Ini Gw bkan Lu Bkn Dia dan bkan Mereka

Ini Gw bkan Lu Bkn Dia dan bkan Mereka
Persahabatan tak akan ada matinya....

Rabu, 29 Mei 2013

MAKALAH SEJARAH HADITS



BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Al-Hadis merupakan referensi kedua yang menjadi rujukan dalam segala amal-amal yang dilakukan oleh kaum muslimin setelah al-Qur’an. al-hadith juga bisa dijadikan sebuah penjelas dan nalar dari kitab al-Qur’an. al-hadith diibaratkan sebuah tonggak penggerak dari pondasi yang bernama al-Qur’an, al-Qur’an berjalan beriringan dengan al-hadith dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Oleh karena itu, Nabi sebagai penyampai yang al-amien mempunyai sebuah amanat yang berat untuk dipikul.
Keberadaan hadits sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa pra-kodifikasi, zaman Nabi, Sahabat, dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke-2 H.
Perkembangan hadits pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi untuk menulis hadits. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan tercampurnya nash al-Qur'an dengan hadits. Selain itu, juga disebabkan fokus Nabi pada para sahabat yang bisa menulis untuk menulis al-Qur'an. Larangan tersebut berlanjut sampai pada masa Tabi'in Besar. Bahkan Khalifah Umar ibn Khattab sangat menentang penulisan hadits, begitu juga dengan Khalifah yang lain. Periodisasi penulisan dan pembukuan hadits secara resmi dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (abad 2 H).
Terlepas dari naik-turunnya perkembangan hadits, tak dapat dinafikan bahwa sejarah perkembangan hadits memberikan pengaruh yang besar dalam sejarah peradaban Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Hadits
1.      Sejarah Penulisan Hadits
Hadits Nabi saw memang belum ditulis secara umum pada zaman Nabi saw masih hidup, karena ketika itu Al-Qur’an masih dalam proses diturunkan dan diurutkan. Bahkan Nabi saw melarang masyarakat umum dari menulis hadits, sebagaimana sabdanya :


عَنِّيْ حَدِّثُوْا وَ فَلْيَمْحُهُ الْقُرْآنِ غَيْرَ عَنِّيْ كَتَبَ مَنْ وَ عَنِّيْ تَكْتُبُوْا لا
       النَّارِ مِنْ مَقْعَدَهُ فَلْيَتَبَوَّأْ مُتَعَمِّدًا عَلَيَّ كَذَبَ مَنْ وَ حَرَجَ لا وَ

“Janganlah kalian menulis sesuatu pun dariku, barangsiapa yang telah menulis dariku selain Al-Qur’an hendaklah dia menghapusnya, dan beritakanlah hadits dariku, yang demikian tidak berdosa, namun barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah dia mengambil tempat duduknya dari api neraka.” ( HR. Muslim )
Walaupun demikian, Nabi saw memberikan izin kepada orang-orang tertentu untuk menulis hadits yang diyakini tidak akan terjadi tercampurnya tulisan Al-Qur’an dengan tulisan hadits pada mereka. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat :

اللَّهِ رَسُولَ يَا لِي اكْتُبُوْا:فَقَالَ الْيَمَنِ أَهْلِ مِنْ رَجُلٌ شَاهٍ أَبُو فَقَامَ
شَاهٍ ا لأَبِيْ اكْتُبُوْ:فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ 
“Berdirilah Abu Syah, yakni seorang laki-laki dari penduduk Yaman, diaberkata : “Tuliskan untukku, wahai Rosullulloh !” Maka Rosululloh saw bersabda: “Tuliskan untuk Abu Syah !” ( HR. Al-Bukhori dan Abu Dawud )
Demikianlah usaha penulisan hadis pada masa khaIifah Umar bin Abdui Aziz yang selanjutnya disempurnakan oleh utama dari masa dan ke masa dan mencapai puncaknya pada akhir abad IV H.

2.      Masa penggalian hadis
Setelah Nabi Muhammad wafat (tahun 11 H / 632 M) pada awalnya tidak menimbulkan masalah mengenai Al Hadits karena sahabat besar masih cukup jumlahnya dan seakan-akan menggantikan peran Nabi sebagai tempat bertanya saat timbul masalah yang memerlukan pemecahan, baik mengenai Al Hadist ataupun Al Quran. Dan diantara mereka masih sering bertemu untuk berbagai keperluan.
Sejak Kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13 – 23 H atau 634 – 644 M) wilayah dakwah Islamiyah dan daulah Islamiyah mulai meluas hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah timbul masalah-masalah baru khususnya pada daerah-daerah baru sehingga makin banyak jumlah dan macam masalah yang memerlukan pemecahannya. Meski para sahabat tempat tinggalnya mulai tersebar dan jumlahnya mulai berkurang, namun kebutuhan untuk memecahkan berbagai masalah baru tersebut terus mendorong para sahabat makin saling bertemu bertukar Al Hadist.
Kemudian para sahabat kecil mulai mengambil alih tugas penggalian Al Hadits dari sumbernya ialah para sahabat besar. Kehadiran seorang sahabat besar selalu menjadi pusat perhatian para sahabat kecil terutama para tabi’in. Meski memerlukan perjalanan jauh tidak segan-segan para tabi’in ini berusaha menemui seorang sahabat yang memiliki Al Hadist yang sangat diperlukannya. Maka para tabi’in mulai banyak memiliki Al Hadist yang diterima atau digalinya dari sumbernya yaitu para sahabat. Meski begitu, sekaligus sebagai catatan pada masa itu adalah Al Hadist belum ditulis apalagi dibukukan.

3.      Masa penghimpunan al hadis
Musibah besar menimpa umat Islam pada masa awal Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Musibah itu berupa permusuhan diantara sebagian umat Islam yang meminta korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Pihak-pihak yang bermusuhan itu semula hanya memperebutkan kedudukan kekhalifahan kemudian bergeser kepada bidang Syari’at dan Aqidah dengan membuat Al Hadist Maudlu’ (palsu) yang jumlah dan macamnya tidak tanggung-tanggung guna mengesahkan atau membenarkan dan menguatkan keinginan / perjuangan mereka yang saling bermusuhan itu. Untungnya mereka tidak mungkin memalsukan Al Quran, karena selain sudah didiwankan (dibukukan) tidak sedikit yang telah hafal. Hanya saja mereka yang bermusuhan itu memberikan tafsir-tafsir Al Quran belaka untuk memenuhi keinginan atau pahamnya.
Keadaan menjadi semakin memprihatinkan dengan terbunuhnya Khalifah Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala (tahun 61 H / 681 M). Para sahabat kecil yang masih hidup dan terutama para tabi’in mengingat kondisi demikian itu lantas mengambil sikap tidak mau lagi menerima Al Hadist baru, yaitu yang sebelumnya tidak mereka miliki. Kalaupun menerima, para shabat kecil dan tabi’in ini sangat berhat-hati sekali. Diteliti dengan secermat-cermatnya mengenai siapa yang menjadi sumber dan siapa yang membawakannya. Sebab mereka ini tahu benar siapa-siapa yang melibatkan diri atau terlibat dalam persengketaan dan permusuhan masa itu. Mereka tahu benar keadaan pribadi-pribadi sumber / pemberita Al Hadist. Misal apakah seorang yang pelupa atau tidak, masih kanak-kanak atau telah udzur, benar atau tidaknya sumber dan pemberitaan suatu Al Hadist dan sebagainya. Pengetahuan yang demikian itu diwariskan kepada murid-muridnya ialah para tabi’ut tabi’in.
Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah dari Bani Umayah (tahun 99 – 101 H / 717 – 720 M) termasuk angkatan tabi’in yang memiliki jasa yang besar dalam penghimpunan Al Hadist. Para kepala daerah diperintahkannya untuk menghimpun Al Hadist dari para tabi’in yang terkenal memiliki banyak Al Hadist. Seorang tabi’in yang terkemuka saat itu yakni Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin Syihab Az Zuhri (tahun 51 – 124 H / 671 – 742 M) diperintahkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Untuk itu beliau Az Zuhri menggunakan semboyannya yang terkenal yaitu al isnaadu minad diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a (artinya : Sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang apa saja).

4.      Masa pendiwanan dan penyusunan al hadis
Usaha pendiwanan (yaitu pembukuan, pelakunya ialah pembuku Al Hadits disebut pendiwan) dan penyusunan Al Hadits dilaksanakan pada masa abad ke 3 H. Langkah utama dalam masa ini diawali dengan pengelompokan Al Hadits. Pengelompokan dilakukan dengan memisahkan mana Al Hadits yang marfu’, mauquf dan maqtu’. Al Hadits marfu’ ialah Al Hadits yang berisi perilaku Nabi Muhammad, Al Hadits mauquf ialah Al Hadits yang berisi perilaku sahabat dan Al Hadits maqthu’ ialah Al Hadits yang berisi perilaku tabi’in. Pengelompokan tersebut diantaranya dilakukan oleh :
·         Ahmad bin Hambal
·         Abdullan bin Musa Al ‘Abasi Al Kufi
·         Musaddad Al Bashri
·         Nu’am bin Hammad Al Khuza’I
·         Utsman bin Abi Syu’bah
Yang paling mendapat perhatian paling besar dari ulama-ulama sesudahnya adalah Musnadul Kabir karya Ahmad bin Hambal (164-241 H / 780-855 M) yang berisi 40.000 Al Hadits, 10.000 diantaranya berulang-ulang. Menurut ahlinya sekiranya Musnadul Kabir ini tetap sebanyak yang disusun Ahmad sendiri maka tidak ada hadist yang mardud (tertolak). Mengingat musnad ini selanjutnya ditambah-tambah oleh anak Ahmad sendiri yang bernama ‘Abdullah dan Abu Bakr Qathi’i sehingga tidak sedikit termuat dengan yang dla’if dan 4 hadist maudlu’.
Adapun pendiwanan Al Hadits dilaksanakan dengan penelitian sanad dan rawi-rawinya. Ulama terkenal yang mempelopori usaha ini adalah :
Ishaq bin Rahawaih bin Mukhlad Al Handhali At Tamimi Al Marwazi (161-238 H / 780-855 M) Ia adalah salah satu guru Ahmad bin Hambal, Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, An Nasai.Usaha Ishaq ini selain dilanjutkan juga ditingkatkan oleh Bukhari, kemudian diteruskan oleh muridnya yaitu Muslim. Akhirnya ulama-ulama sesudahnya meneruskan usaha tersebut sehingga pendiwanan kitab Al Hadits terwujud dalam kitab Al Jami’ush Shahih Bukhari, Al Jamush Shahih Muslim As Sunan Ibnu Majah dan seterusnya sebagaimana terdapat dalamdaftar kitab masa abad 3 hijriyah.
Yang perlu menjadi catatan pada masa ini (abad 3 H) ialah telah diusahakannya untuk memisahkan Al Hadits yang shahih dari Al Hadits yang tidak shahih sehingga tersusun 3 macam Al Hadits, yaitu :
·         Kitab Shahih – (Shahih Bukhari, Shahih Muslim) – berisi Al Hadits yang shahih saja
·         Kitab Sunan – (Ibnu Majah, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, Ad Damiri) – menurut sebagian ulama selain Sunan Ibnu Majah berisi Al Hadit shahih dan Al Hadits dla’if yang tidak munkar.
Kitab Musnad – (Abu Ya’la, Al Hmaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) – berisi berbagai macam Al Hadits tanpa penelitian dan penyaringan. Oleh seab itu hanya berguna bagi para ahli Al Hadits untuk bahan perbandingan.
Apa yang telah dilakukan oleh para ahli Al Hadits abad 3 Hijriyah tidak banyak yang mengeluarkan atau menggali Al Hadits dari sumbernya seperti halnya ahli Al Hadits pada adab 2 Hijriyah. Ahli Al Hadits abad 3 umumnya melakukan tashhih (koreksi atau verifikasi) saja atas Al Hadits yang telah ada disamping juga menghafalkannya. Sedangkan pada masa abad 4 hijriyah dapat dikatakan masa penyelesaian pembinaan Al Hadist. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab Al Hadits,menghimpun yang terserakan dan memudahkan mempelajarinya.

5.      Kritik Tentang sejarah Pembukuan Hadits
Demikian salah satu hadis yang menyatakan pelarangan penulisan hadis. Apabila ditinjau dari hadis ini, maka dapat diprediksikan bagaimana implikasinya terhadap penulisan dan pembukuan hadis. Ulama kontemporer seperti Muhammad Syharur, misalnya memaknai larangan hadis tersebut sebagai suatu isyarat bahwa   hadis itu sebenarnya hanyalah merupakan ijtihad Nabi yang syarat dengan situasi sosio-kultural dimana Nabi hidup. Hadis Nabi lebih  merupakan marhalah ta>ri>khiyah, dimana Nabi sangat dipengaruhi oleh situasi sosio-budaya Arab waktu itu, sehingga tidak terlalu penting untuk dibukukan.
Namun demikian, disamping ada hadis yang melarang menulisan hadis sebagaimana dikutip di atas, dalam bagian yang lain ada juga hadis-hadis yang menunjukkan kebolehan menulis hadis. Diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu> Hurairah yang artinya sebagai berikut:
Terhadap dua riwayat yang tampak saling bertentangan tersebut, para ulama berbeda pendapat dalam memahaminya. Sebagian menganggap bahwa larangan itu mutlak, tetapi  sebagian ulama yang lain berusaha mengkompromikannya dengan mengembalikan persoalan tersebut kepada empat pendapat:  
Sebagian ulama menganggap bahwa hadis Abi Said Al-Hudri tersebut Mauquf, maka tidak patut untuk dijadikan alasan, untuk melarang penulisan hadis Larangan penulisan hadis berlaku hanya pada masa awal-awal  Islam, karena dikhawatirkan bercampur dengan al-Qur’an.
Dengan adanya larangan penulisan hadis tersebut pada hakekatnya Nabi mempercayai kemampuan para sahabat untuk menghafalkannya, dan Nabi khawatir seseorang akan bergantung pada tulisan, sedang pemberian izin Nabi untuk menulis hadisnya,   pada hakekatnya merupakan isyarat bahwa Nabi tidak percaya kepada orang seperti Abi Syah,  dapat menghafalkannya dengan baik.
Larangan  itu bersifat umum, tetapi secara khusus diizinkan kepada orang-orang yang bisa baca tulis dengan baik, tidak salah dalam tulisannya, seperti pada Abdullah bin Umar.
Meskipun para ulama mempunyai perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya penulisan hadis ini, namun nyatanya para sahabat tetap memelihara dan melestarikan hadis Nabi. Hal ini dibuktikan dengan adanya hadis Nabi yang mengatakan: “Riwayatkanlah dari saya. Barang siapa sengaja berbohong atas nama saya maka tempatnya di neraka”. Sehingga apabila menulis hadis menjadi praktek yang dilarang, maka untuk mengantisipasi terjadinya ketidakotentikan hadis ini Nabi juga memberikan peringatan atau ancaman neraka tersebut.











BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Walaupun diakui hafalan merupakan salah satu tradisi yang dijunjung tinggi dalam pemeliharaan dan pengembangan pengetahuan, dan konon orang-orang Arab terkenal mempunyai kekuatan hafalan yang tinggi,  bahkan para penghafal masih banyak yang beranggapan bahwa penulisan hadis tidak diperkenankan, namun ternyata tradisi penulisan hadis sudah dilakukan sejak zaman Nabi. Tradisi tulis hadis memang sudah ada sejak masa Nabi, tapi bukan berarti semua hadis Nabi sudah dibukukan sejak zaman Nabi tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari tidak dibukukannya hadis secara resmi saat itu, sedang sahabat yang menulis hadis itu lebih didorong oleh keinginan dirinya sendiri. Padahal koordinasi antara sahabat untuk merekam seluruh aspek kehidupan Nabi tidak ditemukan tanda-tandanya.
Nabi SAW hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka selalu bertemu dan berinteraksi dengan beliau secara bebas. Menurut T.M.Hasbi Ash Shiddieqy, bahwa tidak ada ketentuan protokol yang menghalangi mereka bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk ke rumah Nabi, di kala beliau tak ada di rumah, dan berbicara dengan para istri Nabi, tanpa hijab. Nabi bergaul dengan mereka di rumah, di mesjid, di pasar, di jalan, di dalam safar dan di dalam hadlar. Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga ucapan dan tutur kata Nabi menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik Nabi menjadi contoh dan pedoman hidup mereka. Para sahabat sangat memperhatikan perilaku Nabi dan sangat memerlukan untuk mengetahui segala apa yang disabdakan Nabi. Mereka tentu meyakini, bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan menaati apa-apa yang diperintahkan Nabi.
DAFTAR PUSTAKA

·  Muhammad Mustafa Azami, Studes in Early Hadith Literature, Terj. Ali Mustafa Ya'qub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000

·  Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, Bandung: Dipenegoro, 2007.

·  Rosnawati Ali, Pengantar Ilmu Hadits, Kualalumpur: Ilham Abati Enterprise, 1997.

·  Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadits, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.

·  Ahmad Amin, Fajrul Islam, Terj. Zaini Dahlan, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
·  M. Hasby Ash Shiddeqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta, 1998.

MAKALAH PENILAIAN HASIL BELAJAR



BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penilaian hasil belajar merupakan salah satu kegiatan dalam dunia pendidikan yang penting. Pada satu sisi, dengan penilaian hasil belajar yang dilakukan dengan baik dapat diketahui tingkat kemajuan belajar siswa, kekurangan, kelebihan, dan posiisi siswa dalam kelompok.  Pada sisi yang lain, penilaian hasil belajar yang baik akan merupakan feed back bagi guru/dosen untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan proses belajar mengajar.
Idiealnya, penilaian pada bidang apapun dilakukan dengan menggunakan prosedur dan instrumen yang standar. Prosedur yang standar adalah suatu prosedur penilaian yang dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah tertentu dan perlakukan yang adil pada siswa dengan mempertimbangankan situasi waktu, tempat, dan berbagai keragaman pada siswa. Sedangkan instrumen yang standar adalah instrumen yang disusun menggunakan prosedur pengembangan instrumen yang baku dan dapat dipertanggungjawabkan tingkat validitas dan reliabilitasnya.
Ada dua pendekatan penilaian dalam seni yang sering dipergunakan dalam dunia pendidikan, yaitu pendekatan objektif dan pendekatan subjektif (intuitif). Penerapan penilaian dengan pendekatan objektif maupun intuitif secara ekstem masing-masing mempunyai kelemahan. Pendekatan objektif mempersyaratkan sifat satu dimensi dari objek pengukuran, padahal penilaian dalam seni khususnya pada bidang seni tari pada umumnya objeknya adalah perilaku yang sangat kompleks (multidimensi), dan penampilan yang diamati relatif panjang durasi waktunya, sehingga apabila dilakukan penilaian terhadapnya akan membutuhkan instrumen yang sangat panjang. Jenis-jenis seni pertunjukan kehadirannya untuk dinilai hanya sesaat dan tidak dapat diulang kembali. Sekalipun bisa diulang misalnya dengan rekaman audio visual, situasinya sudah berubah dari situasi yang sesungguhnya. Di samping itu menikmati seni sesungguhnya adalah penikmatan emosional. Oleh karena itu terlalu banyak atau secara ekstrim menikmati seni dengan dengan kacamata nalar atau rasio menjadi kurang relevan. Sehingga kesan subjektif penilai/penikmat seni juga turut menentukan.
Pada sisi yang lain, Pendekatan subjektif cenderung bersifat intuitif, subjektifitas penilai sangat tinggi. Selera seni , aliran seni yang diikuti oleh penilaian, dan latar belakang kesenian penilai sangat mempengaruhi hasil penilaian. Akibatnya objektifitas penilaian sulit dipertanggung-jawabkan, lebih-lebih bila beberapa jenis karya tari yang dinilai tersebut sangat beraneka ragam bentuk, aliran, dan latar belakang budayanya.
Penilaian hasil belajar seni tari di perguruan tinggi atau di sekolah selama ini lebih banyak menggunakan pendekatan intuitif. Hal ini didasarkan pada pertimbangan efesiensi. Sesungguhnya pendekatan ini dalam praktiknya kadang-kadang sudah disertai dengan kompromi-kompromi tertentu oleh para penilai sebelum melakukan penilaian bersama. Hal-hal yang disepakati biasanya adalah aspek yang dinilai, prioritas (bobot) yang diutamakan, dan rentang nilai. Hal ini sesungguhnya sudah memasuki wilayah pendekatan objektif. Akan tetapi hal-hal yang disepakati tersebut biasanya tidak didokumentasikan, tidak diwujudkan dalam suatu instrument yang formal.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Penilaian
Penilaian (assessment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) peserta didik. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang peserta didik.Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata) dan nilai kuantitatif (berupa angka). Pengukuran berhubungan dengan proses pencarian atau penentuan nilai kuantitatif tersebut.
Tes adalah cara penilaian yang dirancang dan dilaksanakan kepada peserta didik pada waktu dan tempat tertentu serta dalam kondisi yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang jelas.
Secara khusus, dalam konteks pembelajaran di kelas, penilaian dilakukan untuk mengetahui kemajuan dan hasil belajar peserta didik, mendiagnosa kesulitan belajar, memberikan umpan balik/perbaikan proses belajar mengajar, dan penentuan kenaikan kelas. Melalui penilaian dapat diperoleh informasi yang akurat tentang penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan belajar peserta didik, guru, serta proses pembelajaran itu sendiri. Berdasarkan informasi itu, dapat dibuat keputusan tentang pembelajaran, kesulitan peserta didik dan upaya bimbingan yang diperlukan serta keberadaan kurikukulum itu sendiri.
B.     Ruang lingkup
Hasil belajar peserta didik dapat diklasifikasi ke dalam tiga ranah (domain), yaitu:
·         Domain kognitif (pengetahuan atau yang mencakup kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika – matematika),
·         Domain afektif (sikap dan nilai atau yang mencakup kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi, dengan kata lain kecerdasan emosional),
·         Domain psikomotor (keterampilan atau yang mencakup kecerdasan kinestetik, kecerdasan visual-spasial, dan kecerdasan musikal).
Sejauh mana masing-masing domain tersebut memberi sumbangan terhadap sukses seseorang dalam pekerjaan dan kehidupan ? Data hasil penelitian multi kecerdasan menunjukkan bahwa kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika-matematika yang termasuk dalam domain kognitif memiliki kontribusi hanya sebesar 5 %. Kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi yang termasuk domain afektif memberikan kontribusi yang sangat besar yaitu 80 %. Sedangkan kecerdasan kinestetik, kecerdasan visual-spatial dan kecerdasan musikal yang termasuk dalam domain psikomotor memberikan sumbangannya sebesar 5 %.
Namun, dalam praxis pendidikan di Indonesia yang tercermin dalam proses belajar-mengajar dan penilaian, yang amat dominan ditekankan justru domain kognitif. Domain ini terutama direfleksikan dalam 4 kelompok mata pelajaran, yaitu bahasa, matematika, sains, dan ilmu-ilmu sosial. Domain psikomotor yang terutama direfleksikan dalam mata-mata pelajaran pendidikan jasmani, keterampilan, dan kesenian cenderung disepelekan. Demikian pula, hal ini terjadi pada domain afektif yang terutama direfleksikan dalam mata-mata pelajaran agama dan kewarganegaraan.
Agar penekanan dalam pengembangan ketiga domain ini disesuaikan dengan proporsi sumbangan masing-masing domain terhadap sukses dalam pekerjaan dan kehidupan, para guru perlu memahami pengertian dan tingkatan tiap domain serta bagaimana menerapkannya dalam proses belajar-mengajar dan penilaian.
Perubahan paradigma pendidikan dari behavioristik ke konstruktivistik tidak hanya menuntut adanya perubahan dalam proses pembelajaran, tetapi juga termasuk perubahan dalam melaksanakan penilaian pembelajaran siswa. Dalam paradigma lama, penilaian pembelajaran lebih ditekankan pada hasil (produk) dan cenderung hanya menilai kemampuan aspek kognitif, yang kadang-kadang direduksi sedemikian rupa melalui bentuk tes obyektif. Sementara, penilaian dalam aspek afektif dan psikomotorik kerapkali diabaikan.
Dalam pembelajaran berbasis konstruktivisme, penilaian pembelajaran tidak hanya ditujukan untuk mengukur tingkat kemampuan kognitif semata, tetapi mencakup seluruh aspek kepribadian siswa, seperti: perkembangan moral, perkembangan emosional, perkembangan sosial dan aspek-aspek kepribadian individu lainnya. Demikian pula, penilaian tidak hanya bertumpu pada penilaian produk, tetapi juga mempertimbangkan segi proses.
Kesemuanya itu menuntut adanya perubahan dalam pendekatan dan teknik penilaian pembelajaran siswa. Untuk itulah, Depdiknas (2006) meluncurkan rambu-rambu penilaian pembelajaran siswa, dengan apa yang disebut Penilaian Kelas.
C.    Tujuan Penilaian
Penilaian memiliki tujuan yang sangat penting dalam pembelajaran, diantaranya untuk grading, seleksi, mengetahui tingkat penguasaan kompetensi, bimbingan, diagnosis, dan prediksi.
1.      Sebagai grading, penilaian ditujukan untuk menentukan atau membedakan kedudukan hasil kerja peserta didik dibandingkan dengan peserta didik lain. Penilaian ini akan menunjukkan kedudukan peserta didik dalam urutan dibandingkan dengan anak yang lain. Karena itu, fungsi penilaian untuk grading ini cenderung membandingkan anak dengan anak yang lain sehingga lebih mengacu kepada penilaian acuan norma (norm-referenced assessment).
2.      Sebagai alat seleksi, penilaian ditujukan untuk memisahkan antara peserta didik yang masuk dalam kategori tertentu dan yang tidak. Peserta didik yang boleh masuk sekolah tertentu atau yang tidak boleh. Dalam hal ini, fungsi penilaian untuk menentukan seseorang dapat masuk atau tidak di sekolah tertentu.
3.      Untuk menggambarkan sejauh mana seorang peserta didik telah menguasai kompetensi.
4.      Sebagai bimbingan, penilaian bertujuan untuk mengevaluasi hasil belajar peserta didik dalam rangka membantu peserta didik memahami dirinya, membuat keputusan tentang langkah berikutnya, baik untuk pemilihan program, pengembangan kepribadian maupun untuk penjurusan.
5.      Sebagai alat diagnosis, penilaian bertujuan menunjukkan kesulitan belajar yang dialami peserta didik dan kemungkinan prestasi yang bisa dikembangkan. Ini akan membantu guru menentukan apakah seseorang perlu remidiasi atau pengayaan.
6.      Sebagai alat prediksi, penilaian bertujuan untuk mendapatkan informasi yang dapat memprediksi bagaimana kinerja peserta didik pada jenjang pendidikan berikutnya atau dalam pekerjaan yang sesuai. Contoh dari penilaian ini adalah tes bakat skolastik atau tes potensi akademik.
Dari keenam tujuan penilaian tersebut, tujuan untuk melihat tingkat penguasaan kompetensi, bimbingan, dan diagnostik merupakan peranan utama dalam penilaian.
Sesuai dengan tujuan tersebut, penilaian menuntut guru agar secara langsung atau tak langsung mampu melaksanakan penilaian dalam keseluruhan proses pembelajaran. Untuk menilai sejauhmana siswa telah menguasai beragam kompetensi, tentu saja berbagai jenis penilaian perlu diberikan sesuai dengan kompetensi yang akan dinilai, seperti unjuk kerja/kinerja (performance), penugasan (proyek), hasil karya (produk), kumpulan hasil kerja siswa (portofolio), dan penilaian tertulis (paper and pencil test). Jadi, tujuan penilaian adalah memberikan masukan informasi secara komprehensif tentang hasil belajar peserta didik, baik dilihat ketika saat kegiatan pembelajaran berlangsung maupun dilihat dari hasil akhirnya, dengan menggunakan berbagai cara penilaian sesuai dengan kompetensi yang diharapkan dapat dicapai peserta didik.
D.    Pendekatan Penilaian
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam melakukan penilaian hasil belajar, yaitu penilaian yang mengacu kepada norma (Penilaian Acuan Norma atau norm-referenced assessment) dan penilaian yang mengacu kepada kriteria (Penilaian Acuan Kriteria atau criterion referenced assessment). Perbedaan kedua pendekatan tersebut terletak pada acuan yang dipakai. Pada penilaian yang mengacu kepada norma, interpretasi hasil penilaian peserta didik dikaitkan dengan hasil penilaian seluruh peserta didik yang dinilai dengan alat penilaian yang sama. Jadi hasil seluruh peserta didik digunakan sebagai acuan. Sedangkan, penilaian yang mengacu kepada kriteria atau patokan, interpretasi hasil penilaian bergantung pada apakah atau sejauh mana seorang peserta didik mencapai atau menguasai kriteria atau patokan yang telah ditentukan. Kriteria atau patokan itu dirumuskan dalam kompetensi atau hasil belajar dalam kurikulum berbasis kompetensi.
Dalam pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi, pendekatan penilaian yang digunakan adalah penilaian yang mengacu kepada kriteria atau patokan. Dalam hal ini prestasi peserta didik ditentukan oleh kriteria yang telah ditetapkan untuk penguasaan suatu kompetensi. Meskipun demikian, kadang kadang dapat digunakan penilaian acuan norma, untuk maksud khusus tertentu sesuai dengan kegunaannya, seperti untuk memilih peserta didik masuk rombongan belajar yang mana, untuk mengelompokkan peserta didik dalam kegiatan belajar, dan untuk menyeleksi peserta didik yang mewakili sekolah dalam lomba antar-sekolah.
E.     Teknik Penilaian
Berbagai macam  teknik  penilaian dapat dilakukan secara komplementer (saling melengkapi) sesuai dengan kompetensi yang dinilai. Teknik  penilaian yang dimaksud antara lain melalui tes, observasi, penugasan, inventori, jurnal, penilaian diri, dan penilaian antarteman yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta didik.
1.      Tes adalah pemberian sejumlah pertanyaan yang jawabannya dapat benar atau salah. Tes dapat berupa tes tertulis, tes lisan, dan tes praktik atau tes kinerja. Tes tertulis adalah tes yang menuntut peserta tes memberi jawaban secara tertulis berupa pilihan dan/atau isian. Tes yang jawabannya berupa pilihan meliputi pilihan ganda, benar­salah, dan menjodohkan. Sedangkan tes yang jawabannya berupa isian dapat berbentuk isian singkat dan/atau uraian. Tes lisan adalah tes  yang dilaksanakan melalui komunikasi langsung (tatap muka)  antara peserta didik  dengan pendidik. Pertanyaan dan jawaban diberikan secara lisan. Tes praktik  (kinerja)  adalah tes yang meminta peserta didik melakukan perbuatan/mendemonstasikan/ menampilkan keterampilan. Dalam rancangan penilaian, tes dilakukan secara berkesinambungan melalui berbagai macam  ulangan dan ujian. Ulangan meliputi ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir  semester, dan ulangan kenaikan kelas. Sedangkan ujian terdiri atas ujian nasional dan ujian sekolah.
2.      Observasi adalah penilaian yang dilakukan melalui pengamatan terhadap peserta didik selama pembelajaran berlangsung dan/atau di luar  kegiatan pembelajaran. Observasi dilakukan untuk mengumpulkan data kualitatif dan kuantitatif sesuai dengan kompetensi yang dinilai, dan dapat dilakukan baik secara formal maupun informal. Penilaian observasi dilakukan antara lain sebagai penilaian akhir kelompok mata pelajaran agama dan akhlak  mulia, kelompok  mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok  mata pelajaran estetika, serta kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan.
3.      Penugasan adalah pemberian tugas kepada peserta didik baik secara perorangan maupun kelompok. Penilaian penugasan diberikan untuk  penugasan terstruktur  dan kegiatan mandiri tidak terstruktur, dan dapat berupa praktik di laboratorium, tugas rumah, portofolio, projek, dan/atau produk.
4.      Portofolio adalah kumpulan dokumen dan karya­karya peserta didik dalam bidang tertentu yang diorganisasikan untuk  mengetahui minat, perkembangan prestasi, dan kreativitas peserta didik (Popham, 1999). Bentuk ini cocok  untuk mengetahui perkembangan unjuk  kerja peserta didik  dengan menilai bersama karya­karya atau tugas­tugas yang dikerjakannya. Peserta didik dan pendidik  perlu melakukan diskusi untuk  menentukan skor. Pada penilaian portofolio, peserta didik  dapat menentukan karya­karya yang akan dinilai, melakukan penilaian sendiri kemudian hasilnya dibahas. Perkembangan kemampuan peserta didik  dapat dilihat pada hasil penilaian portofolio. Teknik ini dapat dilakukan dengan baik apabila jumlah peserta didik yang dinilai sedikit.
5.      Projek  adalah tugas yang diberikan kepada peserta didik  dalam  kurun waktu tertentu. Peserta didik  dapat melakukan penelitian melalui pengumpulan, pengorganisasian, dan analisis data, serta pelaporan hasil kerjanya. Penilaian projek  dilaksanakan terhadap persiapan, pelaksanaan, dan hasil.
6.      Produk  (hasil karya)  adalah penilaian yang meminta peserta didik  menghasilkan suatu hasil karya. Penilaian produk  dilakukan terhadap persiapan, pelaksanaan/proses pembuatan, dan hasil.
7.      Inventori merupakan teknik  penilaian melalui skala psikologis yang dipakai untuk mengungkapkan sikap, minat, dan persepsi peserta didik terhadap objek psikologis.
8.      Jurnal merupakan catatan pendidik selama proses pembelajaran yang berisi informasi hasil pengamatan terhadap kekuatan dan kelemahan peserta didik yang berkait dengan kinerja ataupun sikap dan perilaku peserta didik yang dipaparkan secara deskriptif.
9.      Penilaian diri merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk menilai dirinya sendiri mengenai berbagai hal. Dalam penilaian diri, setiap peserta didik  harus  mengemukakan kelebihan dan kekurangan dirinya secara jujur.
10.  Penilaian antarteman merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik mengemukakan kelebihan dan kekurangan temannya dalam berbagai hal secara jujur.
11.  Kombinasi penggunaan berbagai teknik  penilaian di atas akan memberikan informasi yang lebih akurat tentang kemajuan belajar peserta didik.

F.     Prinsip Penilaian
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penilaian hasil belajar peserta didik antara lain:
1.      Penilaian ditujukan untuk mengukur pencapaian kompetensi;
2.      Penilaian menggunakan acuan kriteria yakni berdasarkan pencapaian kompetensi peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran;
3.      penilaian dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan;
4.      hasil penilaian ditindaklanjuti dengan program remedial bagi peserta didik  yang pencapaian kompetensinya di bawah kriteria ketuntasan dan program pengayaan bagi peserta didik yang telah memenuhi kriteria ketuntasan;
5.      penilaian harus sesuai dengan kegiatan pembelajaran.
Penilaian hasil belajar peserta didik harus memperhatikan prinsip­prinsip sebagai berikut:
1.      Sahih (valid), yakni penilaian didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan yang diukur;
2.      Objektif, yakni penilaian didasarkan pada prosedur  dan kriteria yang jelas, tidak  dipengaruhi subjektivitas penilai;
3.      Adil, yakni penilaian tidak  menguntungkan atau merugikan peserta didik, dan tidak membedakan latar belakang sosial­ekonomi, budaya, agama, bahasa, suku bangsa, dan jender;
4.      Terpadu, yakni penilaian merupakan komponen yang tidak  terpisahkan dari kegiatan pembelajaran;
5.      Terbuka, yakni prosedur  penilaian, kriteria penilaian, dan dasar  pengambilan keputusan dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan;
6.      Menyeluruh dan berkesinambungan, yakni penilaian mencakup semua aspek  kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik yang sesuai, untuk  memantau perkembangan kemampuan peserta didik;
7.      Sistematis, yakni penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap dengan mengikuti langkah­langkah yang baku;
8.      Menggunakan acuan kriteria, yakni penilaian didasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang ditetapkan;
9.      Akuntabel, yakni penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik, prosedur, maupun hasilnya.







BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Secara khusus, dalam konteks pembelajaran di kelas, penilaian dilakukan untuk mengetahui kemajuan dan hasil belajar peserta didik, mendiagnosa kesulitan belajar, memberikan umpan balik/perbaikan proses belajar mengajar, dan penentuan kenaikan kelas. Melalui penilaian dapat diperoleh informasi yang akurat tentang penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan belajar peserta didik, guru, serta proses pembelajaran itu sendiri. Berdasarkan informasi itu, dapat dibuat keputusan tentang pembelajaran, kesulitan peserta didik dan upaya bimbingan yang diperlukan serta keberadaan kurikukulum itu sendiri.
Dalam pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi, pendekatan penilaian yang digunakan adalah penilaian yang mengacu kepada kriteria atau patokan. Dalam hal ini prestasi peserta didik ditentukan oleh kriteria yang telah ditetapkan untuk penguasaan suatu kompetensi. Meskipun demikian, kadang kadang dapat digunakan penilaian acuan norma, untuk maksud khusus tertentu sesuai dengan kegunaannya, seperti untuk memilih peserta didik masuk rombongan belajar yang mana, untuk mengelompokkan peserta didik dalam kegiatan belajar, dan untuk menyeleksi peserta didik yang mewakili sekolah dalam lomba antar-sekolah.




DAFTAR PUSTAKA

Mardapi, Dj. dan Ghofur, A, (2004). Pedoman  Umum  Pengembangan  Penilaian;  Kurikulum Berbasis KompetensiSMA. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Nana Sudjana. 2006. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya
Nana Sudjana, R. Ibrahim. 2000. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru.
Zainul, A. & Nasoetion, N. 1993. Penilaian Hasil Belajar, Depdikbud:Pusat Antar Universitas.

 
http://www.slideshare.net/NASuprawoto/penilaian-hasil-belajar