Bahwa kedudukan seorang nabi di
tengah umatnya tidak sama. Kedudukannya jauh lebih tinggi, Bahkan dari derajat
para malaikat sekalipun. Bukankah sampai pada titik tertentu dari langit yang
tujuh itu, malaikat Jibril pun harus berhenti dan tidak bisa meneruskan
perjalanan mi’raj? Sementara nabi Muhammad SAW sendiri saja yang boleh
meneruskan perjalanan. Ini menunjukkan bahwa derakat beliau SAW lebih tinggi
dari malaikat Jibril `alaihissalam.
Demikian juga
dengan masalah dosa. Kalau manusia umumnya bisa berdosa dan mendapat pahala,
para nabi justru sudah dijamin suci dari semua dosa . Artinya, seandainya mau,
para nabi itu mengerjakan hal-hal yang diharamkan, sudah pastiAllah tidak akan
menjatuhkan vonis dosa kepada mereka. Sebab tugas mereka hanya menyampaikan
syariah saja, baik dengan lisan maupun dengan peragaan. Namun karena para nabi
itu dijadikan qudwah hidup, maka mereka pun beriltizam pada syariat yang mereka
sampaikan.[1]
Pengecualian Syariat Buat
Pribadi Rasulullah SAW
Dalam
implementasinya, memang secara jujur harus diakui adanya sedikit detail syariah
yang berbeda antara Rasulullah SAW dengan umatnya. Namun pengecualian ini sama
sekali tidak merusak misi utamanya sebagai pembawa risalah dan juga qudwah.
Sebab di balik hal itu, pasti ada hikmah ilahiyah yang tersembunyi.
Misalnya, bila
umat Islam tidak diwajibkan melakukan shalat malam, maka Rasulllah SAW justru
diwajibkan untuk melakukannya.
Sesungguhnya
Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri kurang dari dua pertiga malam, atau
seperdua malam atau sepertiganya dan segolongan dari orang-orang yang bersama
kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu
sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia
memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah dari Al-Qur’an.
Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan
orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan
orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang
mudah dari Al-Qur’an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan
berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang
kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh nya di sisi Allah sebagai
balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan
kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[2]
Bila umat Islam diharamkan
berpuasa dengan cara wishal , maka Rasulullah SAW justru diperbolehkan bahkan
diperintahkan.
“Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa Rasulullah
SAW berpuasa wishal di bulan Ramadhan. Lalu orang-orang ikut melakukannya.
Namun beliau SAW melarangnya. Orang-orang bertanya, Mengapa Anda melakukannya?
Beliau menjawab, aku tidak seperti kalian. Sebab aku diberi makan dan diberi
minum”.
Bila
isteri-isteri umat Islam tidak diwajibkan bertabir dengan laki-laki ajnabi,
khusus buat para isteri Rasulllah SAW telah ditetapkan kewajiban bertabir.
Sehingga wajah mereka tidak boleh dilihat oleh laki-laki, sebagaimana mereka
pun tidak boleh melihat wajah laki-laki lain. Hal itu berlaku buat para isteri
nabi SAW. Kejadian itu bisa kita lihat tatkala Abdullah bin Ummi Maktuh yang
buta masuk ke rumah nabi SAW, sedang saat itu beliau sedang bersama dua
isterinya. Rasulullah SAW lalu memerintahkan mereka berhijab , meski Abdullah
bin Ummi Maktum orang yang buta matanya. Namun Rasulullah SAW menjelaskan bahwa
kedua isterinya bukan orang yang buta.
Karena itulah
Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran:
“Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka ,
maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi
hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak
mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya
perbuatan itu adalah amat besar di sisi Allah”.
Bila wanita
yang telah ditinggal mati oleh suaminya selesai dari ‘iddah mereka boleh
dinikahi oleh orang lain, maka para janda Rasulullah SAW justru haram dinikahi
selamanya oleh siapapun. Bahkan kepada mereka disandangkan gelar ummahatul
mukminin yang artinya adalah ibu orang-orang mukmin. Haramnya menikahi janda
Rasulullah SAW sama dengan haramnya menikahi ibu sendiri.[3]
Dan masih ada beberapa lagi
kekhususan Rasulullah SAW. Salah satunya adalah kebolehan beliau untuk tidak
menceraikan isteri yang jumlahnya sudah lebih dari 4 orang. Sedangkan umat
Islam lainnya, disuruh untuk menceraikan isteri bila melebihi 4 orang.
Sebagaimana
kita ketahui di masa lalu dan bukan hanya terjadi pada bangsa Arab saja, para
laki-laki memiliki banyak isteri, hingga ada yang mencapai ratusan orang.
Barangkali hal itu terasa aneh untuk masa sekarang. Tapi percayalah bahwa gaya
hidup manusia di masa lalu memang demikian. Dan bukan hanya tradisi bangsa Arab
saja, melainkan semua bangsa. Sejarah Eropa, Cina, India, Afrika, Arab dan
nyaris semuanya, memang terbiasa memiliki isteri banyak hingga puluhan. Bahkan
para raja di Jawa pun punya belasan selir.
Lalu datanglah
syariat Islam yang dengan bijaksana memberikan batasan hingga maksimal 4 orang
saja. Kalau terlanjur sudah punya isteri lebih dari empat, harus diceraikan
suka atau tidak suka. Kalau kita melihat dari sudut pandang para isteri, justru
kita seharusnya merasa kasihan, karena harus diceraikan.
Karena itulah
khusus bagi Rasulullah SAW, Allah SWT tidak memerintahkannya untuk menceraikan
para isterinya. Tidak ada pembatasan maksimal hanya 4 orang saja. Justru
pengecualian itu merupakan bentuk kasih sayang Nabi SAWkepada mereka, bukan
sebaliknya seperti yang dituduhkan oleh para orintelis yang hatinya hitam itu.
Mereka selama ini menuduh Rasulullah SAW sebagai orang yang haus perempuan,
nauzu bilahi min zalik.
Dalam
sejarah hidup nabi Muhammad, nabi baru melakukan poligami setelah istri pertama
beliau yaitu Khadijah wafat. Selama Khadijah hidup nabi selalu setia
menemaninya. Kematian Khadijah merupakan pukulan berat bagi perjuangan dakwah
nabi. Setelah kematian Khadijah barulah nabi Muhammad melakukan poligami dengan
berbagai alasan dari politik sampai ekonomi yang intinya melakukan perlindungan
bagi sang istri juga kerabatnya.
Yang
menjadi pertanyaan adalah mengapa jumlah istri yang dipoligami nabi lebih dari
4 (total sekitar 11)?. Padahal dalam surat An-Nisa 4 :3 dikatakan maksimal 4.
Inilah yang kadang menjadi senjata orang non muslim untuk mengolok-olok nabi
Muhammad. Untuk meluruskan persepsi ini alangkah baiknya jika kita melihat lagi
ayat An-Nisa 4 : tersebut dibawah ini:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (QS An-Nisa 4 :3).[4]
Khulul
secara etimologis berasal dari kata hall-yahull-hulûl berarti
berhenti atau diam. Menurut Abû Manshûr al-Hallaj dalam tasawuf filosofis
menyatakan bahwa khulûladalah pengalaman spiritual seorang
sufi sehingga ia dekat dengan Allah, lalu Allah memilih kemudian menempati dan
menjelma padanya. Konsep hulûldibangun di
atas landasan teori lâhûtdan nâsût. Lâhûtberasal dari perkataan ilâh yang
berarti tuhan, sedangkan lâhût berarti sifat ketuhanan. Nâsût berasal dari perkatan nâsyang berarti manusia; sedangkan nâsût berarti
sifat kemanusiaan. Menurut Al-Hamdany menyebutkan bahwa, hulul merupakan
kepercayaan manusia bahwa Allah bersemayamditubuh salah seorang yang kiranya bersedia
untuk ditempati, karena kemurnian jiwanya dan kesulitan ruhnya. Di antara
orang-orang yang menganut aqidah dan kepercayaan itu ialah al-Hallaj yang telah
dihalalkan darahnya oleh para alim ulama hingga ia terbunuh. Konsep yang
diusung oleh Mansur al-Hallaj dalam praktek pengalaman tasawufnya sebenarnya
berpijak dari kedekatannya dengan Tuhan. Kedekatan berikut dengan segala
atribut nuansa spiritualnya bertumpu pada konsep teologi yang masih dalam
koridor spiritualitas Islam (Islamic Spirituality). Spiritualitas Islam yang
senantiasa identik dengan upaya menyaksikan Yang Satu, mengungkap Yang Satu,
dan mengenali Yang Satu, Tuhan dalam kemutlakan Realitas-Nya yang melampaui
segala manifestasi dan determinasi, Sang Tunggal yang ditegaskan dalam
al-Qur’an dengan nama Allah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN
KHULUL
Khulul secara etimologis berasal dari kata hall-yahull-hulûl
berarti berhenti atau diam. Menurut Abû Manshûr al-Hallaj dalam tasawuf
filosofis menyatakan bahwa hulûladalah
pengalaman spiritual seorang sufi sehingga ia dekat dengan Allah, lalu Allah
memilih kemudian menempati dan menjelma padanya. Konsep hulûldibangun di atas landasan teori lâhûtdan nâsût. Lâhûtberasal dari perkataan ilâhyang berarti tuhan, sedangkan lâhûtberarti sifat ketuhanan. Nâsûtberasal dari perkatan nâs yang berarti manusia; sedangkan nâsûtberarti sifat kemanusiaan. Al-Hallaj
mengambil teori khulûl dari kaum Nasrani yang menyatakan bahwa Allah memilih
tubuh Nabi Isa, menempati, dan menjelma pada diri Isa putra Maryam. Nabi Isa
menjadi Tuhan, karena nilai kemanusiaannya telah hilang. KhulûlAllah pada diri Nabi Isa bersifat
fundamental dan permanen. Sedangkan khulul Allah pada diri al-Hallaj
bersifat sementara; melibatkan emosi dan spiritual; tidak fundamental dan
permanen.
Al-Hallaj
tidak menjadi Tuhan dan tidak menyatakan Tuhan, kecuali ucapan yang tidak
disadarinya (syathahât).
Al-Hallaj tidak kehilangan nilai kemanusiannya. Ia hanya tidak menyadarinya
selama syathahât.
Adapun tazkiyat
al-nafs adalah langkah untuk membersihkan jiwa melalui tahapan maqâmât hingga
merasakan kedekatan dengan Allah dan mengalami al-fanâ’ 'an al-nafs. Out put dari tazkiyat al-nafs
adalah lâhûtmanusia menjadi bening, sehingga bisa
menerima khulûldari nâsûtAllah.
Pada
tahun 301 H/913 M al-Hallaj masuk penjara Baghdad selama 8 tahun karena dituduh
terlibat makar dan nodai kesucian agama. Setidaknya ada empat tindakan
subversif yang dituduhkan kepadanya. Pertama, ia dituduh memiliki hubungan
politik dengan kaum Qarâmithah, gerakan bawah tanah yang hendak menggulingkan
pemerintah Abbasiyyah. Kedua, keyakinan al-Hallaj yang mengaku dirinya Tuhan,
ketika mengalami syathahât. Ketiga, keyakinan al-Hallaj bahwa
ibadah haji bukanlah kewajiban agama yang penting. Dan keempat, keyakinan
al-Hallaj tentang wahdat
al-adyân (kesatuan agama). Amnesti untuk al-Hallaj tidak terlaksana
karena sikap Perdana Menteri yang menghalanginya. Kasus al-Hallaj diputuskan di
Mahkamah Syari’ah dengan vonis hukuman mati dan dieksekusi dengan disalib pada
tiang gantungan tahun 309 H/922 M. Saya memandang hukum mati yang diberlakukan
kepada al-Hallaj lebih karena faktor politik karena sejarah peradaban Islam
sangat didominasi oleh politik.
B.Konsep
al-Hulul dalam teorinya Mansur al-Hallaj
1. Sketsa Biografi dan Bangunan
Pemikiran Keagamaan Mansur al- Hallaj.
Manshur al-Hallaj lahir di Persia (Iran) pada tahun 224
H/858 M. Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughist al-Husain ibn Mansur ibn Mahma
al-Baidlawi al-Hallaj.7 Ayahnya bekerja sebagai pemital kapas. Kakeknya yang
bernama Mahma adalah seorang Majusi.8[1]
Ketika masih kecil, ayahnya pindah ke Tustar, kota kecil dikawasan Wasith,
dekat Baghdad.
Masa kecilnya banyak dihabiskan untuk belajar ilmu
keagamaan. Sejak kecil, al-Hallaj mulai belajar membaca al-Qur’an, sehingga
berhasil menjadi penghafal al-Qur’an (hafidz). Pemahaman tasawuf pertama kali
ia kenal dan pelajari dari seorang sufi yang bernama Sahl al-Tustari.[2]
Karena pengembaraannya yang intens, maka ia dikenal sebagai seorang sufi yang berkelana
ke berbagai daerah. Berkelananya ke berbagai daerah, mengantarkan ia dapat
berkelana, bertmu, berteman dan bahkan berguru kepada para sufi kenamaan pada
masa itu.
Menginjak usia 20 tahun, al-Hallaj meninggalkan Tustar
menuju kota Basra dan berguru kepada Amr Makki. Untuk memperdalam keilmuannya,
seterusnya pindah ke kota Bagdad untuk menemui sekaligus berguru kepada tokoh
sufi modern yang termasyhur, yaitu al-Junaid al-Baghdadi. Ia digelari al-Hallaj
karena penghidupannya yang dia peroleh dari memintal wol.[3]
Dalam sumber lain dijelaskan, bahwa disebut al- Hallaj karena dapat membaca
pikiran-pikiran manusia yang rahasia, maka terkenal dengan Hallaj al-Asror,
penenun ilmu ghaib.[4]
Selanjutnya, al-Hallaj muda pergi ke
kota Makkah. Di kota suci ini, ia menetap selama kurang lebih satu tahun.
Selama di kota suci ini ia tinggal dan bermukim di pelataran Masjid al-Haram
sambil melakukan praktek kesufiannya. Pada situasi dan kondisi seperti inilah,
ia mengalam dan merasakan sebuah pengalaman spiritual yang tiada tara
bandingannya. Dalam sebuah pengakuannya, ia telah mengalami pengalaman mistik
yang luar biasa, yang pada wacana berikutnya kemudian terkenal dengan istilah
khulul.
Pada ujung proses merasakan dan mengalami pengalaman
spiritual yang luar bisa tersebut, al-Hallaj memutuskan untuk kembali ke kota Baghdad
dan menetap di kota ini sambil terus menyebarkan ajaran tasawufnya. Namun
demikian, keadaan menentukan lain dan memaksanya menjadi rakyat yang tertindas
dari kekejaman penguasa saat itu. Pada tanggal 18 Dzulkaidah 309 H / 922 M ia
ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh pengusa Dinasti Abbasiyah (Khalifah
Al-Muktadir Billah). Motive dan latar belakang penangkapan dan vonis hukuman
mati ini adalah bermuara dari tuduhan membawa pahamhulul yang dianggap menyesatkan
ummat. Sisi lain, al-Hallaj juga dituduh mempunyai hubungan dengan Syiah
Qaramitah.[5]
2. Konsep al-Hullul Mansur al-Hallaj
Konsep
yang diusung oleh Mansur Al-Hallaj dalam praktek pengalaman tasawufnya
sebenarnya berpijak dari kedekatannya dengan Tuhan. Kedekatan berikut dengan
segala atribut nuansa spiritualnya bertumpu pada konsep teologi yang masih
dalam koridor spiritualitas Islam (Islamic Spirituality). Spiritualitas Islam14 yang senantiasa identik dengan upaya
menyaksikan Yang Satu, mengungkap Yang Satu, dan mengenali Yang Satu, Tuhan
dalam kemutlakan Realitas-Nya yang melampaui segala manifestasi dan
determinasi, Sang Tunggal yang ditegaskan dalam al-Qur’an dengan nama Allah.[6]
Ajaran tasawuf Al-Hallaj yang terkenal adalah konsephulul.
Tuhan dipahami mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu setelah manusia
tersebut betul-betul berhasil melenyapkan sifat kemanusiaan yang ada dalam
tubuhnya.
Menurut
Al-Hallaj bahwa Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu al-lahut (sifat
ketuhanan) dan al-nasut (sifat kemanusiaan).[7]
Demikian juga manusia juga memiliki dua sifat dasar yang
sama. Oleh karena itu, antara Tuhan dan manusia terdapat kesamaan sifat.
Argumentasi pemahaman ini dibangun berdasarkan kandungan makna dari sebuah hadits
yang mengatakan bahwa : “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan
bentukNya” sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Ahamad bin Hambal
atau Imam Hambali. Hadits ini memberikan wawasan bahwa di dalam diri Adam as
terdapat bentuk Tuhan yang disebutal- lahut. Sebaliknya di dalam diri Tuhan
terdapat bentuk manusia yang disebutal-nasut.
Berdasarkan pemahaman adanya sifat antara Tuhan dan manusia tersebut,
maka integrasi atau persatuan antara Tuhan dan manusia sangat mungkin terjadi.
Proses bersatunya antara Tuhan dn manusia dalam pemahaman ini adalah dalam
bentukhulul.[8]
Bersatunya antara Tuhan dan manusia harus melalui proses bersyarat,
dimana manakala manusia berkeinginan menyatu dengan Tuhannya, maka ia harus
mampu melenyapkan sifat al-nasutnya. Lenyapnya sifat al-nasut, maka secara
otomatis akan dibarengi dengan munculnya sifat al-lahut dan dalam keadaan
seperti inilah terjadi pengalamanhulul.[9]
Untuk melenyapkan sifat al-nasut, seorang hamba harus memperbanyak
ibadah. Dengan membersihkan diri melalui ibadah dan berhasil usahanya
melenyapkan sifat ini, maka yang tinggal dalam dirinya hanya sifat al-lahut.
Pada saat itulah sifat al-nasut Tuhan turun dan masuk ke dalam tubuh seorang Sufi,
sehingga terjadilah hulul, dan peristiwa ini terjadi hanya sesaat.
Pernyataan al-Hallaj bahwa dirinya tetap ada, yang terjadi
adalah
bersatunya
sifat Tuhan di dalam dirinya, sebagaimana ungkapan syairnya :
“Maha suci zat yang sifat
kemanusiaan-Nya membukakan rahasia
ketuhanan-Nya
yang gemilang. Kemudian kelihatan bagi makhluknya
dengan
nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum”.
Dalam syair di atas tampak Tuhan mempunyai dua sifat dasar
ke- Tuhanan, yaitu “Lahut” dan “Nasut”. Dua istilah ini oleh al-Hallaj diambil dari
falsafah Kristen yang mengatakan bahwa Nasut Allah mengandung tabiat
kemanusiaan di dalamnya. Dalam konsep hulul al-Hallaj dimana Tuhan dengan sifat
ketuhanan menyatu dalam dirinya, berbaur sifat Tuhan itu dengan sifat
kemanusiaan.
Penyatuan antara roh Tuhan dengan roh manusia dilukiskan
oleh
al-Hallaj
di dalam syairnya sebagai berikut :
“JiwaMu disatukan dengan jiwaku,
sebagaimana anggur dicampurdengan air
suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan
ketika itu dalam setiap keadaaan Engkau adalah aku”.[10]
Bahkan
didalam syairnya yang lain, al-Hallaj melukiskan dengan
sangat
jelas bahwa :
“Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia
yang kucinta adalah aku.
Kami
adalah dua roh yang bersatu dalam satu tubuh. Jika engkau lihat
aku,
engkau lihat Dia, dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat kami”.[11]
Tatkala peristiwa hulul sedang berlangsung, keluarlah
syatahat (kata-kata aneh) dari lidah al-Hallaj yang berbunyi Ana al-Haqq (Aku adalah
Yang Maha Benar). Kataal-Haq dalam istilah tasawuf, berarti Tuhan. Sebagian
masyarakat saat itu menganggap al-Hallaj telah kafir, karena ia mengaku dirinya
sebagai Tuhan. Padahal yang sebenarnya, dengan segala kearifan dan kerendahan
hati spiritualnya, al-Hallaj tidak mengaku demikian. Perspektif ini dibangun
berdasarkan ungkapan syairnya yang lain dengan mengatakan bahwa :
“Aku adalah Rahasia Yang Maha Benar,
dan bukanlah Yang MahaBenar itu aku,
aku hanya satu dari yang benar, dibedakanlah antara kami atau aku dan Dia Yang
Maha Benar”.
Dalam pengertian lain dapat diungkapkan bahwa syatahat yang keluar
dari mulut al-Hallaj tidak lain adalah ucapan Tuhan melalui lidahnya.[12]
Dengan ungkapan ini, semakin tidak mungkin untuk memahami bahwa
maksud al-Hallaj dengan hululnya dalam berbagai syairnya adalah dirinya al-Haq.
Jadi karena sangat cintanya kepada Allah menjadikan tidak ada pemisah antara
dirinya dengan kehendak Allah, seolah-olah dirinya dan Tuhan adalah satu.
Sebagaimana diungkapkan dalam syairnya : “Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia
yang kucintai adalah aku”.[13]
Seandainya apa yang dikemukakan oleh Harun Nasution, tentang
tafsiran al-Hallaj mengenai perintah Tuhan agar sujud kepada Adam (QS. 2 : 34)
adalah pendapat yang sebenarnya yang dimaksud oleh al-Hallaj, tentu ini
pandangan yang sesat. Karena apabila masuk ke jiwa seseorang misalnya Isa, maka
jadilah Tuhan semisal Isa, ini bertentangan dengan firman Allah “Laisa
kamitslihi syaiun”. Apabila dengan masuknya Tuhan ke dalam diri manusia tidak
dengan tidak mengurangi keberadaan Tuhan, maka berarti ada dua Tuhan atau
sekurang-kurangnya belahan Tuhan yang dapat dinamakan dengan anak Tuhan
sebagaimana yang disebut penganut Kristen sekarang, tentu ini sangat
bertentangan dengan Al-Qur’an Surat Al-Ikhlash.
Namun pendapat al-Hallaj bahwa dalam diri manusia terdapat
sifat ketuhanan itu akan masuk ke dalam diri manusia dengan jalan fana’ yaitu
dengan menghilangkan sifat kemanusiaan, hal ini dapat diterima. Sebagaimana
menurut al-Hallaj ia bukanlah Yang Maha Benar, tetapi hanyalah satu dari yang
benar. Jadi menurutnya, ia bukan Tuhan. Oleh karena itu yang lebih tepat dalam
manafsirkan atau memahami ajaran al- Hallaj adalah bahwa menurutnya, Tuhan
mengisi diri manusia-manusia tertentu dengan sifat ketuhanan, maka jadilah
manusia itu satu dari yang benar, dialah manusia yang memiliki / dikaruniai
sifat Tuhan
C.AL-HULUL
DALAM TASAWUF
A.
Sejarah Al-Khulul
Doktrin al-Hulul adalah salah satu tipe dari aliran tasawuf falsafi dan
merupakan perkembangan lanjut dari paham al-Ittihad. Konsepsi al-Hulul pertama
kali ditampilkan oleh Husein Ibn Masur al-Hallaj yang meninggal karena dihukum
mati di Baghdad pada tahun 308 H, karena paham yang ia sebarkan itu dipandang
sesat oleh penguasa pada masa itu.
B. Pengertian Al-Khulul
Pengertian al-khulul secara singkat ialah Tuhan mengambil tempat dalam
tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya
dari sifat-sifat kemausiaannya melalui fana dan ekstase.
Menurut Al-Hamdany (Sanggahan Terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi. 1969, Hal :
19) menyebutkan bahwa, hulul merupakan kepercayaan manusia bahwa Allah bersemayam
ditubuh salah seorang yang kiranya bersedia untuk ditempati, karena
kemurnian jiwanya dan kesulitan ruhnya. Di antara orang-orang yang menganut
aqidah dan kepercayaan itu ialah al-Hallaj yang telah dihalalkan darahnya oleh
para alim ulama hingga ia terbunuh.
C.
Konsep Ajaran Al-Khulul
Menurut al-Hallaj manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat
ketuhannan atau lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut. Demikian juga halnya
tuhan memiliki sifat ganda, yaitu sifat-sifat Ilahiyat dan lahut dan sifat
Insaniyah atau nasut. Apabila seseorang telah dapat menghilangkan sifat-sifat
kemanusiaannya dan mengembangkan sifat-sifat Ilahiyatnya melalui fana, maka
Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan manusia
dengan Tuhan dan inilah yang dimaksud dengan hulul.
Teori lahut dan nasut ini, berangkat dari pemahamannya tentang proses
kejadian manusia. Al-Hallaj berpendapat bahwa Adam sebagai manusia pertama
diciptakan Tuhan sebagai copy dari diri-Nya – shurah minn nafsih – dengan
segenap sifat dan kebesarannya, sebagaimana ia ungkapkan dalam syairnya.
“Maha suci dzat yang
menampakkan nasut-nya, Seiring cemerlang bersama lahut-Nya,Demikian padu makhluk-Nya pun terlihat nyata,Seperti manusia yang makan dan minum layaknya”.
Konsepsi lahut
dan nasut ini didasarkan al-Hallaj pada firman Allah dalam Surah al-Baqarah 34,
menurut pemahamannya, adanya perintah Allah agar malaikat sujud kepada Adam itu
adalah karena Allah telah menjelma dalam diri Adam sehingga ia harus disembah
sebagaimana meyembah Allah. Bagaimana gambaran hulul itu dapat dipahami dari
ungkapan al-Hallaj berikut ini:
Berbaur sudah sukma-Mu dalam rohku jadi
satu,
Bagai anggur dan air bening berpadu,
Bila engkau tersentuh, tertusuk pula aku,
Karena ketika itu, Kau dalam segala hal
adalah aku.
Aku yang kurindu, danyang kurindu Aku jua,
Kami dua jiwa padu jadi satu raga,
Bila kau lihat aku, tampak jua Dia dalam
pandanganmu,
Jika kau lihat Dia, kami dalam penglihatanmu
tampak nyata.
Dari ungkapan di atas, terlihat bahwa wujud manusia tetap ada dan sama
sekali tidak hancur atau sirna. Dengan demikian, nampaknya paham hulul ini
bersifat figuratif, bukan riel karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalam
kondisi fana dalam iradat Allah. Manusia diciptakan Tuhan sesuai dengan
citra-Nya, maka makna perpaduan itu adalah munculnya citra Tuhan ke dalam
citraNya yang ada dalam diri manusia, bukan hubungan manusia dengan Tuhan
secara riel. Oleh karena itu, ucapan ana al-haqq yang meluncur dari
lidah al-Halaj, bukanlah ia maksudkan sebagai pernyataan bahwa dirinya adalah
Tuhan. Sebab, yang mengucapkan kalimat itu pada hakikatnya adalah Tuhan juga
tetapi melalui lidah al-Hallaj. Interpretasi ini sesuai pula dengan pernyataan
al-Hallaj dalam syair berikut:
“Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, aku
bukanlah Yang Maha Benar”.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Khulul secara
etimologis berasal dari kata hall-yahull-hulûl berarti berhenti atau diam,
Menurut Abû Manshûr al-Hallaj dalam tasawuf filosofis menyatakan bahwa hulûl adalah
pengalaman spiritual seorang sufi sehingga ia dekat dengan Allah, lalu Allah
memilih kemudian menempati dan menjelma padanya, Konsep yang diusung oleh
Mansur al-Hallaj dalam praktek pengalaman tasawufnya sebenarnya berpijak dari
kedekatannya dengan Tuhan. Kedekatan berikut dengan segala atribut nuansa
spiritualnya bertumpu pada konsep teologi yang masih dalam koridor
spiritualitas Islam (Islamic Spirituality), Menurut al-Hallaj manusia mempunyai
sifat dasar yang ganda, yaitu sifat ketuhannan atau lahut dan sifat kemanusiaan
atau nasut. Demikian juga halnya tuhan memiliki sifat ganda, yaitu sifat-sifat
Ilahiyat dan lahut dan sifat Insaniyah atau nasut.
DAFTAR PUSTAKA
Azra Azyumardi, et. Al., Ensiklopedia Islam, Jakarta, PT
Ichtiar Baru van Hoeve, Cetakan X, 2002.
Saya akan merangkum buku yang
berjudul Filsafat Analitik yang di tulis oleh Drs. Rizal Mustansyir pada tahun
1987 dijakarta utara. Jumlah buku ini tebalnya 127 halaman dengan sistematis sebagai berikut coper,hak
cipta, kata pengantar, daftar isi, isi, dan daftar pustaka, dengan 6 Bab, akan tetapi dalam rangkuman ini
saya hanya akan merangkum Bab 4, Bab 5 dan Bab 6.
BAB
II
PEMBAHASAN
PENYEBAR BENIH FILSAFAT
ANALITIK
Kalau
ada orang yang menganggap analisa bahasa merupakan hal yang baru dalam arena
filsafat, maka anggapan yang demikian itu sebenarnya kurang tepat. Sebab
kendati analisa bahasa baru dicanangkan sebagai suatu metode dalam berfilsafat
oleh Wittgenstein pada keduapuluh ini, tetapi benih analisa bahasa itu sendiri
sesungguhnya sudah ada dalam pemikiran filsuf terdahulu. Kita akan coba menurut
jejak pemikiran para filsuf itu dan menunukan ide mereka yang ada kesamaannya
dengan filsafat analitik. Ide tersebut baik disengaja maupun tidak di sengaja,
diambil oleh tokoh-tokoh filsafat analitik dan dikembangkan sesuai dengan pola
pemikiran mereka masing-masing. Oleh karena itu perkembangan filsafat analitik
hingga mencapai taraf sekarang ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari ide
yang pernah dilontarkan oleh para filsuf terdahulu. Meskipun para filsuf terdahulu
itu belum lagi menjadikan analisa bahasa sebagai satu-satunya objek pemikiran
mereka, namun dalam pemikiran mereka itu kita dapat melihat cuatan-cuatan ide
yang bercirikan filsafat analitik. Jadi baik disengaja ataupun tidak mereka
telah menanamkan saham yang tidak kecil bagi perkembangan analitik. Hal yang
demikian itu merupakan suatu pertanda ada pertautan erat antara sejarah
pertumbuhan filsafat analitik dengan sejarah perkembangan filsafat secara umum.Filsuf yang dapat
dianggap sebagai penyebar benih filsafat analitik itu antara lain Socrates,
aristoteles, Descartes, david hume. Imanuel kant, George Edward Moore
1.Socrates (469-399)
Filsuf
piawai dari Athena ini hidup pada masa filsafat hanya dipakai sebagai lidah
kaum sofis. Kaum sofis inilah yang membawa perubahan terhadap corak pemikiran
filsafat yang semula terarah pada alam semesta, menjadi corak berpikir filsafat
yang terarah pada teori pengetahuan dan etika.
Dalam
situasi yang kacau itulah Socrates tampil ke arena filsafat untuk
menghadapi pengaruh
kaum sofis. Metode yang dipakai Socrates untuk menghadapi kelihaian silat lidah
kaum sofis itu dikenal sebagai metode dialektik-kritis.
Dengan
memakai metode dialektik-krisis ini Socrates berhasil mengalahkan kaum sofis,
dalam banyak perdebatan yang mereka lakukan. Disini kita melihat, tujuan utama
Socrates adalah menjernihkan pebagai pengertian yang selama ini dikacaukan oleh
kaum sofis. Atau dengan kata lain, metode dialektik-kritis yang dipakai Socrates
itu dimaksudkan untuk menyembuhkan kekacauan yang terjadi dalam arena filsafat
pada masa itu, yang ditimbulkan oleh kaum sofis. Kedua hal tersebut aspek
penyembuhan terhadap kekacauan dalam filsafat dan tidak memiliki objek sendiri
termasuk orang penyebar benih filsafat analitik yang handal pada zamannya.
2.Aristoteles (384-322)
Filsuf
piawai kelahiran stegeira ini termasuk salah seorang cucu murid Socrates yang
paling jenius dalam bidang filsafat. Ia telah banyak menulis karya filsafat,
salah satu diantara sekian banyak karyanya, organon
merupakan sumbangan paling berharga bagi bidang filsafat analitik. Karya
tersebut berisikan aturan fikir yang sekarang lebih dikenal istilah logika.
Pokok persoalan yang dibahas Aristoteles dalam organon atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama logika
tradisional itu meliputi pengertian dan penggolongan artian, keterangan,
batasan, susunan fikir, penyimpulan langsung dan fikir, adalah butir-butir
pemikiran yang bertaut erat dengan bahasa. Dengan mempelajari aturan fikir yang
diajukan aristoteles itu, suatu bentuk pelajaran deduktif kita dapat memperoleh
keputusan yang terjamin keabsahannya.
Dengan
demikian upaya sebagian besar filsuf analitik untuk meneraokan penggunaan
bahasa logika kedalam bidang filsafat, secara nyata telah memperlihatkan
pengaruh pemikiran Aristoteles, terutama dalam bidang logika. Kendatipun bidang
logika dalam kurun waktu belakangan ini telah mengalami perkembangan yang cukup
sangat pesat (dinamakan logika modern atau logika simbolik), namun dasar-dasar
pemikiran yang digariskan Aristoteles (dinamakan logika tradisional atau logika
Aristoteles) sebelumnya masih tetap merupakan bahan pemikiran yang actual dalam
dunia filsafat pada umumnya. Oleh karena itu Aristoteles tidak saja dapat
dianggap sebagai penyebar benih bagi filsafat anallitik, akan tetap juga
peletak dasar yang kuat bagi perkembangan Atomisme logik dan positivisme logik.
3.Rene Descartes (1596- 1650)
Filsuf
perancis ini dijuluki sebagai “Bapak filsafat modern”, karena ia menempatkan
akal fikir (rasio) pada kedudukan yang tertinggi, satu hal yang memang
didambakan oleh manusia di zaman modern. Filsafat Descartes terutama tentang
konsep manusia bersifat dualisme. Ia menganggap jiwa dan badan sebagai dua hal
yang terpisah. Konsep Descartes tentang manusia ini kelak akan dikritik
habis-habisan oleh salah seorang tokoh aliran filsafat bahasa biasa, Glbert
Ryle. Tidak tanpa disadari, barang kali juga tidak dikehendakinya, Descartes
telah memberikan rangsangan pada ryle untuk mengritik konsep tentang manusia
itu menyryt kaca mata analisa bahasa. Untuk mendapkan suatu pengetahuan yang
tidak diragukan lagi kebenarannya, Descartes menggariskan empat langkah atau
aturan sebagai berikut :
a.Kita
harus menghindari sifat tergesah-gesah dan prasangka dalam mengambil suatu
keputusan, dan hanya menerima yang dihadirkan pada akal secara jelas dan tegas
sehingga mustahil disangsikan.
b. setiap persoalan yang diteliti,
dibagikan dalam sebanyak mungkin bagia sejauh yang diperlukan bagi pemecahan
yang memadai.
c. mengatur fikiran yang sedemikian
rupa dengan bertitik tolak dari objek yang sederhana sampai pada objek yang
lebih kompleks. Atau dari pengertian yang sederhana dan mutlak sampai pada
pengertian yang kompleks dan nisbi.
d. setiap permasalahan ditinjau
secara universal atau menyeluruh, sehingga tidak ada yang dilalaikan.
Langkah-langkah yang diajukan oleh
Descartes dalam upaya untuk memperoleh kebenaran itu pada prinsipnya bersifat
analitik, terutama langkah kedua dan pula dalam pemikiran para filsuf analitik,
khususnya dalam konsep Atomisme logika russel dan wttgenstein. Kedua tokoh ini
menyakini bahwa realitas itu dapat dipecah menjadi beberapa fakta atomik.
Setiap fakta atomik dapat diungkapkan kedalam proposisi elementer, da sesuai
dengan objek putamanya itu bahasa, makna para filsuf analitik itu tidak
mengarahkan teknik analisa itu pada fakta atomik sebagai objek pembahasan,
melainkan yang proposisi elementer. Akan tetapi perbedaan yang paling jelas
antara penerapan teknik analisa Descartes dengan para filsuf analitik yaitu
“Descartes menggunakan jalan akal yang natural, tanpa teknis dan logis.
4.David Hume (1711-1776)
Tokoh
empirisme yang berasal dari Inggris ini menganggap pengalaman sebagai yang
paling memadai untuk mencapai kebenaran. Bagi Hume, sumber segala pengertian
filosofis itu adalah pengaaman inderawi yang meliputi isi pengertian, hubungan
antara pengertian. Pandangan yang demikian jelas bertentangan dengan pandangan
dercartes yang lebih mempercayai akal sebagai sarana untuk mencapai kebenaran.
Meski Hume mengakui bahwa sikap skeptis secara metodis dari Descartes berguna
untuk memerangi metafisika, namun ia tidak mempercayai sikap setiap skeptis itu
dapat membahayakan akal sehat, sikap Hume yang secara tegas menolak sikap metafisika
itu kelak akan mewarnai pula corak pemikiran kaum pofitivisme logis.
Sumbangan
Hume lainnya bagi pertumbuhan filsafat analitik adalah pandangannya mengenai
ide sederhana dan ide kompleks. Bagi Hume, ide yang sederhana itu adalah coppy
dari perasaan yang sederhana . Selanjutnya, dalam upaya menyingkirkan
istilah-istilah kosong, artinya meneliti ide-ide kompleks yang lazim digunakan,
apakah ide itu dapat dikembalikan pad aide sederhana yangmembentuknya maka
istilah itu tidak mempunyai arti. Cara pembersihan yang diajukan Hume, akan
dikembangkan oleh kaum positivisme dalam analisa bahasa menjadi suatu prinsip
pentasdikan, Hume tidaklah menerapkan cara pembersihan ini dalam lingkup
bahasa, melainkan dalam lingkuo kesan-kesan yang didasarkan atas pengalaman,
sedangkan kaum positivism logic, menerapkan prinsip ini dalam lingkup bahasa,
selain didasarkan atas dan pengamatan yang telah diterima dalam bentuk yang
menterjemahkan, dalam ukuran yang sangat berbeda dalam halnya empirisme.
5.Immanuel Kant (1724-1804)
Menurut Kant, pengetahuan yang
dihaasilkan oleh kaum Rasionalisme tercermin dalam putusan yang bersifat analitik. Dalam hal ini
Kant menunjuk pada tiga bidang sebagai tahapan yang harus dilalui, yaitu:
a. Bidang Inderawi ; disini peranan subjek lebih menonjol, namun harus ada
dua bentuk murni yaitu “ruang” dan “waktu” yang dapat bisa diterapkan pada pengalaman
b. Bidang akal; apa yag telah
diperoleh melalui bidang Inderawi tersebut untuk pengetahuan yang bersipat
objektif
c. Bidang Rasio; pengetahuan yang
telah diperoleh dalam bidang akal itu baru dapat dikatakan sebagai putusan.
Namun ketiga macam tersebut ide sendiri itu tidak mungkin dapat dicapai oleh
akal pikir manusia. Ke tiga ide ini hanya merupakan petunjuk untuk menciptakan
kesatuan pengetahuan.
6. George Edward Moore (1873-1958)
Pemikiran moore inilah benih filsafat analitik yang
menampakan tunasnya kendati moore belum bagi mencanangkan analisa bahasa
sebagai satu-satunya metode bagi filsafat , selanjutnya moore menjelaskan,
tugas filsafat bukanlah penjelasan ataupun penafsiran tentang pengalaman kita
melainkan memberikan penjelasan terhadap suatu konsep yang siap untuk
diketahui,
Corak pemikiran moore seperti yang telah dipaparkan
diatas itu, kelak akan disebar luaskan dan dikembangkan secara rinci oleh para
filsuf analitik. Baik secara terang-terangan maupun tidak, telah mengakui
pengaruh pemikiran moore dalam filsafat
ALIRAN DALAM
FILSAFAT ANALITIK
Pada
umumnya aliran yang ada dalam filsafat analitik itu memiliki titik tolak yang
berbeda tentang masalah penggunaan bahasa bagi maksud-maksud filsafat.
“Pertama” mereka yang
berpandangan bahwa bahasa biasa itu cukup memadai untuk maksud filsafat.
Kelemahannya terletak pada penyimpanan terhadap penggunaan bahasa biasa.
“Kedua” mereka yang
berpandangan bahwa bahasa biasa itu tidak cukup memadai bagi maksud filasafat.
Karena bahasa itu mengandung kekaburan, berdasarkan dua titik tolak yang
berbeda tentang penggunaan bahasa bagi maksud filsafat, corak pemikiran aliran
yang bersangkutan dengan teknik analisa bahasa yang mereka terapkan
A.ATOMISME LOGIK
Aliran
ini mulai dikenal untuk pertama kali pada tahun 1918 melalui tulisan-tulisan dn
kemudian pada puncaknya dalam pemikiran-pemikiran
Atomisme logic ini adalah suatu paham atau ajaran yang
berpandangan bahwa bahasa itu dapat dipecah menjadi proposisi-proposisi atomic
atau proposisi elementer, melalui teknik analisa logic atau analisa bahasa.
Setiap proposisi atomic atau ungkapan keperibadaan suatu fakta atomic, yaitu
bagian terkecil dari realitas. Dengan pandangan yang demikian itu, kaum
atomisme logic bermaksud menunjukan adanya hubungan yang mutlak antara bahasa
dengan realitas.
Pada
umumnya Russel mengikuti garis pemikiran moore sebagai upaya untuk menentang
pengaruh kaum Hegelian di inggris bertitik tolak pada akal sehat, namun dalam
perkembangan pemikiran selanjutnya. Corak logic dengan bertitik tolak pada
bahasa logika, russel bermaksud menentukan corak logic yang terkandung dalam
suatu ungkapan. Oleh karena itu Russel adanya perbedaan corak logic ini melalui
perbandingan antara dua kalimat yang struktur bahasanya sama, namun memiliki
struktur logic yang berbeda.
Menurut
Russel analisa bahasa yang benar itu dapat menghasilkan pengetahuan ynag benar
pula tentang dunia, karena unsure paling kecil bahasa merupakan unsur paling
kecil dari dunia fakta. Atau dengan kata lain, ada kesamaan antara struktur
dunia fakta atau realita di satu pihak dan dunia fakta (bahasa) atau symbol
dipihak lain: ada insomorfi (kesepadaan) antara unsure bahasa dan unsur
kenyataan. Prinsip isomorfi ini berkaitan erat dengan dasar acuan bagi suatu
kata atau ungkapan. Dengan memberikan dasar acuan itu russel menganggap telah
“mengisi” setiap pernyataan dengan fakta.
Bahasa
logika sebagaimana halnya dengan russel, Wittgenstein bertitik tolak pada
bahasa logika untuk merumuskan persoalan filsafat. Dalam pendahuluan tractatus, ia mengatakan bahwa cara
merumuskan persoalan filsafat (oleh para filsuf terdahulu, pen.)
Menurut
Wittgenstein salah satu fungsi filsafat adalah menunjukkan sesuatu yang tidak
dapat dikatakan (atau difikirkan) dengan menghadirkan secara jelas sesuatu yang
dapat dikatakan. Oleh karena itu baginya, suatu karya filsafat seharusnya
mengandung penjelasan. Apa yang dihasilkan dari suatu karya filsafat, melainkan
membuat ungkapan itu terjadi.
Dengan
demikian, sejarah filsafat mencatat tradisi analisa bahasa yang sesungguhnya
terdaoat dalam pemikiran moore-russel-wittgenstein positivism logic hanya
dianggap sebagai suatu penyelangan dari tradisi analisa yang sesungguhnya dari
tokoh filsafat analitik tersebut, lantaran corak positif yang di terapkan dalam
teknik analisa bahasa itu boleh kaum positivisme logic begitu ketat dan kaku,
maka ada untuk yang tmenilai bahwa
“bahwa kaum positivisme logic ini telah membekukan metode filsafat moored an
Wittgenstein itu menjadi suatu dogma”. Namun harus diakui, atas jasa kaum
positivisme logic ini pulalah, filsafat analitik menjadi lebih dikenal oleh
lingkungan filsafat. Salah seorang tokoh positivisme logic yang berhasil
membuat filsafat analitik inindikenal diluar inggris adalah A.J. Ayer. Oleh
karena itu pembincangan mengenai teknik analisa bahasa positivisme logic dalam
tulisan ini banyak menyoroti pemikiran Ayer yang termuat dalam bukunya language, Truth and logic.
Titik-tolak
ayer untuk menghapuskan metafisika dari kancah filsafat selain didasarkan pada
prinsip juga didasarkan pada gagasan russel mengenai aturan-aturan tatabahasa
terhadap keniscayaan-keniscayaan logic. Sebagai contoh Ayer menunjukan kasus
umum terjadi dalam bahasa inggris yaitu, disaat kita menggambarkan sesuatu
melalui penggunaan bentuk tatabahasa dari subjek dan predikat.
Disitu
kita cenderung menganggap bahwa ada keharusan untuk membuat suatu perbedaan
logic antara sesuatu yang digambarkan itu sendiri dengan sifat-sifat
pengertiannya. Dengan cara pengertian itu Ayer bermaksud melibatkan
teknik-teknik analisa itu terhadap struktur bahasa yang kita gunakan.
Mengarahkan
filsafat sebagai pendamping ilmu pengetahuan, artinya tujuan analisa filsafati
adalah mengantar kita kearah suatu pandangan posotivistik mengenai filsafat.
Filsafat harus berkembang kearah logika ilmiyah yaitu, kegiatan yang
memperlihatkan pertalian logis dari hipotesa-hipotesa dan pembatasan
simbol-simbol yang terdapat didalamnya. Dalam bentuk yang bersangkutan dengan
ilmuan-ilmuan filsafat yang ada pada kejanggalan dalam melakukan penelitian
filsafat dapat membentuk karakter hidup.
Pada permasalahan yang telah terjadi pada saat yang memungkinkannya.
Di samping peranannya sebagai bidang
filsafat khusus, filsafat analitik juga ini merupakan salah satu dari aliran
filsafat. Dalam kedudukannya sebagai aliran filsafat, filsafat analitik setarap
dengan aliran filsafat lainnya, seperti Rasionallisme, Empirisme, Kritisisme,
Idealisme, dan lain-lain. Sebagaimana halnya setiap aliran filsafat yang
memperlihatkan kekhasannya melalui metode yang yang dijalankan, maka filsafat
analitik ini pun memiliki aspek metodis yang khas, yaitu metode analisa bahasa.
Peranan yang dimainkan filsafat
analitik ini disatu pihak sebagai bidang filsafat khusus, dipihak lain sebagai
suatu aliran filsafat menjadikannya berbeda dari bidang filsafat dan aliran
filsafat lainnya. Peranan ganda yang dimainkan oleh filsafat analitik inilah
yang sesungguhnya menimbulkan permasalahan dalam “tubuh” filsafat analitik itu
sendiri. Permasalahan itu terutama berkisar pada perbedaan yang timbul diantara
para flsuf analitik itu sendiri dalam menentukan penggunaan bahasa yang
dianggap tepat dan memadai bagi maksud-maksud filsafat. Para penganut atomisme
ligik dan positivism logic misalnya, menganggap bahasa logika lebih sesuai bagi
maksud-maksud filsafat, sedangkan penganut bahasa biasa, menganggap bahasa
biasa cukup memadai bagi maksud-maksud filsafat. Penentuan titik tolak
penggunaan bahasa bagi maksud-maksud filsafat yang berbeda di antara para
filsuf analitik inilah yang menimbulkan kesulitan untuk menentukan batas ruang
lingkup kegiatan flsafat analitik.
Terlepas dari segala kelemahan yang
terdapat dalam metode analisa bahasa itu, sebenarnya kita dapat mengambil
manfaat yang sangat berharga dengan kehadirannya di tengah kancah filsafat.
Beberapa manfaat yang kiranya perlu yang menjadi bahan pemikiran kita yang
mengeluti masalah filsafat meliputi antara lain:
pertama ;
sikap kritis yang diperlihatkan oleh para filsuf analitik terhadap kebanyakan
ungkapan atau istilah flsafat yang “aneh” dan membngungkan (misalnya; kritik
yang dilontarkan moore terhadap kaum) merupakan bekal yang sangat berharga bagi
mereka yang ingin terjun ke kancah filsafat. Sikap yang demikian itu membuat
kita tidak akan menelan mentah-mentah setiap konsep filsafat yang kita pelajari
bahkan kita dituntut untuk mempertimbangkannya melalui pemikiran yang jernih,
dan menghormati “akal sehat” dalam menyimpilkan pelbagai pendapat atau putusan
filsafat.
Kedua ;menyadarkan
pada kita akan besarnya peranan logika untuk memperoleh atau menarik kesimpulan
yang sahih (valid), sehingga keterkaitan yang erat antara bidang logika dengan
bahasa.
Dalam bahasa hal ini
digunakan bagi maksud-maksud filsafat mengandung alasan yang kuat. Kendati
penganut Atomisme logic dan mengenai bahasa logika sbagai satu-satunya sarana
yang paling memadai bagi filsafat agak berlebihan, namun dalam batas kewajan
tertentu kita dapat menerima alasan logis sebagai pendukung atau penunjang
putusan filsafat yang benar. Dengan demikian kita dilatih atau dituntut untuk
berfikir secara teratur.
Ketiga;
prinsip pentadiskan (perification
principle) yang diajukan oleh kaum positivisme logik (khususnya Ayer)
merupakan merupakan cara yang baik untuk melepaskan pemikiran kita dari
pernyataan semu. Pernyataan semu inilah yang membuat bidang filsafat
dijauhi seperyi yang oleh kebanyakan
ahli ilmu pengetahuan, sebab pernyataan seperti itu dianggap tidak mengandung”napas
ilmiah” yang tidak dapat dibuktikan benar atau salahnya.
Keempat;
tugas utama filsafat analitik yang ditekankan pada aspek penyembuhan bahasa
(Therapeutick), sebagaimana diajukan wittgenstein, mengandung aplikasi jadi
pembenahan penggunaan bahasa filsafat. Dengan demikian tidak terjebak didalam
teka-teki filsafat yang penuh mengandung misteri, yang tak mungkin untuk
dipecahkan. Sedikitnya kita punya alasan untuk menghindari diri dari filsafat
yang tidak mungkin untuk dijawab.
Kelima;
penekanan pada penggunaan bahasa biasa bagi maksud-maksud filsafat seperti yang
disarankan oleh penganut filsafat bahasa biasa (wittgenstein II, Ryle, dan
austin.), pembuka peluang yang lebih besar bagi kita untuk memiliki menyelidiki
sendiri perbagai masalah yang relavan dengan kehidupan kita sehari-hari.
Terutama konsep austin tengtang tindakan bahasa (speech acts), merupakan
“lahan” penelitian filsafat analitik yang luas dan menarik. Sebab kita dapat
melihatkan, disecara langsung untuk membuktikan keselarasan antara isi tuturan
dengan tindakan yang dilakukan, sebagai cermin tanggung jawab sipenutur
terhadap isi tuturannya.
Semjua contoh diatas merupakan tindakan illokusi, sebab
dalam berjanji dan menyarankan. Namun dalam tindakan illokusi itu terkebih
dahulu harus dilihat apakah situasi dan kondisi yang melingkupi memang sesuai
dengan isi tuturan. Sebab manakal isi tuturan tidak sesuai dengan situasi dan
kondisi yang melingkupinya, mak tindakan illokusi itu tindakan akan dapat
mencerminkan tanggung jawab si penutur.
Apabila ada hal tersebut tidak ada atau tidak sesuai
dengan kenyataan, berarti berarti tindakan illokusi itu tidak akan mencerminkan
tanggung jawab isi penutur terhadap isi tuturannya. Akibatnya timbul
kejanggalan hal yang bersifat tidak semestinya dalam pengungkapan isi tuturan
itu, padahal tindakan akan diselenggarakan atau yang dimaksud itu telah usai
isi tuturan yang diungkapkan dan sangatlah tidak bertanggung jawab tidak
memiliki peluang atau kemungkinan untuk menghadirinya, mungkin lantaran itu
harus menjalankan tugasnya.
Namun perlu kita ketahui bahwa “siyuasi atau keadaan yang
dikemukakan diatas bukanlah merupakan syarat bagi tindakan illukasi, keadaan
itu dibutuhkan tindakan illukasi yang wajar dan bertanggung jawab, keadaan itu
tidak dapat dianggap sebagai syarat yang mutlak bagi tindakan illukasi, karena
mungkin saja dalam kasus tindakan illukasi tertentu sipenutur memang tidak mengetahui berlakunya
keadaan yang demikian.
BAB
III
PENUTUP
1.Kritik
Dalam buku yang saya rangkum ini
banyak kata yang memakai kata yang bersangkutan dengan kata-kata sulit dan
tidak dapat dimengerti dan memahaminya.
2.Saran
Buku ini sangat baik untuk para
siswa para guru dan calon guru, dan dapat dijadikan modal untuk mendidik para
siswa.
3.Daftar
Pustaka
Mustansyir , Rizal. 1987. Filsafat
analitik. Jakarta utara: PT Raja grafindo persada