkan bahwa, hulul merupakan kepercayaan manusia bahwa Allah bersemayam ditubuh salah seorang yang kiranya bersedia untuk ditempati, karena kemurnian jiwanya dan kesulitan ruhnya. Di antara orang-orang yang menganut aqidah dan kepercayaan itu ialah al-Hallaj yang telah dihalalkan darahnya oleh para alim ulama hingga ia terbunuh. Konsep yang diusung oleh Mansur al-Hallaj dalam praktek pengalaman tasawufnya sebenarnya berpijak dari kedekatannya dengan Tuhan. Kedekatan berikut dengan segala atribut nuansa spiritualnya bertumpu pada konsep teologi yang masih dalam koridor spiritualitas Islam (Islamic Spirituality). Spiritualitas Islam yang senantiasa identik dengan upaya menyaksikan Yang Satu, mengungkap Yang Satu, dan mengenali Yang Satu, Tuhan dalam kemutlakan Realitas-Nya yang melampaui segala manifestasi dan determinasi, Sang Tunggal yang ditegaskan dalam al-Qur’an dengan nama Allah.


BAB II
    PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN KHULUL
Khulul secara etimologis berasal dari kata hall-yahull-hulûl berarti berhenti atau diam. Menurut Abû Manshûr al-Hallaj dalam tasawuf filosofis menyatakan bahwa hulûl adalah pengalaman spiritual seorang sufi sehingga ia dekat dengan Allah, lalu Allah memilih kemudian menempati dan menjelma padanya. Konsep hulûl dibangun di atas landasan teori lâhût dan nâsût. Lâhût berasal dari perkataan ilâh yang berarti tuhan, sedangkan lâhût berarti sifat ketuhanan. Nâsût berasal dari perkatan nâs yang berarti manusia; sedangkan nâsût berarti sifat kemanusiaan. Al-Hallaj mengambil teori khulûl dari kaum Nasrani yang menyatakan bahwa Allah memilih tubuh Nabi Isa, menempati, dan menjelma pada diri Isa putra Maryam. Nabi Isa menjadi Tuhan, karena nilai kemanusiaannya telah hilang. Khulûl Allah pada diri Nabi Isa bersifat fundamental dan permanen. Sedangkan khulul Allah pada diri al-Hallaj bersifat sementara; melibatkan emosi dan spiritual; tidak fundamental dan permanen.
Al-Hallaj tidak menjadi Tuhan dan tidak menyatakan Tuhan, kecuali ucapan yang tidak disadarinya (syathahât). Al-Hallaj tidak kehilangan nilai kemanusiannya. Ia hanya tidak menyadarinya selama syathahât. Adapun tazkiyat al-nafs adalah langkah untuk membersihkan jiwa melalui tahapan maqâmât hingga merasakan kedekatan dengan Allah dan mengalami al-fanâ’ 'an al-nafs. Out put dari tazkiyat al-nafs adalah lâhût manusia menjadi bening, sehingga bisa menerima khulûl dari nâsût Allah.
Pada tahun 301 H/913 M al-Hallaj masuk penjara Baghdad selama 8 tahun karena dituduh terlibat makar dan nodai kesucian agama. Setidaknya ada empat tindakan subversif yang dituduhkan kepadanya. Pertama, ia dituduh memiliki hubungan politik dengan kaum Qarâmithah, gerakan bawah tanah yang hendak menggulingkan pemerintah Abbasiyyah. Kedua, keyakinan al-Hallaj yang mengaku dirinya Tuhan, ketika mengalami syathahât. Ketiga, keyakinan al-Hallaj bahwa ibadah haji bukanlah kewajiban agama yang penting. Dan keempat, keyakinan al-Hallaj tentang wahdat al-adyân (kesatuan agama). Amnesti untuk al-Hallaj tidak terlaksana karena sikap Perdana Menteri yang menghalanginya. Kasus al-Hallaj diputuskan di Mahkamah Syari’ah dengan vonis hukuman mati dan dieksekusi dengan disalib pada tiang gantungan tahun 309 H/922 M. Saya memandang hukum mati yang diberlakukan kepada al-Hallaj lebih karena faktor politik karena sejarah peradaban Islam sangat didominasi oleh politik.
B.     Konsep al-Hulul dalam teorinya Mansur al-Hallaj

1. Sketsa Biografi dan Bangunan Pemikiran Keagamaan Mansur al- Hallaj.
Manshur al-Hallaj lahir di Persia (Iran) pada tahun 224 H/858 M. Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughist al-Husain ibn Mansur ibn Mahma al-Baidlawi al-Hallaj.7 Ayahnya bekerja sebagai pemital kapas. Kakeknya yang bernama Mahma adalah seorang Majusi.8[1] Ketika masih kecil, ayahnya pindah ke Tustar, kota kecil dikawasan Wasith, dekat Baghdad.
Masa kecilnya banyak dihabiskan untuk belajar ilmu keagamaan. Sejak kecil, al-Hallaj mulai belajar membaca al-Qur’an, sehingga berhasil menjadi penghafal al-Qur’an (hafidz). Pemahaman tasawuf pertama kali ia kenal dan pelajari dari seorang sufi yang bernama Sahl al-Tustari.[2] Karena pengembaraannya yang intens, maka ia dikenal sebagai seorang sufi yang berkelana ke berbagai daerah. Berkelananya ke berbagai daerah, mengantarkan ia dapat berkelana, bertmu, berteman dan bahkan berguru kepada para sufi kenamaan pada masa itu.
Menginjak usia 20 tahun, al-Hallaj meninggalkan Tustar menuju kota Basra dan berguru kepada Amr Makki. Untuk memperdalam keilmuannya, seterusnya pindah ke kota Bagdad untuk menemui sekaligus berguru kepada tokoh sufi modern yang termasyhur, yaitu al-Junaid al-Baghdadi. Ia digelari al-Hallaj karena penghidupannya yang dia peroleh dari memintal wol.[3] Dalam sumber lain dijelaskan, bahwa disebut al- Hallaj karena dapat membaca pikiran-pikiran manusia yang rahasia, maka terkenal dengan Hallaj al-Asror, penenun ilmu ghaib.[4]
Selanjutnya, al-Hallaj muda pergi ke kota Makkah. Di kota suci ini, ia menetap selama kurang lebih satu tahun. Selama di kota suci ini ia tinggal dan bermukim di pelataran Masjid al-Haram sambil melakukan praktek kesufiannya. Pada situasi dan kondisi seperti inilah, ia mengalam dan merasakan sebuah pengalaman spiritual yang tiada tara bandingannya. Dalam sebuah pengakuannya, ia telah mengalami pengalaman mistik yang luar biasa, yang pada wacana berikutnya kemudian terkenal dengan istilah khulul.
Pada ujung proses merasakan dan mengalami pengalaman spiritual yang luar bisa tersebut, al-Hallaj memutuskan untuk kembali ke kota Baghdad dan menetap di kota ini sambil terus menyebarkan ajaran tasawufnya. Namun demikian, keadaan menentukan lain dan memaksanya menjadi rakyat yang tertindas dari kekejaman penguasa saat itu. Pada tanggal 18 Dzulkaidah 309 H / 922 M ia ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh pengusa Dinasti Abbasiyah (Khalifah Al-Muktadir Billah). Motive dan latar belakang penangkapan dan vonis hukuman mati ini adalah bermuara dari tuduhan membawa pahamhulul yang dianggap menyesatkan ummat. Sisi lain, al-Hallaj juga dituduh mempunyai hubungan dengan Syiah Qaramitah.[5]
2. Konsep al-Hullul Mansur al-Hallaj
Konsep yang diusung oleh Mansur Al-Hallaj dalam praktek pengalaman tasawufnya sebenarnya berpijak dari kedekatannya dengan Tuhan. Kedekatan berikut dengan segala atribut nuansa spiritualnya bertumpu pada konsep teologi yang masih dalam koridor spiritualitas Islam (Islamic Spirituality). Spiritualitas Islam14 yang senantiasa identik dengan upaya menyaksikan Yang Satu, mengungkap Yang Satu, dan mengenali Yang Satu, Tuhan dalam kemutlakan Realitas-Nya yang melampaui segala manifestasi dan determinasi, Sang Tunggal yang ditegaskan dalam al-Qur’an dengan nama Allah.[6]
Ajaran tasawuf Al-Hallaj yang terkenal adalah konsephulul. Tuhan dipahami mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu setelah manusia tersebut betul-betul berhasil melenyapkan sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuhnya.
Menurut Al-Hallaj bahwa Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu al-lahut (sifat ketuhanan) dan al-nasut (sifat kemanusiaan).[7]
Demikian juga manusia juga memiliki dua sifat dasar yang sama. Oleh karena itu, antara Tuhan dan manusia terdapat kesamaan sifat. Argumentasi pemahaman ini dibangun berdasarkan kandungan makna dari sebuah hadits yang mengatakan bahwa : “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentukNya” sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Ahamad bin Hambal atau Imam Hambali. Hadits ini memberikan wawasan bahwa di dalam diri Adam as terdapat bentuk Tuhan yang disebutal- lahut. Sebaliknya di dalam diri Tuhan terdapat bentuk manusia yang disebutal-nasut.
Berdasarkan pemahaman adanya sifat antara Tuhan dan manusia tersebut, maka integrasi atau persatuan antara Tuhan dan manusia sangat mungkin terjadi. Proses bersatunya antara Tuhan dn manusia dalam pemahaman ini adalah dalam bentukhulul.[8]
Bersatunya antara Tuhan dan manusia harus melalui proses bersyarat, dimana manakala manusia berkeinginan menyatu dengan Tuhannya, maka ia harus mampu melenyapkan sifat al-nasutnya. Lenyapnya sifat al-nasut, maka secara otomatis akan dibarengi dengan munculnya sifat al-lahut dan dalam keadaan seperti inilah terjadi pengalamanhulul.[9]
Untuk melenyapkan sifat al-nasut, seorang hamba harus memperbanyak ibadah. Dengan membersihkan diri melalui ibadah dan berhasil usahanya melenyapkan sifat ini, maka yang tinggal dalam dirinya hanya sifat al-lahut. Pada saat itulah sifat al-nasut Tuhan turun dan masuk ke dalam tubuh seorang Sufi, sehingga terjadilah hulul, dan peristiwa ini terjadi hanya sesaat.
Pernyataan al-Hallaj bahwa dirinya tetap ada, yang terjadi adalah
bersatunya sifat Tuhan di dalam dirinya, sebagaimana ungkapan syairnya :
 “Maha suci zat yang sifat kemanusiaan-Nya membukakan rahasia
ketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian kelihatan bagi makhluknya
dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum”.
Dalam syair di atas tampak Tuhan mempunyai dua sifat dasar ke- Tuhanan, yaitu “Lahut” dan “Nasut”. Dua istilah ini oleh al-Hallaj diambil dari falsafah Kristen yang mengatakan bahwa Nasut Allah mengandung tabiat kemanusiaan di dalamnya. Dalam konsep hulul al-Hallaj dimana Tuhan dengan sifat ketuhanan menyatu dalam dirinya, berbaur sifat Tuhan itu dengan sifat kemanusiaan.
Penyatuan antara roh Tuhan dengan roh manusia dilukiskan oleh
al-Hallaj di dalam syairnya sebagai berikut :
 “JiwaMu disatukan dengan jiwaku, sebagaimana anggur dicampur dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu dalam setiap keadaaan Engkau adalah aku”.[10]
Bahkan didalam syairnya yang lain, al-Hallaj melukiskan dengan
sangat jelas bahwa :
 “Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucinta adalah aku.
Kami adalah dua roh yang bersatu dalam satu tubuh. Jika engkau lihat
aku, engkau lihat Dia, dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat kami”.[11]
Tatkala peristiwa hulul sedang berlangsung, keluarlah syatahat (kata-kata aneh) dari lidah al-Hallaj yang berbunyi Ana al-Haqq (Aku adalah Yang Maha Benar). Kataal-Haq dalam istilah tasawuf, berarti Tuhan. Sebagian masyarakat saat itu menganggap al-Hallaj telah kafir, karena ia mengaku dirinya sebagai Tuhan. Padahal yang sebenarnya, dengan segala kearifan dan kerendahan hati spiritualnya, al-Hallaj tidak mengaku demikian. Perspektif ini dibangun berdasarkan ungkapan syairnya yang lain dengan mengatakan bahwa :
 “Aku adalah Rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku, aku hanya satu dari yang benar, dibedakanlah antara kami atau aku dan Dia Yang Maha Benar”.
Dalam pengertian lain dapat diungkapkan bahwa syatahat yang keluar dari mulut al-Hallaj tidak lain adalah ucapan Tuhan melalui lidahnya.[12]
Dengan ungkapan ini, semakin tidak mungkin untuk memahami bahwa maksud al-Hallaj dengan hululnya dalam berbagai syairnya adalah dirinya al-Haq. Jadi karena sangat cintanya kepada Allah menjadikan tidak ada pemisah antara dirinya dengan kehendak Allah, seolah-olah dirinya dan Tuhan adalah satu. Sebagaimana diungkapkan dalam syairnya : “Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku”.[13]
Seandainya apa yang dikemukakan oleh Harun Nasution, tentang tafsiran al-Hallaj mengenai perintah Tuhan agar sujud kepada Adam (QS. 2 : 34) adalah pendapat yang sebenarnya yang dimaksud oleh al-Hallaj, tentu ini pandangan yang sesat. Karena apabila masuk ke jiwa seseorang misalnya Isa, maka jadilah Tuhan semisal Isa, ini bertentangan dengan firman Allah “Laisa kamitslihi syaiun”. Apabila dengan masuknya Tuhan ke dalam diri manusia tidak dengan tidak mengurangi keberadaan Tuhan, maka berarti ada dua Tuhan atau sekurang-kurangnya belahan Tuhan yang dapat dinamakan dengan anak Tuhan sebagaimana yang disebut penganut Kristen sekarang, tentu ini sangat bertentangan dengan Al-Qur’an Surat Al-Ikhlash.
Namun pendapat al-Hallaj bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan itu akan masuk ke dalam diri manusia dengan jalan fana’ yaitu dengan menghilangkan sifat kemanusiaan, hal ini dapat diterima. Sebagaimana menurut al-Hallaj ia bukanlah Yang Maha Benar, tetapi hanyalah satu dari yang benar. Jadi menurutnya, ia bukan Tuhan. Oleh karena itu yang lebih tepat dalam manafsirkan atau memahami ajaran al- Hallaj adalah bahwa menurutnya, Tuhan mengisi diri manusia-manusia tertentu dengan sifat ketuhanan, maka jadilah manusia itu satu dari yang benar, dialah manusia yang memiliki / dikaruniai sifat Tuhan
C.    AL-HULUL DALAM TASAWUF
A. Sejarah Al-Khulul
Doktrin al-Hulul adalah salah satu tipe dari aliran tasawuf falsafi dan merupakan perkembangan lanjut dari paham al-Ittihad. Konsepsi al-Hulul pertama kali ditampilkan oleh Husein Ibn Masur al-Hallaj yang meninggal karena dihukum mati di Baghdad pada tahun 308 H, karena paham yang ia sebarkan itu dipandang sesat oleh penguasa pada masa itu.
   B. Pengertian Al-Khulul
Pengertian al-khulul secara singkat ialah Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat-sifat kemausiaannya melalui fana dan ekstase.
Menurut Al-Hamdany (Sanggahan Terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi. 1969, Hal : 19) menyebutkan bahwa, hulul merupakan kepercayaan manusia bahwa Allah bersemayam ditubuh salah seorang yang kiranya bersedia untuk ditempati, karena kemurnian jiwanya dan kesulitan ruhnya. Di antara orang-orang yang menganut aqidah dan kepercayaan itu ialah al-Hallaj yang telah dihalalkan darahnya oleh para alim ulama hingga ia terbunuh.

C. Konsep Ajaran Al-Khulul
Menurut al-Hallaj manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat ketuhannan atau lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut. Demikian juga halnya tuhan memiliki sifat ganda, yaitu sifat-sifat Ilahiyat dan lahut dan sifat Insaniyah atau nasut. Apabila seseorang telah dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dan mengembangkan sifat-sifat Ilahiyatnya melalui fana, maka Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan dan inilah yang dimaksud dengan hulul.
Teori lahut dan nasut ini, berangkat dari pemahamannya tentang proses kejadian manusia. Al-Hallaj berpendapat bahwa Adam sebagai manusia pertama diciptakan Tuhan sebagai copy dari diri-Nya – shurah minn nafsih – dengan segenap sifat dan kebesarannya, sebagaimana ia ungkapkan dalam syairnya.
“Maha suci dzat yang menampakkan nasut-nya, Seiring cemerlang bersama lahut-Nya, Demikian padu makhluk-Nya pun terlihat nyata, Seperti manusia yang makan dan minum layaknya”.
Konsepsi lahut dan nasut ini didasarkan al-Hallaj pada firman Allah dalam Surah al-Baqarah 34, menurut pemahamannya, adanya perintah Allah agar malaikat sujud kepada Adam itu adalah karena Allah telah menjelma dalam diri Adam sehingga ia harus disembah sebagaimana meyembah Allah. Bagaimana gambaran hulul itu dapat dipahami dari ungkapan al-Hallaj berikut ini:
Berbaur sudah sukma-Mu dalam rohku jadi satu,
Bagai anggur dan air bening berpadu,
Bila engkau tersentuh, tertusuk pula aku,
Karena ketika itu, Kau dalam segala hal adalah aku.
Aku yang kurindu, danyang kurindu Aku jua,
Kami dua jiwa padu jadi satu raga,
Bila kau lihat aku, tampak jua Dia dalam pandanganmu,
Jika kau lihat Dia, kami dalam penglihatanmu tampak nyata.
Dari ungkapan di atas, terlihat bahwa wujud manusia tetap ada dan sama sekali tidak hancur atau sirna. Dengan demikian, nampaknya paham hulul ini bersifat figuratif, bukan riel karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalam kondisi fana dalam iradat Allah. Manusia diciptakan Tuhan sesuai dengan citra-Nya, maka makna perpaduan itu adalah munculnya citra Tuhan ke dalam citraNya yang ada dalam diri manusia, bukan hubungan manusia dengan Tuhan secara riel. Oleh karena itu, ucapan ana al-haqq yang meluncur dari lidah al-Halaj, bukanlah ia maksudkan sebagai pernyataan bahwa dirinya adalah Tuhan. Sebab, yang mengucapkan kalimat itu pada hakikatnya adalah Tuhan juga tetapi melalui lidah al-Hallaj. Interpretasi ini sesuai pula dengan pernyataan al-Hallaj dalam syair berikut:
“Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, aku bukanlah Yang Maha Benar”.




BAB III
         PENUTUP
    KESIMPULAN
Khulul secara etimologis berasal dari kata hall-yahull-hulûl berarti berhenti atau diam, Menurut Abû Manshûr al-Hallaj dalam tasawuf filosofis menyatakan bahwa hulûl adalah pengalaman spiritual seorang sufi sehingga ia dekat dengan Allah, lalu Allah memilih kemudian menempati dan menjelma padanya, Konsep yang diusung oleh Mansur al-Hallaj dalam praktek pengalaman tasawufnya sebenarnya berpijak dari kedekatannya dengan Tuhan. Kedekatan berikut dengan segala atribut nuansa spiritualnya bertumpu pada konsep teologi yang masih dalam koridor spiritualitas Islam (Islamic Spirituality), Menurut al-Hallaj manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat ketuhannan atau lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut. Demikian juga halnya tuhan memiliki sifat ganda, yaitu sifat-sifat Ilahiyat dan lahut dan sifat Insaniyah atau nasut.




DAFTAR PUSTAKA
Azra Azyumardi, et. Al., Ensiklopedia Islam, Jakarta, PT Ichtiar Baru van Hoeve, Cetakan X, 2002.
al-Syaiby Musthafa, Syarah al-Diwan li al-Hallaj (Beirut : Maktabah An- Nahdhoh, 1974)

Hadi M. Abd. W., dalam pengantar Saleh Abdul Sabur, Tragedi al-Hallaj, Pustaka, Bandung, 1976, viii.

Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam (Jakarta, Raja Grafindo, 1997).


Joebar Ajoeb, dalam pengantar Ibrahim Gazur I-Ilahi, The Secret of Ana L-Haqq, (Jakarta : Rajawali, 1986

Siregar Rivay. 2000. Tasawuf : Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufieme. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada

Said bin Abdullah Al-Hamdany. 1969. Sanggahan Terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi. Bandung : Pelit










[1] Kamil Musthafa al-Syaiby, Syarah al-Diwan li al-Hallaj (Beirut : Maktabah An-
Nahdhoh, 1974), 19
[2] Azyumardi Azra, et. Al., Ensiklopedia Islam, Jakarta, PT Ichtiar Baru van Hoeve, Cetakan X, 2002, hal. 74.
[3] M. Abd. Hadi W., dalam pengantar Saleh Abdul Sabur, Tragedi al-Hallaj, Pustaka,
Bandung, 1976, viii.
[4] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam (Jakarta, Raja Grafindo, 1997)

[5] Syiah Qaramitah adalah sebuah kelompok Syiah beraliran garis keras yang dipimpin
[6] Sulaiman Al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym, Semarang, Pustaka Nuun, 2004, hal. 4
[7] Azyumardi Azra, ibid.
[8] Ibid.
[9] M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999, hal. 57
[10] Ajoeb Joebar, dalam pengantar Ibrahim Gazur I-Ilahi, The Secret of Ana L-Haqq,
(Jakarta : Rajawali, 1986), 21
[11] Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1973), 90.
[12] Azyumardi Azra, et.al.,Log.cit, hal. 75