Ini Gw bkan Lu Bkn Dia dan bkan Mereka

Ini Gw bkan Lu Bkn Dia dan bkan Mereka
Persahabatan tak akan ada matinya....

Rabu, 30 November 2011

Bahasa

Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang dalam kehidupannya selalu hidup bermasyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakatnya ini dikembangkan ialah norma-norma etika yang membedakan antara yang benar dan yang salah, dan norma-norma estetika yang membedakan antara yang baik dan yang buruk atau yang indah dan yang tidak indah. Norma-norma etika dan norma-norma estetika yang demikian itu diterapkannya ke dalam setiap aspek kehidupannya, juga ke dalam setiap lembaga-lembaga sosialnya.
Bahasa adalah salah satu dari lembaga sosial kemanusiaan. Karena itu tidak heranlah kalau kita di dalam berbahasa membedakan antara bentuk ucapan bahasa yang benar/betul dan yang salah, antara bentuk ucapan bahasa yang baik/indah dan yang tidak baik/tidak indah.
Sehubungann dengan ini Otto Jespersen (1954: 110) mengatakan bahwa pembedaan antara bentuk ucapan bahasa yang benar dan yang salah dan antara yang baik dan yang buruk itu disebabkan oleh karena adanya kebiasaan membedakan serupa itu dalam bidang kehidupan yang lain. Selanjutnya dikatakan bahwa pembedaan serupa itu sebenarnya bukanlah persoalan bahasa itu sendiri, melainkan pembedaan yang dibuat oleh masyarakat pemakai bahasa itu.
Bentuk ucapan bahasa yang benar dan yang baik itu sering dihubungkan dengan bentuk ucapan bahasa yang baku atau standar, yaitu bentuk ucapan bahasa yang dipakai sebagai pedoman atau dianggap sebagai bentuk ucapan bahasa yang ideal.
Ditinjau secara hakikinya dan secara ilmu pengetahuan, antara bentuk ucapan bahasa yang benar dan bentuk ucapan bahasa yang baik/bagus dan bentuk ucapan bahasa yang standar (bahasa standar) tidak bisa diidentikkan begitu saja yang satu dengan yang lainnya, karena masing-masing mempunyai pengertiannya tersendiri dan ciri-ciri yang tersendiri pula. Tetapi walaupun demikian yang satu dengan yang lainnya masih menunjukkan hubungan yang dekat yang membuat orang mengidentikkannya. Hakikat, ciri-ciri, dan hubungan antara bentuk ucapan bahasa yang benar, bentuk ucapan yang baik dan bahasa standar inilah yang akan dibahas dalam uraian berikut.
Persoalan benar-salah dalam bentuk ucapan bahasa
Persoalan benar-salah dalam bentuk ucapan bahasa merupakan persoalan yang selalu hangat dibicarakan oleh para penyelidik bahasa dan para pengajar/guru bahasa. Bermacam-macamlah pendapat orang tentang persoalan ini.
C.F. Hockett (1960: 3) misalnya mengatakan bahwa persoalan benar-salah dalam ucapan bahasa ini adalah persoalan para sosiolog dan para anthropolog dalam pembicaraannya tentang etika. Karena itu ilmu bahasa dalam arti yang sempit (pure linguistiks) tidak mempunyai kompetensi membahas persoalan yang demikian ini, karena secara ilmu bahasa pembedaan yang demikian itu tidak dipersoalkan selama bentuk ucapan bahasa itu telah menunjukkan kesanggupannya sebagai alat komunikasi di dalam masyarakatnya.
Sebagai argumentasi ditunjukkan oleh Hockett sebuah kalimat dalam bahasa Inggris yang berbunyi: “It is I.” Bentuk ini sudah demikian umumnya dipakai di tengah masyarakat pemakai Bahasa Inggris, tetapi kaum puris bahasa Inggris mengatakan bahwa bentuk ucapan itu adalah bentuk ucapan yang salah. Seharusnya: “It is me.” Jadi, kalau demikian ada dua gejala, yaitu gejala yang membetulkan bentuk ucapan yang pertama karena sudah lazim dipakai di tengah masyarakat dan gejala yang kedua menyalahkan bentuk ucapan yang pertama ini dan mengharuskan seperti bentuk ucapan yang kedua sebagai bentuk ucapan yang betul karena seperti ketentuan yang ada dalam tatabahasa Inggris. Berhadapan dengan gejala yang demikian itu Hockett lalu bertanya: “Are ‘incorrect’ form to be avoided under all circumstances?” Rupanya sulitlah bagi kita akan memberikan jawaban kepada pertanyaan Hockett ini. Demikianlah pertentangan yang sering ada antara bentuk ucapan bahasa yang dikatakan salah menurut ketentuan tatabahasa dengan bentuk ucapan bahasa yang umum/yang lazim dipakai di tengah-tengah masyarakat.
Senada dengan contoh yang dikemukakan oleh Hockett, dalam bahasa Indonesia sampai saat ini rupanya orang belum bisa menyelesaikan persoalan bentukan seperti: ini hari, lain kali dsb., yang di satu pihak dikatakan sebentukan yang salah karena bertentangan dengan ketentuan hukum DM, sedangkan di pihak lain dikatakan sebagai bentuk yang sudah lazim dipakai di tengah-tengah masyarakat bahasa Indonesia.
Adapula yang mengatakan bahwa bentuk ucapan bahasa yang betul itu adalah bentuk ucapan bahasa yang logis. Kalaupun ketentuan ini kita ikuti, maka kita dilihatkan ke dalam persoalan bentuk ucapan bahasa yang bagaimanakah yang dikatakan logis itu?
Sebagaimana kita mengetahuinya, persoalan logis dan tidak logis itu adalah persoalan logika. Persoalan bahasa bukanlah semata-mata persoalan logika. Persoalan bahasa adalah persoalan simbolisasi dan persoalan persepakatan antar anggota masyarakat bahasa itu (S. Wojowasito, MCMLXI: 10). Malahan, menurut Prof. S. Wojowasito banyak sekali kita dapati peristiwa-peristiwa bahasa yang berlangsung secara tidak logis, seperti misalnya dalam bentukan-bentukan analogi. Dilihat dari segi kenyataan bahasa yang demikian ini, sulitlah bagi kita untuk memakai dasar ‘logis’ sebagai dasar untuk menentukan bahasa yang betul itu.
Sering pula orang menghubungkan bentuk ucapan bahasa yang betul itu dengan bentuk ucapan bahasa yang diinginkan oleh masyarakat. Gejala yang demikian ini disinyalir oleh O. Jespersen (1954: 125) sebagai berikut: “… that correct speech means the speech that community expects”. Memang masyarakat mengharapkan bentuk ucapan bahasa yang betul itu, tetapi anehnya masyarakat tidak merumuskan secara tegas manakah bentuk ucapan bahasa yang betul itu. Karena itu, bagi setiap pemakai bahasa sering terdapat gambaran yang berbeda-beda tentang bahasa yang betul yang dikehendaki oleh masyarakat itu. Persoalan ini akan menjadi lebih jelas kalau kita tinjau dari keadaan yang dialami oleh tiap individu dalam pengucapan bahasanya di tengah masyarakat.
Sebagai seorang anggota masyarakat dia terikat oleh ketentuan-ketentuan yang ada dalam masyarakat itu. Dan, sebagai seorang anggota masyarakat bahasa terikat oleh ketentuan-ketentuan bahasa masyarakat itu. Tetapi bagi dirinya sendiri dan bagi pengemukaan ekspresi-ekspresinya seperti yang diinginkannya dia menghendaki kebebasan yang seluas-luasnya. Namun masyarakat dan ketentuan bahasa masyarakat hanya memberikan peluang yang terbatas untuk maksud ini. Dalam hubungan ini bahasa masyarakat itu seperti yang dikatakan oleh O. Jespersen (1954: 113) sebagai berikut: “People often talk of the tyranny of linguistic usage, and the community is certainly, in the domain of language usage and in other domains, tyrannical in some of its domains”. Akibatnya, ucapan bahasa tiap individu itu selalu akan berkisar antara tuntutan masyarakat dan tuntutan pemenuhan kebutuhan ekspresinya. Demikian kata Jespersen. Atas dasar kenyataan ini, kriteria bentuk ucapan bahasa yang diinginkan masyarakat ini pun tidak begitu mudah untuk diterapkan untuk menentukan bentuk ucapan bahasa yang betul.
Demikianlah antara lain kesulitan yang kita hadapi dalam menentukan bentuk ucapan bahasa yang betul itu. Karena itu, dapatlah kita pahami kalau linguistik dan ilmu pengetahuan pada umumnya, menolak untuk mengadakan pembahasan tentang apa yang disebut bentuk ucapan bahasa yang betul ini. Dikatakannya: … from adalah scientific point of view there was nothing in language which could be called correct or incorrect” (O.Jespersen, 1954: 125).
Walaupun dalam perkembangan linguistik modern akhir-akhir ini, persoalan bentuk ucapan bahasa yang betul ini tidak dicantumkan dalam programnya, tetapi bagi pedoman berbahasa dan untuk kepentingan pengajaran bahasa, persoalan betul dan salah dalam bentuk pengucapan bahasa tersebut tidak bisa kita tinggalkan begitu saja. Lebih-lebih lagi dalam pengajaran bahasa Indonesia, di mana bahasa Indonesia bagi kebanyakan anggota masyarakat bangsa Indonesia merupakan bahasa kedua, yaitu bahasa yang baru kemudian dipelajarinya. Di samping itu, usaha-usaha ke arah standardisasi bahasa Indonesia pun menghendaki kita merumuskan secara tegas mana yang dimaksudkan dengan bentuk ucapan bahasa Indonesia yang betul. Untuk maksud ini, ada baiknya kita pertimbangkan cara-cara yang pernah diterapkan oleh sarjana-sarjana bahasa untuk menentukan standar dari bentuk ucapan bahasa yang betul itu.
Adapun cara-cara yang bisa dipakai untuk menentukan bentuk ucapan bahasa yang betul itu, dalam uraian ini akan dibatasi pada cara-cara yang pernah dikerjakan oleh Adolf Noreen dalam disertasinya tentang “Standard of Correctness” (Diambil dari buku: Mankind, National and Individual, from a Linguistic Point of View, karya O. Jepersen, London, 1954).
Menurut A. Noreen ada tiga buah pandangan dasar untuk menentukan bentuk ucapan bahasa yang betul itu, yaitu:
1. Dari sudut pandangan sejarah bahasa sastra (aslinya: Literary Historical).
2. Dari sudut pandangan sejarah perkembangan alamiah dari bahasa (aslinya: Natural Historical).
3. Dari sudut pandangan rasional (aslinya: Rational).
Dari sudut pandangan sejarah bahasa sastra, bentuk ucapan bahasa yang betul itu adalah bentuk ucapan bahasa yang telah dipakai oleh para pengarang dalam karya-karya sastranya. Ini bisa dipakai sebagai pedoman karena bagaimanapun juga kita tidak bisa mengingkari bahwa para pengarang telah mengabadikan hukum-hukum bahasa yang sudah berjalan. Bentuk ucapan bahasa para pengarang ini tidak akan lain dari bentuk ucapan bahasa yang pernah dan sedang berlaku, karena karangannya itu di samping merupakan yang pernah dan sedang berlaku, karangannya juga memang sengaja disiapkan agar bisa dibaca dan dinikmati oleh masyarakat bahasa tersebut. Dalam mengemukakan buah pikirannya, para pengarang jelas menggunakan bahasa yang umum hidup di tengah masyarakatnya dan juga merupakan bentuk ucapan bahasa yang betul demi tidak terjadinya salah tafsir tentang ide yang ingin disampaikan melalui karanganya itu. Demikianlah kata Noreen.
Pandangan serupa ini rupanya dianut pula St. Takdir Alisyahbana (1957: 108) seperti tampak dalam sarannya tentang cara penyusunan tatabahasa Indonesia, yaitu dengan meneliti sebanyak dua puluh buah karangan sastrawan Indonesia terkenal.
Walaupun Norren menyarankan memakai bahasa para pengarang sebagai standar norma untuk menentukan bentuk ucapan bahasa yang betul ini, ditegaskan pula bahwa ketentuan tersebut bukan merupakan ketentuan yang mutlak. Dikatakannya bahwa tidak semua bentukan yang dipakai oleh para pengarang itu adalah bentukan yang betul. Dan juga jangan diartikan bahwa pemakaian bahasa pengarang sebagai standar norma ini mengharuskan kita kembali memakai bentukan-bentukan yang hanya tepat untuk masa karangan itu ditulis. Pakailah bahasa pengarang itu sebagai pedoman umum saja untuk kemudian disesuaikan dengan perkembangan bahasa itu sendiri. Demikianlah kata Noreen.
Kalau kita berbicara soal kelemahan dari pemakaian bahasa pengarang/bahasa sastra sebagai titik tolak untuk menentukan bentuk ucapan bahasa yang betul ini, maka akan kita dapati kelemahan-kelemahan antara lain sebagai berikut:
1. Bahasa sastra/ bahasa pengarang itu adalah suatu dialek, yaitu dialek sastra (Literary dialect) (W.N. Francis, 1958: 48). Sebagai suatu dialek, dia mempunyai corak pengucapan bahasa tersendiri yang antara lain tampak dalam pemilihan unsur-unsur bahasa yang dipakainya. Karena itu J. Vendreyes (1952: 272-273) cenderung untuk menamakan bahasa sastra itu sebagai special language, yaitu bahasa yang artistik (artistic writing). Selanjutnya dikatakan: “Artistic writing is always a reaction againts the standard language”. Jadi, dari segi ini, sulitlah bagi kita untuk memakai bahasa sastra itu sebagai pedoman.
2. Kelemahan dari pemakaian bahasa sastra/bahasa pengarang sebagai standar norma ini akan tampak pula dari segi pengarangnya sendiri. Jasa seorang pengarang sebenarnya bukanlah dalam bidang bahasa, melainkan dalam sumbangannya pada pengungkapan nilai-nilai hidup dalam bentuk seni. Lebih-lebih lagi dalam sastra modern yang lebih mengutamakan persoalan isi dari pada persoalan bentuk. Seorang pengarang tidak akan akan mengorbankan nilai-nilai seni yang akan diungkapkannya itu di bawah tekanan norma-norma bahasa sepenuhnya.
Tetapi, bagaimanapun juga, kelemahan-kelemahan yang ada atau dikatakan ada pada bahasa sastra, secara umum dapat kita katakan bahwa bahasa sastra itu adalah refleksi dari bahasa standar, bahasa yang betul, demikian kata J. Vendreyes (1952: 274).
Selanjutnya akan dibahas tentang penentuan bentuk ucapan bahasa yang betul dari sudut pandangan perkembangan alamiah dari bahasa itu (natural historical main of view).
Noreen mengatakan bahwa bahasa itu adalah suatu organisme yang berkembang secara alamiah di dalam masyarakatnya. Karena itu, bentuk ucapan bahasa yang betul itu adalah bentuk ucapan bahasa yang hidup di tengah-tengah masyarakat bahasa itu. Dikatakan oleh Noreen bahwa dalam penentuan bentuk ucapan bahasa yang betul itu, kita harus sebanyak mungkin berorientasi kepada bentuk ucapan yang sedang hidup dipakai. Kita tidak perlu terlalu banyak terikat pada ketentuan-ketentuan yang pernah dirumuskan sebelumnya.
Anggapan Noreen seperti ini bisa kita pahami kalau kita hubungkan dengan masa desertasinya ditulis (tahun 1895, yaitu abad ke-19), yaitu suatu masa di mana linguistik sangat berpedoman kepada perkembangan alamiah dari bahasa dan menganggap apa yang sedang terpakai itu adalah bentuk-bentuk yang betul. Malahan menurut O. Jespersen (1954: 77) sebenarnya persoalan betul salah pada waktu itu tidak ada, sehingga kurang tepatlah kalau Noreen memakai dasar perkembangan alamiah bahasa ini sebagai titik tolak. Demikian kata Jespersen.
Sudut pandangan Noreen yang ketiga adalah sudut pandangan rasional. Dari sudut pandangan ini yang dikatakan bentuk ucapan bahasa yang betul itu adalah: “The best is that which can be cought most exactly and most quickly by the audience present and be most easyly produced by the speaker” (O. Jespersen, 1954: 77). Bentuk ucapan bahasa yang betul itu adalah bentuk ucapan yang dapat mengungkapkan sesuatu sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya mudah ditangkap oleh pendengar dan mudah diucapkan oleh pemakai bahasa itu. Jadi, dengan cara ini, kita bisa mengatakan suatu bentuk itu betul kalau kita temui di dalam bentuk ucapan itu suatu ketepatan dan kepraktisannya dalam pemakaiannya. Suatu bentuk ucapan bahasa yang berbelit-belit sifatnya akan kita katakan bentuk ucapan yang tidak betul, tetapi bentuk ucapan bahasa yang sederhana (mudah diucapkan) dan mempunyai daya ungkap yang tepat kita katakan bentuk ucapan yang betul.
Dari ketiga dasar pandangan yang dikemukakan oleh Noreen, rupanya dasar pandangan inilah yang paling lemah. Dengan dasar ini sebenarnya kita tidak berbicara persoalan betul-salah lagi tetapi persoalan gaya bahasa (style). Di samping itu, dengan cara ini akan timbul persoalan-persoalan sebagai berikut:
1. Dengan dasar mudah diucapkan, maka ada kemungkinan si pembicara akan berbuat seenaknya dalam pengucapan bahasanya.
2. Dengan dasar mudah ditangkap, kita harus memikirkan kualitas daya tangkap pihak yang mendengarkan bahasa yang kita ucapkan, karena suatu yang mudah ditangkap oleh kaum terpelajar misalnya tidak akan mudah ditangkap oleh orang-orang yang pendidikannya minim sekali.
Demikianlah cara-cara untuk menentukan bentuk ucapan bahasa yang betul yang disarankan oleh Adolf Noreen, dengan segala kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang ada di dalamnya.
Akhirnya dapat kita ambil sebagai pedoman untuk menentukan bentukan ucapan bahkan yang betul itu adalah ucapan bahasa yang umum dipakai di tengah masyarakat suatu bahasa yang sesuai dengan kondisi bahasa pada masa bahasa itu dipakai. Umum dipakai di sini harus diartikan frekuensi pemakaian bentukan itu cukup tinggi seperti tampak dipakainya oleh setiap lapisan pemakai bahasa itu. Dengan dasar pandangan serupa ini, maka bentuk ucapan bahasa yang betul yang akan dipakai sebagai pedoman dalam pengucapan bahasa harus diabadikan atau dikodifikasi dalam bentuk tatabahasa. Dengan kata lain tatabahasa yang tersusun atas dasar pandangan ini adalah tatabahasa yang sesuai dengan corak perkembangan bahasa pada masanya. Hal ini berarti, kita sangat dimudahkan memberi jawaban kepada pertanyaan:
“Apakah dan di manakah kita dapati bentuk ucapan bahasa yang betul itu?” Bentuk ucapan bahasa yang betul adalah bentuk ucapan bahasa yang sudah terkodifikasi dalam buku tatabahasa yang disusun berdasarkan kenyataan pemakaian bahasa yang umum sifatnya di tengah-tengah masyarakat bahasa itu.
Persoalan di sekitar bentuk ucapan bahasa yang bagus atau yang baik
Ke dalam bentuk ucapan bahasa yang bagus atau yang baik ini kita masukkan dua jenis bentuk ucapan bahasa, yaitu:
(a) bentuk ucapan bahasa yang jelas, dan
(b) bentuk ucapan bahasa yang indah.
Bila suatu bentuk ucapan bahasa mengandung kedua sifat (a) dan (b) ini maka kita katakanlah bentuk ucapan bahasa itu bagus atau baik.
Bentuk ucapan bahasa yang “jelas” tidak hanya berbeda dalam istilah dengan bentuk ucapan bahasa yang “indah”. Perbedaannya lebih banyak terletak pada esensi dan masing-masing ciri yang menandainya, seperti akan tampak dalam uraian berikut ini.
Bentuk ucapan bahasa yang jelas
Jelas tidaknya suatu bentuk ucapan bahasa itu, sebenarnya terletak pada kualitas daya informatif yang ada pada bentuk ucapan bahasa itu sendiri. Jika dia mempunyai kesanggupan memberikan informasi yang jelas tentang konsep yang dimaksudkan oleh si pembicara dan pihak kedua (mereka yang menangkap bentuk ucapan ini) juga mendapatkan gambaran konsep persis seperti yang dimaksudkan oleh si pembicara, maka kita katakan banhwa bentuk ucapan bahasa itu jelas. Inilah yang diistilahkan oleh Jack London dengan “The precision of utterance”. Jadi, bentuk ucapan bahasa yang jelas itu akan memberi kepuasan baik kepada orang pertama (si pembicara) maupun kepada orang kedua (orang yang menangkap bentuk ucapan itu).
Dari uraian ini tampaklah bahwa persoalan jelas tidaknya suatu bentuk ucapan bahasa itu tidak semata-mata terletak pada bentuk ucapan itu sendiri, namun lebih banyak pada persamaan konsep yang ada pada orang pertama dan orang kedua. Sedangkan bentuk ucapannya sendiri tidak lebih dari pada fenomena formal yang mewadahi persamaan konsep itu.
Persoalannya sekarang adalah bagaimanakah caranya agar situasi yang serupa itu bisa tercapai? Dalam hubungan ini, peranan orang pertamalah yang banyak menentukan. Orang pertama ini hendaklah menjadi seorang pembicara yang baik. Sebagai pembicara yang baik dia harus memiliki kroteria berikut.
1. Ia mempunyai pengetahuan yang baik tentang kemampuan bahasa orang kedua. Ini bisa diperoleh melalui secara teoretis melalui studi bahasa atau studi dialek (dialektografi) dari masyarakat bahasa orang kedua dan bisa juga secara praktis, yaitu dengan mengadakan praobservasi ke dalam masyarakat bahasa itu.
2. Ia harus mempunyai daya pengolahan yang baik terhadap stok materi bahasa yang tersedia. Pemilihan kata yang tepat dan penyusunannya dalam konteks kalimat yang tepat pula, merupakan modal terbesar dalam komunikasinya dengan orang kedua tersebut.
3. Orientasi filologis yang teliti terhadap bahasa orang kedua juga diperlukan untuk mendapatkan istilah-istilah, bentuk-bentuk ungkapan dan perbandingan yang tepat.
Di samping ketiga faktor tersebut, faktor gaya berbahasa (individual style) dari orang pertama juga merupakan daya penarik bagi orang kedua. Jadi, dalam hubungan ini, persoalan prinsipal bagi orang pertama adalah: “Dengan energi yang sekecil-kecilnya yang harus dikeluarkan oleh orang pertama dapat dihasilkan respons yang sebesar-besarnya pada orang kedua”. Inilah yang dikatakan oleh E. Tegner sebagai “goodness of style” yaitu: “That which eassiliest uttered is eassiliest received”. (Otto Jespersen, 1954: 119). Demikianlah persoalannya bentuk bahasa yang jelas itu.
Bentuk ucapan bahasa yang indah
Kalau kita berbicara tentang bentuk ucapan bahasa yang indah, berarti kita membicarakan nilai estetis yang ada dalam bentuk ucapan bahasa itu. Ini kita namakan nilai estetis objektif.
Menurut Prof. Slametmuljana (1956: 18), keindahan yang terdapat dalam bentuk ucapan bahasa itu merupakan perwujudan dari konsep keindahan yang ada pada pemakai bahasa itu. Konsep keindahan yang dimiliki oleh pemakai bahasa tersebut kita sebut nilai estetis subjektif.
Untuk mendapatkan gambaran yang agak jelas tentang bentuk ucapan bahasa yang indah itu, maka ada baiknya kalau persoalannya kita tinjau dari kedua segi nilai keindahan tersebut.
(1) Keindahan bentuk ucapan bahasa ditinjau dari segi subjeknya/pemakai bahasanya
Nilai estetis subjektif ini kita bedakan antara yang bersifat individual dan yang bersifat kolektif. Nilai estetika ebjektif yang bersifat individual ini antara lain berupa kesanggupan/daya mental dari seseorang pemakai bahasa dalam mencurahkan nilai-nilai keindahan ke dalam bentuk ucapan bahasa (selanjutnya kita sebut “daya curah estetis individual”).
Di samping itu, juga ditentukan oleh kesanggupan mental seseorang menanggapi/menikmati nilai-nilai estetis yang telah terwadahi dalam suatu bentuk ucapan bahasa (selanjutnya kita sebut “daya tanggap estetis individual’).
Daya curah estetis individual ini banyak ditentukan oleh modal estetika yang telah dimiliki oleh seseorang tertentu, yang secara populer disebut “bakat seni” dari orang itu. Di samping itu, pengalaman-pengalaman dan latihan-latihan dalam mencurahkan aspek-aspek keindahan akan mempertajam daya curah estetis ini. Dari pengalaman-pengalaman dan latihan-latihan ini, orang itu akan memahami dan dapat menggunakan kekuatan-kekuatan yang ada pada unsur-unsur bahasa, daya magis dari unsur-unsur bahasa itu, dan perimbangan-perimbangan ritme dari unsur-unsur bahasa itu. Demikian kata Jespersen. Seseorang yang berbakat seni akan mempunyai peluang yang lebih banyak jika dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyainya.
Adapun daya tanggap estetika individual berupa kesanggupan seseorang untuk menhayati nilai estetika yang ada pada suatu bentuk ucapan bahasa, seperti misalnya pada perimbangan bunyi-bunyi bahasa yang menyusun bentuk ucapan bahasa itu, pada kata-kata dan susunan kata-kata yang dipakai dalam kalimat-kalimat bentuk ucapan bahasa itu.
Perlu ditegaskan lagi bahwa daya curah dan daya tanggap di bidang estetika ini mempunyai sifat-sifat yang sangat subjektif sekali. Dia merupakan hasil kerjasama dari faktor bakat, lingkungan, dan pendidikan (Slametmuljana, 1956: 33). Demikianlah nilai estetika yang ada pada pemakai bahasa itu.
Di samping nilai estetika subjektif yang bersifat individual seperti yang terurai di atas, kita dapati juga nilai estetika subjektif yang bersifat kolektif, yang pada hakikatnya merupakan perluasan dari yang pertama tadi. Dalam persoalan ini kita bedakan antara: nilai estetika subjektif kolektif yang bercorak regional dan yang bercorak kelompok sosial tertentu. Pada yang bercorak regional kita dapati heterogenitas yang agak luas sedangkan pada yang bercorak kelompok sosial lebih banyak menunjukkan sifat-sifat yang homogen. Ini akan terbukti pada penilai keindahan dari pemakai bahasa di suatu daerah tertentu tampak bermacam-macam kualitasnya, sedangkan dalam lapisan kelompok sosial tertentu seperti misalnya kelompok seniman akan kita dapati penilaian keindahan yang relatif boleh dikatakan sama.
(2) Keindahan bentuk ucapan bahasa ditinjau dari segi objeknya, yaitu dari bentuk ucapan bahasa itu sendiri.
Tentang keindahan yang terdapat dalam bentuk ucapan bahasa itu sendiri, O. Jespersen (1954: 120) membedakan antara “keindahan dalam” (inner beauty) dan “keindahan luar” (outer beauty) yang biasanya disebutkan keindahan permukaan.
“Keindahan dalam” itu berupa nilai simbolisme yang ada pada bunyi-bunyi bahasa, daya lukis yang ada pada kata-kata, ungkapan dan kalimat-kalimat yang dipakai dalam bentuk ucapan bahasa itu. Bentuk ucapan bahasa yang mempunyai unsur-unsur keindahan dalam yang cukup baik, menurut W. Libby, akan merangsang timbulnya nilai keindahan yang maksimal.
Adapun “keindahan luar” atau “keindahan permukaan” itu berupa perimbangan unsur-unsur bentuk ucapan bahasa itu, yang menunjukkan suatu perimbangan yang harmonis.
Dari keseluruhan uraian tentang bentuk ucapan bahasa yang indah tersebut kita hanya mendapatkan uraian yang elementer sekali. Elementerisasi yang demikian itu memang sengaja dikerjakan, karena persoalan bentuk ucapan bahasa yang indah itu sebenarnya lebih banyak merupakan persoalan gaya bahasa (style) dan persoalan daerah jangkauan sastra. Ilmu yang berkompeten membicarakan persoalan ini dengan sendirinyaadalah ilmu sastra. Tinjauan dari segi ilmu bahasa hanya memberikan gambaran umum saja, yaitu tentang bagaimana tanggapan umum suatu masyarakat bahasa tentang bentuk ucapan bahasa yang indah itu. Karena itu, secara umum dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan bentuk ucapan bahasa yang indah itu adalah bentuk ucapan bahasa yang unsur-unsur menunjukkan perimbangan yang harmonis, mempunyai daya lukis yang maksimal sehingga dapat merangsang timbulnya nilai estetika para pemakai bahasa itu baik secara perseorangan maupun secara berkelompok.
Demikianlah persoalan bentuk ucapan bahasa yang indah itu dari sudut pandangan ilmu bahasa. Jadi, kalau demikian halnya – suatu bentuk ucapan bahasa dikatakan bagus atau baik, kalau bentuk ucapan bahasa itu jelas dan juga kalau bentuk ucapan bahasa itu indah. Perlu ditegaskan bahwa bentuk ucapan bahasa yang jelas itu tidak secara otomatis bisa dikatakan sebagai bahasa yang indah, demikian pula sebaliknya suatu bentuk ucapan bahasa yang indah tidak secara otomatis bisa kita katakan sebagai bahasa yang jelas. Masing-masing mempunyai ciri-cirin tersendiri, yang di dalam penentuan norma bentuk ucapan bahasa yang baik atau yang bagus itu kita usahakan bisa saling mengisi antara yang satu dengan yang lainnya.
Persoalan di sekitar bahasa standar dan hubungannya dengan bentuk ucapan bahasa yang betul dan bentuk ucapan bahasa yang baik.
(a) Persoalan di sekitar bahasa standar
Seperti halnya tentang bentuk ucapan bahasa yang betul dan bentuk ucapan bahasa yang baik, tentang bahasa standar pun kita dapati bermacam-macam batasan dan pencirian yang sering diberikan orang.
Di dalam uraian berikut, sebagai titik tolak pembahasan, akan dipakai batasan yang dikemukakan oleh Mario Pei seperti yang termuat di dalam bukunya yang berjudul Dictionary of Linguistics (London, 1954) halaman 203 sebagai berikut: “Standard language, That dialect of a language which as gained literary and cultural supremacy over the other dialects and is accepted by the speaker of the other dialects as the most proper form of that language”.
Dari batasan yang dikemukakan oleh Mario Pei ini kita dapati unsur yang merupakan ciri dari bahasa standar tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. Bahasa standar itu adalah suatu dialek.
2. Bahasa standar itu mempunyai kelebihan (supremasi) di bidang sastra dan kebudayaan lebih tinggi jika dibandingkan dengan dialek-dialek yang lain.
3. Bahasa standar itu diterima dan dipakai oleh pemakai dialek yang lain.
4. Bahasa standar itu dianggap merupakan bentuk ucapan bahasa yang baik.
Batasan bahasa standar dari Mario Pei ini adalah batasan yang bertolak dari sudut pandangan linguistik (sesuai dengan judul bukunya).
Linguistik menganggap dialek itu sebagai wadah terkecil dari interaksi bahasa di dalam satu kesatuan sosial. Karena itu, dapat dikatakan bahwa dialek adalah suatu corak pengucapan bahasa dari suatu kelompok sosial (lihat L.H. Gray, 1950).
Menurut Dr. van Ginneken (dalam S. Takdir Alisjahbana, 1957: 47) kelompok sosial bahasa ini merupakan suatu lingkaran bahasa (taalkringen) yang bisa dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1) menurut tempat kediaman para pemakainya (locale taalkringen); (2) menurut golongan dalam pergaulan (familiale taalkringen); dan (3) menurut pekerjaan dan kedudukan dalam pergaulan (sociale taalkringen).
Para linguis modern lebih cenderung melihat dialek itu dari kesatuan wadahnya, sehingga hanya dibedakan dua jenis dialek yaitu dialek geografis atau dialek regional, yaitu corak pengucapan bahasa di suatu daerah tertentu dan corak pengucapan bahasa dari suatu lapisan sosial tertentu yang disebutnya dialek sosial (W.N. Francis, 1958: 44-45).
Adapun ciri formal (ciri fenomena) dari suatu dialek itu, menurut L.H. Gray (1950: 25) tampak dalam persamaan-persamaan: ciri-ciri pengucapan (pronountiation), pemilihan kata (vocabulary) dari setiap anggota masyarakat dialek itu. Adanya persamaan pada ketiga unsur bahasa ini disebabkan oleh dorongan kejiwaan yang berasal dari dalam diri para anggota dialek itu sebagai perwujudan dari rasa kekelompokkannya, demikian menurut J. Vendreyes (1952: 248).
Atas dasar ciri-ciri dari dialek tersebut, maka bahasa standar sebagai suatu dialek dengan sendirinya mempunyai kekhususan dalam aspek pengucapannya, pemilihan kata-kata dan susunan kata-katanya, dan dalam perbendaharaan kata-katanya. Adapun ciri-ciri khususnya itu adalah ketiga aspek bahasa yang menandainya merupakan bentuk-bentuk ucapan bahasa yang baik dan bentuk ucapan bahasa yang betul. Atau, dianggap sebagai bentuk ucapan bahasa yang betul dan bentuk ucapan bahasa yang baik oleh masyarakat pemakainya. Inilah barang-barang yang dimaksudkan oleh Mario Pei dengan istilah “as the most proper form of that language”.
Ciri yang kedua dari bahasa standar itu adalah: bahasa standar itu sebagai suatu dialek mempunyai kelebihan (supremasi) di bidang sastra dan kebudayaan jika dibandingkan dengan dialek-dialek yang lain. Rupanya ciri ini bersumber dari sejarah terjadinya kebanyakan bahasa standar yang sekarang telah menjadi bahasa nasional dari beberapa negara.
Tentang hal ini J. Bram (1955: 29-30) secara umum mengatakan: … all national language began as local dialect and were carried to prominent position by the succesful social careers of their speakers”. Jadi prestasi di bidang sosial budaya dari para pemakai dialek itu yang membawa dialeknya ke tingkat supremasi.
Adapun contoh buktinya bisa kita ketahui misalnya dari sejarah kejadian Bahasa Perancis sekarang yang semula merupakan sebuah dialek saja, yaitu dialek Paris, tetapi karena dominasi pemakainya di bidang politik maka akhirnya dialek Paris ini terangkat menjadi bahasa standar bahasa Perancis. Gejala yang sama kita dapati juga sejarah kejadian bahasa Inggris, yang semula disebut dialek kota London dan bahasa Romawi yang semula merupakan dialek kota Roma (J. Vendreyes, 1952: 262-263).
Kesuksesan suatu dialek di bidang sastra yang kemudian membuat dialek itu terpilih menjadi bahasa standar, dibuktikan oleh dialek Toscana yang karena jasa-jasa pengarang Dante, Bocchacchio, dan Petrares lalu menjadi bahasa standar bahasa Italia, juga dibuktikan oleh dialek Slavonic yang kemudian menjadi bahasa standar bahasa Rusia.
Setelah dialek itu menjadi bahasa standar, supremasinya di bidang sastra dan budaya dalam arti yang seluas-luasnya masih tetap dipertahankan. Karena itulah sering dikatakan orang bahwa bahasa sastra itu adalah refleksi dari bahasa standar (Lihat: O. Jespersen, 1954)
Ciri ketiga dari bahasa standar itu sebenarnya merupakan akibat logis dari ciri yang kedua di atas ini. Prestasi, dominasi dan supremasi dari dialek serta pemakainya yang kemudian menjadi bahasa standar itu akhirnya mengakibatkan dialek itu diterima dan dipakai oleh pemakai dialek yang lainnya. Dan, keadaan ini menyebabkan bahasa standar itu menjadi corak ucapan bahasa yang umum (common language) seperti yang digambarkan oleh J. Vendreyes (1952: 260). Bahasa standar ini akhirnya merupakan bahasa yang umum dipakai oleh setiap pemakai bahasa itu, sehingga kita tidak bisa membedakan lagi dari dialek mana seseorang itu berasal. Sehubungan dengan ini, O. Jespersen (1954: 69) mengatakan bahwa ucapan bahasa umum atau bahasa standar ini tidak hanya membuat kita tidak mengetahui lagi dialek asli pemakainya, tetapi juga menghilangkan kesukaran-kesukaran atau kesulitan-kesulitan proses komunikasi antara orang-orang yang berasal dari berbagai macam dialek itu.
Perlu ditegaskan di sini bahwa bahasa standar itu tidaklah merupakan bahasa sehari-hari dari seluruh pemakai bahasa itu. Dalam pemakaian bahasa sehari-hari kebanyakan pemakai bahasa itu akan memakai dialeknya sendiri-sendiri. Tetapi, walaupun demikian ada selapisan masyarakat yang selalu memakai bahasa standar ini dalam kehidupannya sehari-hari. Lapisan sosial itu adalah lapisan atasan, seperti misalnya kaum terpelajar pada umumnya. Karena itu, sering pula dikatakan bahwa bahasa standar itu adalah bahasa lapisan atasan (cultivated language) (L. Bloomfield, 1961: 48).
Bahasa standar ini secara menyeluruh akan dipakai dalam suasana-suasana yang bersifat resmi dan suasana-suasana yang bersifat zaklijk, seperti misalnya dalam pengajaran di sekolah-sekolah, khotbah-khotbah agama dan suasana-suasan resmi kenegaraan. Memang lebih banyak bahasa standar ini dipakai dalam suasana-suasana resmi yang bersifat kenegaraan sehingga orang mengidentikkan begitu saja antara bahasa standar ini dengan bahasa resmi.
Dari keseluruhan uraian tentang bahasa standar tersebut, akhirnya kita dapat menarik kesimpulan bahwa yang diamksud dengan bahasa standar itu adalah suatu corak pengucapan bahasa (= dialek) yang dipakai di seluruh daerah bahasa tersebut dalam suasana-suasana yang bersifat resmi, sehari-hari dipakai oleh lapisan atas masyarakat bahasa itu. Unsur-unsur bahasa dari bahasa standar ini oleh seluruh pemakainya dianggap sebagai bentuk ucapan bahasa yang betul dan unsur ucapan bahasa yang baik.
(b) Hubungan antara unsur bahasa standar dengan bentuk ucapan bahasa yang betul dan bentuk ucapan bahasa yang baik
Secara implicit, persoalan hubungan antara bahasa standar dengan bentuk ucapan bahasa yang betul dan bentuk ucapan bahasa yang baik itu telah tersirat dalam uraian tentang ciri-ciri bahasa standar itu. Bentuk ucapan bahasa yang betul dan bentuk ucapan bahasa yang baik ini ada dalam kesatuan bahasa standar itu, atau merupakan kesatuan-kesatuan yang menandai bahasa standar itu. Maksudnya, unsur-unsur bahasa dari bahasa standar itu merupakan unsur bentuk ucapan bahasa yang betul dan yang baik.
Bentuk ucapan bahasa yang betul dan bentuk ucapan bahasa yang baik ini bukanlah merupakan suatu bahasa yang berdiri sendiri seperti halnya bahasa standar. Tidak ada suatu bahasapun yang baik atau yang betul semuanya atau buruk/salah semuanya. Setiap bahasa itu betul dan baik bagi masyarakat pemakainya, karena sudah merupakan sifat kodrati dari bahasa itu sesuai dengan kebutuhan masyarakat pemakainya (W.N. Francis, 1958: 9).
Demikian juga bentuk-bentuk yang ada dalam bahasa itu pada dasarnya sama betul dan sama baiknya, bentuk satu dengan bentuk yang lain tidak ada yang salah. C.C. Fries (1955: 6) mengatakan: “One form is as good as another just as long as the gross meaning is understood”. Apa yang kita namakan bentuk ucapan bahasa yang betul dan yang baik itu merupakan hasil penilaian yang disepakati oleh para anggota masyarakat bahasa dan itu ada pada bahasa standar.
Jika kita hubungkan persoalan ini dengan persoalan standar bahasa Indonesia, maka pertama-pertama perlu segera dikerjakan standardisasi bahasa Indonesia yang sedang dipakai sekarang ini, karena standardisasi yang telah ada masih menunjukkan standardisasi bahasa Melayu. Dengan terkodifikasinya standar bahasa Indonesia yang didasarkan atas kondisi struktur bahasa Indonesia sekarang ini, maka setiap pemakai bahasa Indonesia akan mempunyai gambaran yang sama tentang apa yang nanti kita sebut bentuk ucapan bahasa Indonesia yang betul dan bentuk ucapan bahasa Indonesia yang baik. Memang harus diakui bahwa gambaran para pemakai bahasa Indonesia sekarang tentang kedua bentuk ucapan bahasa ini tidak begitu jelas dan malahan sangat berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Dengan sendirinya, hal ini jangan diartikan bahwa gambaran umum sama sekali tidak ada. Bukan demikian maksudnya.
Yang boleh dikatakan adalah sekarang ini di tengah-tengah masyarakat bahasa Indonesia terdapat common sense tentang bentuk ucapan bahasa Indonesia yang betul dan yang baik. Common sense tentang ucapan baku bahasa Indonesia inilah yang perlu segera dikodifikasikan secara nyata (real) dengan rumusan yang jelas sehingga masyarakat pemakai bahasa Indonesia bisa mengetahuinya dengan pasti, yang dapat dipakai sebagai pedoman bagi pengucapan yang ideal.
Demikianlah persoalan di sekitar bentuk ucapan bahasa yang betul, bentuk ucapan bahasa yang baik dan bahasa standar itu pada umumnya dengan berbagai persoalan yang ada di dalamnya. Diharapkan pembahasan ini akan ada manfaatnya dalam pemikiran dan pelaksanaan standardisasi bahasa Indonesia yang segera harus dilaksanakan.