Manusia
adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang dalam kehidupannya selalu hidup
bermasyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakatnya ini dikembangkan ialah
norma-norma etika yang membedakan antara yang benar dan yang salah, dan
norma-norma estetika yang membedakan antara yang baik dan yang buruk atau yang
indah dan yang tidak indah. Norma-norma etika dan norma-norma estetika yang
demikian itu diterapkannya ke dalam setiap aspek kehidupannya, juga ke dalam
setiap lembaga-lembaga sosialnya.
Bahasa
adalah salah satu dari lembaga sosial kemanusiaan. Karena itu tidak heranlah
kalau kita di dalam berbahasa membedakan antara bentuk ucapan bahasa yang
benar/betul dan yang salah, antara bentuk ucapan bahasa yang baik/indah dan
yang tidak baik/tidak indah.
Sehubungann
dengan ini Otto Jespersen (1954: 110) mengatakan bahwa pembedaan antara bentuk
ucapan bahasa yang benar dan yang salah dan antara yang baik dan yang buruk itu
disebabkan oleh karena adanya kebiasaan membedakan serupa itu dalam bidang
kehidupan yang lain. Selanjutnya dikatakan bahwa pembedaan serupa itu
sebenarnya bukanlah persoalan bahasa itu sendiri, melainkan pembedaan yang
dibuat oleh masyarakat pemakai bahasa itu.
Bentuk
ucapan bahasa yang benar dan yang baik itu sering dihubungkan dengan bentuk
ucapan bahasa yang baku
atau standar, yaitu bentuk ucapan bahasa yang dipakai sebagai pedoman atau
dianggap sebagai bentuk ucapan bahasa yang ideal.
Ditinjau
secara hakikinya dan secara ilmu pengetahuan, antara bentuk ucapan bahasa yang
benar dan bentuk ucapan bahasa yang baik/bagus dan bentuk ucapan bahasa yang
standar (bahasa standar) tidak bisa diidentikkan begitu saja yang satu dengan
yang lainnya, karena masing-masing mempunyai pengertiannya tersendiri dan
ciri-ciri yang tersendiri pula. Tetapi walaupun demikian yang satu dengan yang
lainnya masih menunjukkan hubungan yang dekat yang membuat orang
mengidentikkannya. Hakikat, ciri-ciri, dan hubungan antara bentuk ucapan bahasa
yang benar, bentuk ucapan yang baik dan bahasa standar inilah yang akan dibahas
dalam uraian berikut.
Persoalan benar-salah dalam bentuk
ucapan bahasa
Persoalan
benar-salah dalam bentuk ucapan bahasa merupakan persoalan yang selalu hangat
dibicarakan oleh para penyelidik bahasa dan para pengajar/guru bahasa.
Bermacam-macamlah pendapat orang tentang persoalan ini.
C.F.
Hockett (1960: 3) misalnya mengatakan bahwa persoalan benar-salah dalam ucapan
bahasa ini adalah persoalan para sosiolog dan para anthropolog dalam
pembicaraannya tentang etika. Karena itu ilmu bahasa dalam arti yang sempit (pure
linguistiks) tidak mempunyai kompetensi membahas persoalan yang demikian
ini, karena secara ilmu bahasa pembedaan yang demikian itu tidak dipersoalkan
selama bentuk ucapan bahasa itu telah menunjukkan kesanggupannya sebagai alat
komunikasi di dalam masyarakatnya.
Sebagai
argumentasi ditunjukkan oleh Hockett sebuah kalimat dalam bahasa Inggris yang
berbunyi: “It is I.” Bentuk ini sudah demikian umumnya dipakai di tengah
masyarakat pemakai Bahasa Inggris, tetapi kaum puris bahasa Inggris mengatakan
bahwa bentuk ucapan itu adalah bentuk ucapan yang salah. Seharusnya: “It is
me.” Jadi, kalau demikian ada dua gejala, yaitu gejala yang membetulkan
bentuk ucapan yang pertama karena sudah lazim dipakai di tengah masyarakat dan
gejala yang kedua menyalahkan bentuk ucapan yang pertama ini dan mengharuskan
seperti bentuk ucapan yang kedua sebagai bentuk ucapan yang betul karena
seperti ketentuan yang ada dalam tatabahasa Inggris. Berhadapan dengan gejala
yang demikian itu Hockett lalu bertanya: “Are ‘incorrect’ form to be avoided
under all circumstances?” Rupanya sulitlah bagi kita akan memberikan
jawaban kepada pertanyaan Hockett ini. Demikianlah pertentangan yang sering ada
antara bentuk ucapan bahasa yang dikatakan salah menurut ketentuan tatabahasa
dengan bentuk ucapan bahasa yang umum/yang lazim dipakai di tengah-tengah
masyarakat.
Senada
dengan contoh yang dikemukakan oleh Hockett, dalam bahasa Indonesia sampai saat
ini rupanya orang belum bisa menyelesaikan persoalan bentukan seperti: ini
hari, lain kali dsb., yang di satu pihak dikatakan sebentukan yang salah
karena bertentangan dengan ketentuan hukum DM, sedangkan di pihak lain
dikatakan sebagai bentuk yang sudah lazim dipakai di tengah-tengah masyarakat
bahasa Indonesia .
Adapula
yang mengatakan bahwa bentuk ucapan bahasa yang betul itu adalah bentuk ucapan
bahasa yang logis. Kalaupun ketentuan ini kita ikuti, maka kita dilihatkan ke
dalam persoalan bentuk ucapan bahasa yang bagaimanakah yang dikatakan logis
itu?
Sebagaimana
kita mengetahuinya, persoalan logis dan tidak logis itu adalah persoalan
logika. Persoalan bahasa bukanlah semata-mata persoalan logika. Persoalan
bahasa adalah persoalan simbolisasi dan persoalan persepakatan antar anggota
masyarakat bahasa itu (S. Wojowasito, MCMLXI: 10). Malahan, menurut Prof. S.
Wojowasito banyak sekali kita dapati peristiwa-peristiwa bahasa yang
berlangsung secara tidak logis, seperti misalnya dalam bentukan-bentukan
analogi. Dilihat dari segi kenyataan bahasa yang demikian ini, sulitlah bagi
kita untuk memakai dasar ‘logis’ sebagai dasar untuk menentukan bahasa yang
betul itu.
Sering
pula orang menghubungkan bentuk ucapan bahasa yang betul itu dengan bentuk
ucapan bahasa yang diinginkan oleh masyarakat. Gejala yang demikian ini
disinyalir oleh O. Jespersen (1954: 125) sebagai berikut: “… that correct
speech means the speech that community expects”. Memang masyarakat
mengharapkan bentuk ucapan bahasa yang betul itu, tetapi anehnya masyarakat
tidak merumuskan secara tegas manakah bentuk ucapan bahasa yang betul itu.
Karena itu, bagi setiap pemakai bahasa sering terdapat gambaran yang
berbeda-beda tentang bahasa yang betul yang dikehendaki oleh masyarakat itu.
Persoalan ini akan menjadi lebih jelas kalau kita tinjau dari keadaan yang
dialami oleh tiap individu dalam pengucapan bahasanya di tengah masyarakat.
Sebagai
seorang anggota masyarakat dia terikat oleh ketentuan-ketentuan yang ada dalam
masyarakat itu. Dan, sebagai seorang anggota masyarakat bahasa terikat oleh
ketentuan-ketentuan bahasa masyarakat itu. Tetapi bagi dirinya sendiri dan bagi
pengemukaan ekspresi-ekspresinya seperti yang diinginkannya dia menghendaki
kebebasan yang seluas-luasnya. Namun masyarakat dan ketentuan bahasa masyarakat
hanya memberikan peluang yang terbatas untuk maksud ini. Dalam hubungan ini bahasa
masyarakat itu seperti yang dikatakan oleh O. Jespersen (1954: 113) sebagai
berikut: “People often talk of the tyranny of linguistic usage, and the
community is certainly, in the domain of language usage and in other domains,
tyrannical in some of its domains”. Akibatnya, ucapan bahasa tiap individu
itu selalu akan berkisar antara tuntutan masyarakat dan tuntutan pemenuhan
kebutuhan ekspresinya. Demikian kata Jespersen. Atas dasar kenyataan ini,
kriteria bentuk ucapan bahasa yang diinginkan masyarakat ini pun tidak begitu
mudah untuk diterapkan untuk menentukan bentuk ucapan bahasa yang betul.
Demikianlah
antara lain kesulitan yang kita hadapi dalam menentukan bentuk ucapan bahasa
yang betul itu. Karena itu, dapatlah kita pahami kalau linguistik dan ilmu pengetahuan
pada umumnya, menolak untuk mengadakan pembahasan tentang apa yang disebut
bentuk ucapan bahasa yang betul ini. Dikatakannya: … from adalah scientific
point of view there was nothing in language which could be called correct or
incorrect” (O.Jespersen, 1954: 125).
Walaupun
dalam perkembangan linguistik modern akhir-akhir ini, persoalan bentuk ucapan
bahasa yang betul ini tidak dicantumkan dalam programnya, tetapi bagi pedoman
berbahasa dan untuk kepentingan pengajaran bahasa, persoalan betul dan salah
dalam bentuk pengucapan bahasa tersebut tidak bisa kita tinggalkan begitu saja.
Lebih-lebih lagi dalam pengajaran bahasa Indonesia, di mana bahasa Indonesia
bagi kebanyakan anggota masyarakat bangsa Indonesia merupakan bahasa kedua,
yaitu bahasa yang baru kemudian dipelajarinya. Di samping itu, usaha-usaha ke
arah standardisasi bahasa Indonesia pun menghendaki kita merumuskan secara
tegas mana yang dimaksudkan dengan bentuk ucapan bahasa Indonesia yang betul.
Untuk maksud ini, ada baiknya kita pertimbangkan cara-cara yang pernah
diterapkan oleh sarjana-sarjana bahasa untuk menentukan standar dari bentuk
ucapan bahasa yang betul itu.
Adapun
cara-cara yang bisa dipakai untuk menentukan bentuk ucapan bahasa yang betul
itu, dalam uraian ini akan dibatasi pada cara-cara yang pernah dikerjakan oleh
Adolf Noreen dalam disertasinya tentang “Standard of Correctness”
(Diambil dari buku: Mankind, National and Individual, from a Linguistic
Point of View, karya O. Jepersen, London, 1954).
Menurut
A. Noreen ada tiga buah pandangan dasar untuk menentukan bentuk ucapan bahasa
yang betul itu, yaitu:
1. Dari sudut pandangan sejarah
bahasa sastra (aslinya: Literary Historical).
2. Dari sudut pandangan sejarah
perkembangan alamiah dari bahasa (aslinya: Natural Historical).
3. Dari sudut pandangan rasional
(aslinya: Rational).
Dari sudut pandangan sejarah
bahasa sastra, bentuk ucapan bahasa yang betul itu adalah bentuk ucapan bahasa
yang telah dipakai oleh para pengarang dalam karya-karya sastranya. Ini bisa
dipakai sebagai pedoman karena bagaimanapun juga kita tidak bisa mengingkari
bahwa para pengarang telah mengabadikan hukum-hukum bahasa yang sudah berjalan.
Bentuk ucapan bahasa para pengarang ini tidak akan lain dari bentuk ucapan
bahasa yang pernah dan sedang berlaku, karena karangannya itu di samping
merupakan yang pernah dan sedang berlaku, karangannya juga memang sengaja
disiapkan agar bisa dibaca dan dinikmati oleh masyarakat bahasa tersebut. Dalam
mengemukakan buah pikirannya, para pengarang jelas menggunakan bahasa yang umum
hidup di tengah masyarakatnya dan juga merupakan bentuk ucapan bahasa yang
betul demi tidak terjadinya salah tafsir tentang ide yang ingin disampaikan
melalui karanganya itu. Demikianlah kata Noreen.
Pandangan serupa ini rupanya
dianut pula St. Takdir Alisyahbana (1957: 108) seperti tampak dalam sarannya
tentang cara penyusunan tatabahasa Indonesia ,
yaitu dengan meneliti sebanyak dua puluh buah karangan sastrawan Indonesia
terkenal.
Walaupun Norren menyarankan
memakai bahasa para pengarang sebagai standar norma untuk menentukan bentuk
ucapan bahasa yang betul ini, ditegaskan pula bahwa ketentuan tersebut bukan
merupakan ketentuan yang mutlak. Dikatakannya bahwa tidak semua bentukan yang
dipakai oleh para pengarang itu adalah bentukan yang betul. Dan juga jangan
diartikan bahwa pemakaian bahasa pengarang sebagai standar norma ini
mengharuskan kita kembali memakai bentukan-bentukan yang hanya tepat untuk masa
karangan itu ditulis. Pakailah bahasa pengarang itu sebagai pedoman umum saja
untuk kemudian disesuaikan dengan perkembangan bahasa itu sendiri. Demikianlah
kata Noreen.
Kalau kita berbicara soal
kelemahan dari pemakaian bahasa pengarang/bahasa sastra sebagai titik tolak
untuk menentukan bentuk ucapan bahasa yang betul ini, maka akan kita dapati kelemahan-kelemahan
antara lain sebagai berikut:
1. Bahasa sastra/ bahasa pengarang
itu adalah suatu dialek, yaitu dialek sastra (Literary dialect) (W.N.
Francis, 1958: 48). Sebagai suatu dialek, dia mempunyai corak pengucapan bahasa
tersendiri yang antara lain tampak dalam pemilihan unsur-unsur bahasa yang
dipakainya. Karena itu J. Vendreyes (1952: 272-273) cenderung untuk menamakan
bahasa sastra itu sebagai special language, yaitu bahasa yang artistik (artistic
writing). Selanjutnya dikatakan: “Artistic writing is always a reaction
againts the standard language”. Jadi, dari segi ini, sulitlah bagi kita
untuk memakai bahasa sastra itu sebagai pedoman.
2. Kelemahan dari pemakaian bahasa
sastra/bahasa pengarang sebagai standar norma ini akan tampak pula dari segi
pengarangnya sendiri. Jasa seorang pengarang sebenarnya bukanlah dalam bidang
bahasa, melainkan dalam sumbangannya pada pengungkapan nilai-nilai hidup dalam
bentuk seni. Lebih-lebih lagi dalam sastra modern yang lebih mengutamakan
persoalan isi dari pada persoalan bentuk. Seorang pengarang tidak akan akan
mengorbankan nilai-nilai seni yang akan diungkapkannya itu di bawah tekanan
norma-norma bahasa sepenuhnya.
Tetapi, bagaimanapun juga, kelemahan-kelemahan yang
ada atau dikatakan ada pada bahasa sastra, secara umum dapat kita katakan bahwa
bahasa sastra itu adalah refleksi dari bahasa standar, bahasa yang betul,
demikian kata J. Vendreyes (1952: 274).
Selanjutnya akan dibahas tentang
penentuan bentuk ucapan bahasa yang betul dari sudut pandangan perkembangan
alamiah dari bahasa itu (natural historical main of view).
Noreen mengatakan bahwa bahasa itu
adalah suatu organisme yang berkembang secara alamiah di dalam masyarakatnya.
Karena itu, bentuk ucapan bahasa yang betul itu adalah bentuk ucapan bahasa yang
hidup di tengah-tengah masyarakat bahasa itu. Dikatakan oleh Noreen bahwa dalam
penentuan bentuk ucapan bahasa yang betul itu, kita harus sebanyak mungkin
berorientasi kepada bentuk ucapan yang sedang hidup dipakai. Kita tidak perlu
terlalu banyak terikat pada ketentuan-ketentuan yang pernah dirumuskan
sebelumnya.
Anggapan Noreen seperti ini bisa
kita pahami kalau kita hubungkan dengan masa desertasinya ditulis (tahun 1895,
yaitu abad ke-19), yaitu suatu masa di mana linguistik sangat berpedoman kepada
perkembangan alamiah dari bahasa dan menganggap apa yang sedang terpakai itu
adalah bentuk-bentuk yang betul. Malahan menurut O. Jespersen (1954: 77)
sebenarnya persoalan betul salah pada waktu itu tidak ada, sehingga kurang
tepatlah kalau Noreen memakai dasar perkembangan alamiah bahasa ini sebagai
titik tolak. Demikian kata Jespersen.
Sudut pandangan Noreen yang ketiga
adalah sudut pandangan rasional. Dari sudut pandangan ini yang dikatakan bentuk
ucapan bahasa yang betul itu adalah: “The best is that which can be cought
most exactly and most quickly by the audience present and be most easyly
produced by the speaker” (O. Jespersen, 1954: 77). Bentuk ucapan bahasa
yang betul itu adalah bentuk ucapan yang dapat mengungkapkan sesuatu
sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya mudah ditangkap oleh pendengar dan
mudah diucapkan oleh pemakai bahasa itu. Jadi, dengan cara ini, kita bisa
mengatakan suatu bentuk itu betul kalau kita temui di dalam bentuk ucapan itu
suatu ketepatan dan kepraktisannya dalam pemakaiannya. Suatu bentuk ucapan
bahasa yang berbelit-belit sifatnya akan kita katakan bentuk ucapan yang tidak
betul, tetapi bentuk ucapan bahasa yang sederhana (mudah diucapkan) dan
mempunyai daya ungkap yang tepat kita katakan bentuk ucapan yang betul.
Dari ketiga dasar pandangan yang
dikemukakan oleh Noreen, rupanya dasar pandangan inilah yang paling lemah.
Dengan dasar ini sebenarnya kita tidak berbicara persoalan betul-salah lagi
tetapi persoalan gaya
bahasa (style). Di samping itu, dengan cara ini akan timbul persoalan-persoalan
sebagai berikut:
1. Dengan dasar mudah diucapkan, maka
ada kemungkinan si pembicara akan berbuat seenaknya dalam pengucapan bahasanya.
2. Dengan dasar mudah ditangkap, kita
harus memikirkan kualitas daya tangkap pihak yang mendengarkan bahasa yang kita
ucapkan, karena suatu yang mudah ditangkap oleh kaum terpelajar misalnya tidak
akan mudah ditangkap oleh orang-orang yang pendidikannya minim sekali.
Demikianlah cara-cara untuk
menentukan bentuk ucapan bahasa yang betul yang disarankan oleh Adolf Noreen,
dengan segala kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang ada di dalamnya.
Akhirnya dapat kita ambil sebagai
pedoman untuk menentukan bentukan ucapan bahkan yang betul itu adalah ucapan
bahasa yang umum dipakai di tengah masyarakat suatu bahasa yang sesuai dengan
kondisi bahasa pada masa bahasa itu dipakai. Umum dipakai di sini harus
diartikan frekuensi pemakaian bentukan itu cukup tinggi seperti tampak
dipakainya oleh setiap lapisan pemakai bahasa itu. Dengan dasar pandangan
serupa ini, maka bentuk ucapan bahasa yang betul yang akan dipakai sebagai
pedoman dalam pengucapan bahasa harus diabadikan atau dikodifikasi dalam bentuk
tatabahasa. Dengan kata lain tatabahasa yang tersusun atas dasar pandangan ini
adalah tatabahasa yang sesuai dengan corak perkembangan bahasa pada masanya.
Hal ini berarti, kita sangat dimudahkan memberi jawaban kepada pertanyaan:
“Apakah dan di manakah kita dapati bentuk ucapan
bahasa yang betul itu?” Bentuk ucapan bahasa yang betul adalah bentuk ucapan
bahasa yang sudah terkodifikasi dalam buku tatabahasa yang disusun berdasarkan
kenyataan pemakaian bahasa yang umum sifatnya di tengah-tengah masyarakat
bahasa itu.
Persoalan di sekitar bentuk ucapan
bahasa yang bagus atau yang baik
Ke dalam bentuk ucapan bahasa yang
bagus atau yang baik ini kita masukkan dua jenis bentuk ucapan bahasa, yaitu:
(a) bentuk ucapan
bahasa yang jelas, dan
(b) bentuk ucapan bahasa yang indah.
Bila suatu bentuk ucapan bahasa mengandung kedua
sifat (a) dan (b) ini maka kita katakanlah bentuk ucapan bahasa itu bagus atau
baik.
Bentuk ucapan bahasa yang “jelas”
tidak hanya berbeda dalam istilah dengan bentuk ucapan bahasa yang “indah”.
Perbedaannya lebih banyak terletak pada esensi dan masing-masing ciri yang
menandainya, seperti akan tampak dalam uraian berikut ini.
Bentuk ucapan bahasa yang jelas
Jelas tidaknya suatu bentuk ucapan
bahasa itu, sebenarnya terletak pada kualitas daya informatif yang ada pada
bentuk ucapan bahasa itu sendiri. Jika dia mempunyai kesanggupan memberikan
informasi yang jelas tentang konsep yang dimaksudkan oleh si pembicara dan
pihak kedua (mereka yang menangkap bentuk ucapan ini) juga mendapatkan gambaran
konsep persis seperti yang dimaksudkan oleh si pembicara, maka kita katakan
banhwa bentuk ucapan bahasa itu jelas. Inilah yang diistilahkan oleh Jack
London dengan “The precision of utterance”. Jadi, bentuk ucapan bahasa
yang jelas itu akan memberi kepuasan baik kepada orang pertama (si pembicara)
maupun kepada orang kedua (orang yang menangkap bentuk ucapan itu).
Dari uraian ini tampaklah bahwa
persoalan jelas tidaknya suatu bentuk ucapan bahasa itu tidak semata-mata
terletak pada bentuk ucapan itu sendiri, namun lebih banyak pada persamaan
konsep yang ada pada orang pertama dan orang kedua. Sedangkan bentuk ucapannya
sendiri tidak lebih dari pada fenomena formal yang mewadahi persamaan konsep
itu.
Persoalannya sekarang adalah
bagaimanakah caranya agar situasi yang serupa itu bisa tercapai? Dalam hubungan
ini, peranan orang pertamalah yang banyak menentukan. Orang pertama ini hendaklah
menjadi seorang pembicara yang baik. Sebagai pembicara yang baik dia harus
memiliki kroteria berikut.
1. Ia mempunyai pengetahuan yang baik
tentang kemampuan bahasa orang kedua. Ini bisa diperoleh melalui secara
teoretis melalui studi bahasa atau studi dialek (dialektografi) dari masyarakat
bahasa orang kedua dan bisa juga secara praktis, yaitu dengan mengadakan
praobservasi ke dalam masyarakat bahasa itu.
2. Ia harus mempunyai daya pengolahan
yang baik terhadap stok materi bahasa yang tersedia. Pemilihan kata yang tepat
dan penyusunannya dalam konteks kalimat yang tepat pula, merupakan modal
terbesar dalam komunikasinya dengan orang kedua tersebut.
3. Orientasi filologis yang teliti
terhadap bahasa orang kedua juga diperlukan untuk mendapatkan istilah-istilah,
bentuk-bentuk ungkapan dan perbandingan yang tepat.
Di samping ketiga faktor tersebut,
faktor gaya
berbahasa (individual style) dari orang pertama juga merupakan daya
penarik bagi orang kedua. Jadi, dalam hubungan ini, persoalan prinsipal bagi orang
pertama adalah: “Dengan energi yang sekecil-kecilnya yang harus dikeluarkan
oleh orang pertama dapat dihasilkan respons yang sebesar-besarnya pada orang
kedua”. Inilah yang dikatakan oleh E. Tegner
sebagai “goodness of style” yaitu: “That which eassiliest uttered is
eassiliest received”. (Otto Jespersen, 1954: 119). Demikianlah persoalannya
bentuk bahasa yang jelas itu.
Bentuk ucapan bahasa yang indah
Kalau kita berbicara tentang
bentuk ucapan bahasa yang indah, berarti kita membicarakan nilai estetis
yang ada dalam bentuk ucapan bahasa itu. Ini kita namakan nilai estetis
objektif.
Menurut Prof. Slametmuljana (1956:
18), keindahan yang terdapat dalam bentuk ucapan bahasa itu merupakan perwujudan
dari konsep keindahan yang ada pada pemakai bahasa itu. Konsep keindahan
yang dimiliki oleh pemakai bahasa tersebut kita sebut nilai estetis
subjektif.
Untuk mendapatkan gambaran yang
agak jelas tentang bentuk ucapan bahasa yang indah itu, maka ada baiknya kalau
persoalannya kita tinjau dari kedua segi nilai keindahan tersebut.
(1) Keindahan bentuk ucapan bahasa ditinjau dari segi
subjeknya/pemakai bahasanya
Nilai estetis subjektif ini kita
bedakan antara yang bersifat individual dan yang bersifat kolektif. Nilai
estetika ebjektif yang bersifat individual ini antara lain berupa
kesanggupan/daya mental dari seseorang pemakai bahasa dalam mencurahkan
nilai-nilai keindahan ke dalam bentuk ucapan bahasa (selanjutnya kita sebut
“daya curah estetis individual”).
Di samping itu, juga ditentukan
oleh kesanggupan mental seseorang menanggapi/menikmati nilai-nilai estetis yang
telah terwadahi dalam suatu bentuk ucapan bahasa (selanjutnya kita sebut “daya
tanggap estetis individual’).
Daya curah estetis individual ini
banyak ditentukan oleh modal estetika yang telah dimiliki oleh seseorang
tertentu, yang secara populer disebut “bakat seni” dari orang itu. Di samping
itu, pengalaman-pengalaman dan latihan-latihan dalam mencurahkan aspek-aspek
keindahan akan mempertajam daya curah estetis ini. Dari pengalaman-pengalaman
dan latihan-latihan ini, orang itu akan memahami dan dapat menggunakan
kekuatan-kekuatan yang ada pada unsur-unsur bahasa, daya magis dari unsur-unsur
bahasa itu, dan perimbangan-perimbangan ritme dari unsur-unsur bahasa itu.
Demikian kata Jespersen. Seseorang yang berbakat seni akan mempunyai peluang
yang lebih banyak jika dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyainya.
Adapun daya tanggap estetika
individual berupa kesanggupan seseorang untuk menhayati nilai estetika yang ada
pada suatu bentuk ucapan bahasa, seperti misalnya pada perimbangan bunyi-bunyi
bahasa yang menyusun bentuk ucapan bahasa itu, pada kata-kata dan susunan
kata-kata yang dipakai dalam kalimat-kalimat bentuk ucapan bahasa itu.
Perlu ditegaskan lagi bahwa daya
curah dan daya tanggap di bidang estetika ini mempunyai sifat-sifat yang sangat
subjektif sekali. Dia merupakan hasil kerjasama dari faktor bakat, lingkungan,
dan pendidikan (Slametmuljana, 1956: 33). Demikianlah nilai estetika yang ada
pada pemakai bahasa itu.
Di samping nilai estetika subjektif
yang bersifat individual seperti yang terurai di atas, kita dapati juga nilai
estetika subjektif yang bersifat kolektif, yang pada hakikatnya merupakan
perluasan dari yang pertama tadi. Dalam persoalan ini kita bedakan antara:
nilai estetika subjektif kolektif yang bercorak regional dan yang bercorak
kelompok sosial tertentu. Pada yang bercorak regional kita dapati heterogenitas
yang agak luas sedangkan pada yang bercorak kelompok sosial lebih banyak
menunjukkan sifat-sifat yang homogen. Ini akan terbukti pada penilai keindahan
dari pemakai bahasa di suatu daerah tertentu tampak bermacam-macam kualitasnya,
sedangkan dalam lapisan kelompok sosial tertentu seperti misalnya kelompok
seniman akan kita dapati penilaian keindahan yang relatif boleh dikatakan sama.
(2) Keindahan bentuk ucapan bahasa ditinjau dari segi
objeknya, yaitu dari bentuk ucapan bahasa itu sendiri.
Tentang keindahan yang terdapat
dalam bentuk ucapan bahasa itu sendiri, O. Jespersen (1954: 120) membedakan
antara “keindahan dalam” (inner beauty) dan “keindahan luar” (outer
beauty) yang biasanya disebutkan keindahan permukaan.
“Keindahan dalam” itu berupa nilai
simbolisme yang ada pada bunyi-bunyi bahasa, daya lukis yang ada pada
kata-kata, ungkapan dan kalimat-kalimat yang dipakai dalam bentuk ucapan bahasa
itu. Bentuk ucapan bahasa yang mempunyai unsur-unsur keindahan dalam yang cukup
baik, menurut W. Libby, akan merangsang timbulnya nilai keindahan yang
maksimal.
Adapun “keindahan luar” atau
“keindahan permukaan” itu berupa perimbangan unsur-unsur bentuk ucapan bahasa
itu, yang menunjukkan suatu perimbangan yang harmonis.
Dari keseluruhan uraian tentang
bentuk ucapan bahasa yang indah tersebut kita hanya mendapatkan uraian yang
elementer sekali. Elementerisasi yang demikian itu memang sengaja dikerjakan,
karena persoalan bentuk ucapan bahasa yang indah itu sebenarnya lebih banyak
merupakan persoalan gaya
bahasa (style) dan persoalan daerah jangkauan sastra. Ilmu yang
berkompeten membicarakan persoalan ini dengan sendirinyaadalah ilmu sastra.
Tinjauan dari segi ilmu bahasa hanya memberikan gambaran umum saja, yaitu
tentang bagaimana tanggapan umum suatu masyarakat bahasa tentang bentuk ucapan
bahasa yang indah itu. Karena itu, secara umum dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksudkan bentuk ucapan bahasa yang indah itu adalah bentuk ucapan bahasa
yang unsur-unsur menunjukkan perimbangan yang harmonis, mempunyai daya lukis
yang maksimal sehingga dapat merangsang timbulnya nilai estetika para pemakai
bahasa itu baik secara perseorangan maupun secara berkelompok.
Demikianlah persoalan bentuk
ucapan bahasa yang indah itu dari sudut pandangan ilmu bahasa. Jadi, kalau
demikian halnya – suatu bentuk ucapan bahasa dikatakan bagus atau baik, kalau
bentuk ucapan bahasa itu jelas dan juga kalau bentuk ucapan bahasa itu indah.
Perlu ditegaskan bahwa bentuk ucapan bahasa yang jelas itu tidak secara
otomatis bisa dikatakan sebagai bahasa yang indah, demikian pula sebaliknya
suatu bentuk ucapan bahasa yang indah tidak secara otomatis bisa kita katakan
sebagai bahasa yang jelas. Masing-masing mempunyai ciri-cirin tersendiri, yang
di dalam penentuan norma bentuk ucapan bahasa yang baik atau yang bagus itu
kita usahakan bisa saling mengisi antara yang satu dengan yang lainnya.
Persoalan di sekitar bahasa
standar dan hubungannya dengan bentuk ucapan bahasa yang betul dan bentuk
ucapan bahasa yang baik.
(a) Persoalan
di sekitar bahasa standar
Seperti halnya tentang bentuk
ucapan bahasa yang betul dan bentuk ucapan bahasa yang baik, tentang bahasa
standar pun kita dapati bermacam-macam batasan dan pencirian yang sering
diberikan orang.
Di dalam uraian berikut, sebagai
titik tolak pembahasan, akan dipakai batasan yang dikemukakan oleh Mario Pei
seperti yang termuat di dalam bukunya yang berjudul Dictionary of
Linguistics (London, 1954) halaman 203 sebagai berikut: “Standard
language, That dialect of a language which as gained literary and cultural
supremacy over the other dialects and is accepted by the speaker of the other
dialects as the most proper form of that language”.
Dari batasan yang dikemukakan oleh
Mario Pei ini kita dapati unsur yang merupakan ciri dari bahasa standar
tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. Bahasa
standar itu adalah suatu dialek.
2. Bahasa
standar itu mempunyai kelebihan (supremasi) di bidang sastra dan kebudayaan
lebih tinggi jika dibandingkan dengan dialek-dialek yang lain.
3. Bahasa
standar itu diterima dan dipakai oleh pemakai dialek yang lain.
4. Bahasa standar itu dianggap
merupakan bentuk ucapan bahasa yang baik.
Batasan bahasa standar dari Mario Pei ini adalah
batasan yang bertolak dari sudut pandangan linguistik (sesuai dengan judul
bukunya).
Linguistik menganggap dialek itu
sebagai wadah terkecil dari interaksi bahasa di dalam satu kesatuan sosial.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa dialek adalah suatu corak pengucapan bahasa
dari suatu kelompok sosial (lihat L.H. Gray, 1950).
Menurut Dr. van Ginneken (dalam S.
Takdir Alisjahbana, 1957: 47) kelompok sosial bahasa ini merupakan suatu
lingkaran bahasa (taalkringen) yang bisa dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu: (1) menurut tempat kediaman para pemakainya (locale taalkringen);
(2) menurut golongan dalam pergaulan (familiale taalkringen); dan (3)
menurut pekerjaan dan kedudukan dalam pergaulan (sociale taalkringen).
Para linguis modern lebih cenderung
melihat dialek itu dari kesatuan wadahnya, sehingga hanya dibedakan dua jenis
dialek yaitu dialek geografis atau dialek regional, yaitu corak pengucapan
bahasa di suatu daerah tertentu dan corak pengucapan bahasa dari suatu lapisan
sosial tertentu yang disebutnya dialek sosial (W.N. Francis, 1958: 44-45).
Adapun ciri formal (ciri fenomena)
dari suatu dialek itu, menurut L.H. Gray (1950: 25) tampak dalam
persamaan-persamaan: ciri-ciri pengucapan (pronountiation), pemilihan
kata (vocabulary) dari setiap anggota masyarakat dialek itu. Adanya
persamaan pada ketiga unsur bahasa ini disebabkan oleh dorongan kejiwaan yang
berasal dari dalam diri para anggota dialek itu sebagai perwujudan dari rasa
kekelompokkannya, demikian menurut J. Vendreyes (1952: 248).
Atas dasar ciri-ciri dari dialek
tersebut, maka bahasa standar sebagai suatu dialek dengan sendirinya mempunyai
kekhususan dalam aspek pengucapannya, pemilihan kata-kata dan susunan
kata-katanya, dan dalam perbendaharaan kata-katanya. Adapun ciri-ciri khususnya
itu adalah ketiga aspek bahasa yang menandainya merupakan bentuk-bentuk ucapan
bahasa yang baik dan bentuk ucapan bahasa yang betul. Atau, dianggap sebagai
bentuk ucapan bahasa yang betul dan bentuk ucapan bahasa yang baik oleh
masyarakat pemakainya. Inilah barang-barang yang dimaksudkan oleh Mario Pei
dengan istilah “as the most proper form of that language”.
Ciri yang kedua dari bahasa
standar itu adalah: bahasa standar itu sebagai suatu dialek mempunyai kelebihan
(supremasi) di bidang sastra dan kebudayaan jika dibandingkan dengan
dialek-dialek yang lain. Rupanya ciri ini bersumber dari sejarah terjadinya
kebanyakan bahasa standar yang sekarang telah menjadi bahasa nasional dari
beberapa negara.
Tentang hal ini J. Bram (1955:
29-30) secara umum mengatakan: … all national language began as local
dialect and were carried to prominent position by the succesful social careers
of their speakers”. Jadi prestasi di bidang sosial budaya dari para pemakai
dialek itu yang membawa dialeknya ke tingkat supremasi.
Adapun contoh buktinya bisa kita
ketahui misalnya dari sejarah kejadian Bahasa Perancis sekarang yang semula
merupakan sebuah dialek saja, yaitu dialek Paris, tetapi karena dominasi
pemakainya di bidang politik maka akhirnya dialek Paris ini terangkat menjadi
bahasa standar bahasa Perancis. Gejala yang sama kita dapati juga sejarah
kejadian bahasa Inggris, yang semula disebut dialek kota
London dan bahasa Romawi yang semula merupakan
dialek kota
Roma (J. Vendreyes, 1952: 262-263).
Kesuksesan suatu dialek di bidang
sastra yang kemudian membuat dialek itu terpilih menjadi bahasa standar,
dibuktikan oleh dialek Toscana yang karena jasa-jasa pengarang Dante,
Bocchacchio, dan Petrares lalu menjadi bahasa standar bahasa Italia, juga
dibuktikan oleh dialek Slavonic yang kemudian menjadi bahasa standar bahasa
Rusia.
Setelah dialek itu menjadi bahasa
standar, supremasinya di bidang sastra dan budaya dalam arti yang
seluas-luasnya masih tetap dipertahankan. Karena itulah sering dikatakan orang
bahwa bahasa sastra itu adalah refleksi dari bahasa standar (Lihat: O.
Jespersen, 1954)
Ciri ketiga dari bahasa standar
itu sebenarnya merupakan akibat logis dari ciri yang kedua di atas ini.
Prestasi, dominasi dan supremasi dari dialek serta pemakainya yang kemudian
menjadi bahasa standar itu akhirnya mengakibatkan dialek itu diterima dan
dipakai oleh pemakai dialek yang lainnya. Dan, keadaan ini menyebabkan bahasa
standar itu menjadi corak ucapan bahasa yang umum (common language)
seperti yang digambarkan oleh J. Vendreyes (1952: 260). Bahasa standar ini
akhirnya merupakan bahasa yang umum dipakai oleh setiap pemakai bahasa itu,
sehingga kita tidak bisa membedakan lagi dari dialek mana seseorang itu
berasal. Sehubungan dengan ini, O. Jespersen (1954: 69) mengatakan bahwa ucapan
bahasa umum atau bahasa standar ini tidak hanya membuat kita tidak mengetahui
lagi dialek asli pemakainya, tetapi juga menghilangkan kesukaran-kesukaran atau
kesulitan-kesulitan proses komunikasi antara orang-orang yang berasal dari
berbagai macam dialek itu.
Perlu ditegaskan di sini bahwa
bahasa standar itu tidaklah merupakan bahasa sehari-hari dari seluruh pemakai
bahasa itu. Dalam pemakaian bahasa sehari-hari kebanyakan pemakai bahasa itu
akan memakai dialeknya sendiri-sendiri. Tetapi, walaupun demikian ada selapisan
masyarakat yang selalu memakai bahasa standar ini dalam kehidupannya
sehari-hari. Lapisan sosial itu adalah lapisan atasan, seperti misalnya kaum
terpelajar pada umumnya. Karena itu, sering pula dikatakan bahwa bahasa standar
itu adalah bahasa lapisan atasan (cultivated language) (L. Bloomfield,
1961: 48).
Bahasa standar ini secara
menyeluruh akan dipakai dalam suasana-suasana yang bersifat resmi dan
suasana-suasana yang bersifat zaklijk, seperti misalnya dalam pengajaran
di sekolah-sekolah, khotbah-khotbah agama dan suasana-suasan resmi kenegaraan.
Memang lebih banyak bahasa standar ini dipakai dalam suasana-suasana resmi yang
bersifat kenegaraan sehingga orang mengidentikkan begitu saja antara bahasa
standar ini dengan bahasa resmi.
Dari keseluruhan uraian tentang
bahasa standar tersebut, akhirnya kita dapat menarik kesimpulan bahwa yang
diamksud dengan bahasa standar itu adalah suatu corak pengucapan bahasa (=
dialek) yang dipakai di seluruh daerah bahasa tersebut dalam suasana-suasana
yang bersifat resmi, sehari-hari dipakai oleh lapisan atas masyarakat bahasa
itu. Unsur-unsur bahasa dari bahasa standar ini oleh seluruh pemakainya
dianggap sebagai bentuk ucapan bahasa yang betul dan unsur ucapan bahasa yang
baik.
(b) Hubungan
antara unsur bahasa standar dengan bentuk ucapan bahasa yang betul dan bentuk
ucapan bahasa yang baik
Secara implicit, persoalan
hubungan antara bahasa standar dengan bentuk ucapan bahasa yang betul dan
bentuk ucapan bahasa yang baik itu telah tersirat dalam uraian tentang ciri-ciri
bahasa standar itu. Bentuk ucapan bahasa yang betul dan bentuk ucapan bahasa
yang baik ini ada dalam kesatuan bahasa standar itu, atau merupakan
kesatuan-kesatuan yang menandai bahasa standar itu. Maksudnya, unsur-unsur
bahasa dari bahasa standar itu merupakan unsur bentuk ucapan bahasa yang betul
dan yang baik.
Bentuk ucapan bahasa yang betul
dan bentuk ucapan bahasa yang baik ini bukanlah merupakan suatu bahasa yang
berdiri sendiri seperti halnya bahasa standar. Tidak ada suatu bahasapun yang
baik atau yang betul semuanya atau buruk/salah semuanya. Setiap bahasa itu
betul dan baik bagi masyarakat pemakainya, karena sudah merupakan sifat kodrati
dari bahasa itu sesuai dengan kebutuhan masyarakat pemakainya (W.N. Francis,
1958: 9).
Demikian juga bentuk-bentuk yang
ada dalam bahasa itu pada dasarnya sama betul dan sama baiknya, bentuk satu
dengan bentuk yang lain tidak ada yang salah. C.C. Fries (1955: 6) mengatakan:
“One form is as good as another just as long as the gross meaning is
understood”. Apa yang kita namakan bentuk ucapan bahasa yang betul dan yang
baik itu merupakan hasil penilaian yang disepakati oleh para anggota masyarakat
bahasa dan itu ada pada bahasa standar.
Jika kita hubungkan persoalan ini
dengan persoalan standar bahasa Indonesia, maka pertama-pertama perlu segera
dikerjakan standardisasi bahasa Indonesia yang sedang dipakai sekarang ini,
karena standardisasi yang telah ada masih menunjukkan standardisasi bahasa
Melayu. Dengan terkodifikasinya standar bahasa Indonesia yang didasarkan atas
kondisi struktur bahasa Indonesia sekarang ini, maka setiap pemakai bahasa
Indonesia akan mempunyai gambaran yang sama tentang apa yang nanti kita sebut
bentuk ucapan bahasa Indonesia yang betul dan bentuk ucapan bahasa Indonesia
yang baik. Memang harus diakui bahwa gambaran para pemakai bahasa Indonesia
sekarang tentang kedua bentuk ucapan bahasa ini tidak begitu jelas dan malahan
sangat berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Dengan sendirinya,
hal ini jangan diartikan bahwa gambaran umum sama sekali tidak ada. Bukan
demikian maksudnya.
Yang boleh dikatakan adalah
sekarang ini di tengah-tengah masyarakat bahasa Indonesia terdapat common
sense tentang bentuk ucapan bahasa Indonesia yang betul dan yang baik. Common
sense tentang ucapan baku bahasa Indonesia inilah yang perlu segera
dikodifikasikan secara nyata (real) dengan rumusan yang jelas sehingga
masyarakat pemakai bahasa Indonesia bisa mengetahuinya dengan pasti, yang dapat
dipakai sebagai pedoman bagi pengucapan yang ideal.
Demikianlah persoalan di sekitar
bentuk ucapan bahasa yang betul, bentuk ucapan bahasa yang baik dan bahasa
standar itu pada umumnya dengan berbagai persoalan yang ada di dalamnya.
Diharapkan pembahasan ini akan ada manfaatnya dalam pemikiran dan pelaksanaan
standardisasi bahasa Indonesia yang segera harus dilaksanakan.