Ini Gw bkan Lu Bkn Dia dan bkan Mereka

Ini Gw bkan Lu Bkn Dia dan bkan Mereka
Persahabatan tak akan ada matinya....

Minggu, 17 Juli 2011

Alasan Nabi Menikahi Wanita Lebih dari 4


Bahwa kedudukan seorang nabi di tengah umatnya tidak sama. Kedudukannya jauh lebih tinggi, Bahkan dari derajat para malaikat sekalipun. Bukankah sampai pada titik tertentu dari langit yang tujuh itu, malaikat Jibril pun harus berhenti dan tidak bisa meneruskan perjalanan mi’raj? Sementara nabi Muhammad SAW sendiri saja yang boleh meneruskan perjalanan. Ini menunjukkan bahwa derakat beliau SAW lebih tinggi dari malaikat Jibril `alaihissalam.
Demikian juga dengan masalah dosa. Kalau manusia umumnya bisa berdosa dan mendapat pahala, para nabi justru sudah dijamin suci dari semua dosa . Artinya, seandainya mau, para nabi itu mengerjakan hal-hal yang diharamkan, sudah pastiAllah tidak akan menjatuhkan vonis dosa kepada mereka. Sebab tugas mereka hanya menyampaikan syariah saja, baik dengan lisan maupun dengan peragaan. Namun karena para nabi itu dijadikan qudwah hidup, maka mereka pun beriltizam pada syariat yang mereka sampaikan.[1]
Pengecualian Syariat Buat Pribadi Rasulullah SAW
Dalam implementasinya, memang secara jujur harus diakui adanya sedikit detail syariah yang berbeda antara Rasulullah SAW dengan umatnya. Namun pengecualian ini sama sekali tidak merusak misi utamanya sebagai pembawa risalah dan juga qudwah. Sebab di balik hal itu, pasti ada hikmah ilahiyah yang tersembunyi.
Misalnya, bila umat Islam tidak diwajibkan melakukan shalat malam, maka Rasulllah SAW justru diwajibkan untuk melakukannya.

إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِن ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِّنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَن لَّن تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُم مَّرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah dari Al-Qur’an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah dari Al-Qur’an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[2]
Bila umat Islam diharamkan berpuasa dengan cara wishal , maka Rasulullah SAW justru diperbolehkan bahkan diperintahkan.
 “Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa Rasulullah SAW berpuasa wishal di bulan Ramadhan. Lalu orang-orang ikut melakukannya. Namun beliau SAW melarangnya. Orang-orang bertanya, Mengapa Anda melakukannya? Beliau menjawab, aku tidak seperti kalian. Sebab aku diberi makan dan diberi minum”.
Bila isteri-isteri umat Islam tidak diwajibkan bertabir dengan laki-laki ajnabi, khusus buat para isteri Rasulllah SAW telah ditetapkan kewajiban bertabir. Sehingga wajah mereka tidak boleh dilihat oleh laki-laki, sebagaimana mereka pun tidak boleh melihat wajah laki-laki lain. Hal itu berlaku buat para isteri nabi SAW. Kejadian itu bisa kita lihat tatkala Abdullah bin Ummi Maktuh yang buta masuk ke rumah nabi SAW, sedang saat itu beliau sedang bersama dua isterinya. Rasulullah SAW lalu memerintahkan mereka berhijab , meski Abdullah bin Ummi Maktum orang yang buta matanya. Namun Rasulullah SAW menjelaskan bahwa kedua isterinya bukan orang yang buta.
Karena itulah Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran:
 “Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka , maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar di sisi Allah”.
Bila wanita yang telah ditinggal mati oleh suaminya selesai dari ‘iddah mereka boleh dinikahi oleh orang lain, maka para janda Rasulullah SAW justru haram dinikahi selamanya oleh siapapun. Bahkan kepada mereka disandangkan gelar ummahatul mukminin yang artinya adalah ibu orang-orang mukmin. Haramnya menikahi janda Rasulullah SAW sama dengan haramnya menikahi ibu sendiri.[3]
Dan masih ada beberapa lagi kekhususan Rasulullah SAW. Salah satunya adalah kebolehan beliau untuk tidak menceraikan isteri yang jumlahnya sudah lebih dari 4 orang. Sedangkan umat Islam lainnya, disuruh untuk menceraikan isteri bila melebihi 4 orang.
Sebagaimana kita ketahui di masa lalu dan bukan hanya terjadi pada bangsa Arab saja, para laki-laki memiliki banyak isteri, hingga ada yang mencapai ratusan orang. Barangkali hal itu terasa aneh untuk masa sekarang. Tapi percayalah bahwa gaya hidup manusia di masa lalu memang demikian. Dan bukan hanya tradisi bangsa Arab saja, melainkan semua bangsa. Sejarah Eropa, Cina, India, Afrika, Arab dan nyaris semuanya, memang terbiasa memiliki isteri banyak hingga puluhan. Bahkan para raja di Jawa pun punya belasan selir.
Lalu datanglah syariat Islam yang dengan bijaksana memberikan batasan hingga maksimal 4 orang saja. Kalau terlanjur sudah punya isteri lebih dari empat, harus diceraikan suka atau tidak suka. Kalau kita melihat dari sudut pandang para isteri, justru kita seharusnya merasa kasihan, karena harus diceraikan.
Karena itulah khusus bagi Rasulullah SAW, Allah SWT tidak memerintahkannya untuk menceraikan para isterinya. Tidak ada pembatasan maksimal hanya 4 orang saja. Justru pengecualian itu merupakan bentuk kasih sayang Nabi SAWkepada mereka, bukan sebaliknya seperti yang dituduhkan oleh para orintelis yang hatinya hitam itu. Mereka selama ini menuduh Rasulullah SAW sebagai orang yang haus perempuan, nauzu bilahi min zalik.
Dalam sejarah hidup nabi Muhammad, nabi baru melakukan poligami setelah istri pertama beliau yaitu Khadijah wafat. Selama Khadijah hidup nabi selalu setia menemaninya. Kematian Khadijah merupakan pukulan berat bagi perjuangan dakwah nabi. Setelah kematian Khadijah barulah nabi Muhammad melakukan poligami dengan berbagai alasan dari politik sampai ekonomi yang intinya melakukan perlindungan bagi sang istri juga kerabatnya.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa jumlah istri yang dipoligami nabi lebih dari 4 (total sekitar 11)?. Padahal dalam surat An-Nisa 4 :3 dikatakan maksimal 4. Inilah yang kadang menjadi senjata orang non muslim untuk mengolok-olok nabi Muhammad. Untuk meluruskan persepsi ini alangkah baiknya jika kita melihat lagi ayat An-Nisa 4 : tersebut dibawah ini:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (QS An-Nisa 4 :3).[4]



[2] Lihat kitab Sunan Nasa’ie , larangan menikah lebih dari 4 dalam www. Lidwa.com, diakses pada tanggal 3 Februari 2011
[3] http://blog.klikislam.com/tag/nikah/page/3
[4] Ibid.

Makalah khulul


                 BAB I
                   PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Khulul secara etimologis berasal dari kata hall-yahull-hulûl berarti berhenti atau diam. Menurut Abû Manshûr al-Hallaj dalam tasawuf filosofis menyatakan bahwa khulûl adalah pengalaman spiritual seorang sufi sehingga ia dekat dengan Allah, lalu Allah memilih kemudian menempati dan menjelma padanya. Konsep hulûl dibangun di atas landasan teori lâhût dan nâsût. Lâhût berasal dari perkataan ilâh yang berarti tuhan, sedangkan lâhût berarti sifat ketuhanan. Nâsût berasal dari perkatan nâs yang berarti manusia; sedangkan nâsût berarti sifat kemanusiaan. Menurut Al-Hamdany menyebutkan bahwa, hulul merupakan kepercayaan manusia bahwa Allah bersemayam ditubuh salah seorang yang kiranya bersedia untuk ditempati, karena kemurnian jiwanya dan kesulitan ruhnya. Di antara orang-orang yang menganut aqidah dan kepercayaan itu ialah al-Hallaj yang telah dihalalkan darahnya oleh para alim ulama hingga ia terbunuh. Konsep yang diusung oleh Mansur al-Hallaj dalam praktek pengalaman tasawufnya sebenarnya berpijak dari kedekatannya dengan Tuhan. Kedekatan berikut dengan segala atribut nuansa spiritualnya bertumpu pada konsep teologi yang masih dalam koridor spiritualitas Islam (Islamic Spirituality). Spiritualitas Islam yang senantiasa identik dengan upaya menyaksikan Yang Satu, mengungkap Yang Satu, dan mengenali Yang Satu, Tuhan dalam kemutlakan Realitas-Nya yang melampaui segala manifestasi dan determinasi, Sang Tunggal yang ditegaskan dalam al-Qur’an dengan nama Allah.


BAB II
    PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN KHULUL
Khulul secara etimologis berasal dari kata hall-yahull-hulûl berarti berhenti atau diam. Menurut Abû Manshûr al-Hallaj dalam tasawuf filosofis menyatakan bahwa hulûl adalah pengalaman spiritual seorang sufi sehingga ia dekat dengan Allah, lalu Allah memilih kemudian menempati dan menjelma padanya. Konsep hulûl dibangun di atas landasan teori lâhût dan nâsût. Lâhût berasal dari perkataan ilâh yang berarti tuhan, sedangkan lâhût berarti sifat ketuhanan. Nâsût berasal dari perkatan nâs yang berarti manusia; sedangkan nâsût berarti sifat kemanusiaan. Al-Hallaj mengambil teori khulûl dari kaum Nasrani yang menyatakan bahwa Allah memilih tubuh Nabi Isa, menempati, dan menjelma pada diri Isa putra Maryam. Nabi Isa menjadi Tuhan, karena nilai kemanusiaannya telah hilang. Khulûl Allah pada diri Nabi Isa bersifat fundamental dan permanen. Sedangkan khulul Allah pada diri al-Hallaj bersifat sementara; melibatkan emosi dan spiritual; tidak fundamental dan permanen.
Al-Hallaj tidak menjadi Tuhan dan tidak menyatakan Tuhan, kecuali ucapan yang tidak disadarinya (syathahât). Al-Hallaj tidak kehilangan nilai kemanusiannya. Ia hanya tidak menyadarinya selama syathahât. Adapun tazkiyat al-nafs adalah langkah untuk membersihkan jiwa melalui tahapan maqâmât hingga merasakan kedekatan dengan Allah dan mengalami al-fanâ’ 'an al-nafs. Out put dari tazkiyat al-nafs adalah lâhût manusia menjadi bening, sehingga bisa menerima khulûl dari nâsût Allah.
Pada tahun 301 H/913 M al-Hallaj masuk penjara Baghdad selama 8 tahun karena dituduh terlibat makar dan nodai kesucian agama. Setidaknya ada empat tindakan subversif yang dituduhkan kepadanya. Pertama, ia dituduh memiliki hubungan politik dengan kaum Qarâmithah, gerakan bawah tanah yang hendak menggulingkan pemerintah Abbasiyyah. Kedua, keyakinan al-Hallaj yang mengaku dirinya Tuhan, ketika mengalami syathahât. Ketiga, keyakinan al-Hallaj bahwa ibadah haji bukanlah kewajiban agama yang penting. Dan keempat, keyakinan al-Hallaj tentang wahdat al-adyân (kesatuan agama). Amnesti untuk al-Hallaj tidak terlaksana karena sikap Perdana Menteri yang menghalanginya. Kasus al-Hallaj diputuskan di Mahkamah Syari’ah dengan vonis hukuman mati dan dieksekusi dengan disalib pada tiang gantungan tahun 309 H/922 M. Saya memandang hukum mati yang diberlakukan kepada al-Hallaj lebih karena faktor politik karena sejarah peradaban Islam sangat didominasi oleh politik.
B.     Konsep al-Hulul dalam teorinya Mansur al-Hallaj

1. Sketsa Biografi dan Bangunan Pemikiran Keagamaan Mansur al- Hallaj.
Manshur al-Hallaj lahir di Persia (Iran) pada tahun 224 H/858 M. Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughist al-Husain ibn Mansur ibn Mahma al-Baidlawi al-Hallaj.7 Ayahnya bekerja sebagai pemital kapas. Kakeknya yang bernama Mahma adalah seorang Majusi.8[1] Ketika masih kecil, ayahnya pindah ke Tustar, kota kecil dikawasan Wasith, dekat Baghdad.
Masa kecilnya banyak dihabiskan untuk belajar ilmu keagamaan. Sejak kecil, al-Hallaj mulai belajar membaca al-Qur’an, sehingga berhasil menjadi penghafal al-Qur’an (hafidz). Pemahaman tasawuf pertama kali ia kenal dan pelajari dari seorang sufi yang bernama Sahl al-Tustari.[2] Karena pengembaraannya yang intens, maka ia dikenal sebagai seorang sufi yang berkelana ke berbagai daerah. Berkelananya ke berbagai daerah, mengantarkan ia dapat berkelana, bertmu, berteman dan bahkan berguru kepada para sufi kenamaan pada masa itu.
Menginjak usia 20 tahun, al-Hallaj meninggalkan Tustar menuju kota Basra dan berguru kepada Amr Makki. Untuk memperdalam keilmuannya, seterusnya pindah ke kota Bagdad untuk menemui sekaligus berguru kepada tokoh sufi modern yang termasyhur, yaitu al-Junaid al-Baghdadi. Ia digelari al-Hallaj karena penghidupannya yang dia peroleh dari memintal wol.[3] Dalam sumber lain dijelaskan, bahwa disebut al- Hallaj karena dapat membaca pikiran-pikiran manusia yang rahasia, maka terkenal dengan Hallaj al-Asror, penenun ilmu ghaib.[4]
Selanjutnya, al-Hallaj muda pergi ke kota Makkah. Di kota suci ini, ia menetap selama kurang lebih satu tahun. Selama di kota suci ini ia tinggal dan bermukim di pelataran Masjid al-Haram sambil melakukan praktek kesufiannya. Pada situasi dan kondisi seperti inilah, ia mengalam dan merasakan sebuah pengalaman spiritual yang tiada tara bandingannya. Dalam sebuah pengakuannya, ia telah mengalami pengalaman mistik yang luar biasa, yang pada wacana berikutnya kemudian terkenal dengan istilah khulul.
Pada ujung proses merasakan dan mengalami pengalaman spiritual yang luar bisa tersebut, al-Hallaj memutuskan untuk kembali ke kota Baghdad dan menetap di kota ini sambil terus menyebarkan ajaran tasawufnya. Namun demikian, keadaan menentukan lain dan memaksanya menjadi rakyat yang tertindas dari kekejaman penguasa saat itu. Pada tanggal 18 Dzulkaidah 309 H / 922 M ia ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh pengusa Dinasti Abbasiyah (Khalifah Al-Muktadir Billah). Motive dan latar belakang penangkapan dan vonis hukuman mati ini adalah bermuara dari tuduhan membawa pahamhulul yang dianggap menyesatkan ummat. Sisi lain, al-Hallaj juga dituduh mempunyai hubungan dengan Syiah Qaramitah.[5]
2. Konsep al-Hullul Mansur al-Hallaj
Konsep yang diusung oleh Mansur Al-Hallaj dalam praktek pengalaman tasawufnya sebenarnya berpijak dari kedekatannya dengan Tuhan. Kedekatan berikut dengan segala atribut nuansa spiritualnya bertumpu pada konsep teologi yang masih dalam koridor spiritualitas Islam (Islamic Spirituality). Spiritualitas Islam14 yang senantiasa identik dengan upaya menyaksikan Yang Satu, mengungkap Yang Satu, dan mengenali Yang Satu, Tuhan dalam kemutlakan Realitas-Nya yang melampaui segala manifestasi dan determinasi, Sang Tunggal yang ditegaskan dalam al-Qur’an dengan nama Allah.[6]
Ajaran tasawuf Al-Hallaj yang terkenal adalah konsephulul. Tuhan dipahami mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu setelah manusia tersebut betul-betul berhasil melenyapkan sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuhnya.
Menurut Al-Hallaj bahwa Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu al-lahut (sifat ketuhanan) dan al-nasut (sifat kemanusiaan).[7]
Demikian juga manusia juga memiliki dua sifat dasar yang sama. Oleh karena itu, antara Tuhan dan manusia terdapat kesamaan sifat. Argumentasi pemahaman ini dibangun berdasarkan kandungan makna dari sebuah hadits yang mengatakan bahwa : “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentukNya” sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Ahamad bin Hambal atau Imam Hambali. Hadits ini memberikan wawasan bahwa di dalam diri Adam as terdapat bentuk Tuhan yang disebutal- lahut. Sebaliknya di dalam diri Tuhan terdapat bentuk manusia yang disebutal-nasut.
Berdasarkan pemahaman adanya sifat antara Tuhan dan manusia tersebut, maka integrasi atau persatuan antara Tuhan dan manusia sangat mungkin terjadi. Proses bersatunya antara Tuhan dn manusia dalam pemahaman ini adalah dalam bentukhulul.[8]
Bersatunya antara Tuhan dan manusia harus melalui proses bersyarat, dimana manakala manusia berkeinginan menyatu dengan Tuhannya, maka ia harus mampu melenyapkan sifat al-nasutnya. Lenyapnya sifat al-nasut, maka secara otomatis akan dibarengi dengan munculnya sifat al-lahut dan dalam keadaan seperti inilah terjadi pengalamanhulul.[9]
Untuk melenyapkan sifat al-nasut, seorang hamba harus memperbanyak ibadah. Dengan membersihkan diri melalui ibadah dan berhasil usahanya melenyapkan sifat ini, maka yang tinggal dalam dirinya hanya sifat al-lahut. Pada saat itulah sifat al-nasut Tuhan turun dan masuk ke dalam tubuh seorang Sufi, sehingga terjadilah hulul, dan peristiwa ini terjadi hanya sesaat.
Pernyataan al-Hallaj bahwa dirinya tetap ada, yang terjadi adalah
bersatunya sifat Tuhan di dalam dirinya, sebagaimana ungkapan syairnya :
 “Maha suci zat yang sifat kemanusiaan-Nya membukakan rahasia
ketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian kelihatan bagi makhluknya
dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum”.
Dalam syair di atas tampak Tuhan mempunyai dua sifat dasar ke- Tuhanan, yaitu “Lahut” dan “Nasut”. Dua istilah ini oleh al-Hallaj diambil dari falsafah Kristen yang mengatakan bahwa Nasut Allah mengandung tabiat kemanusiaan di dalamnya. Dalam konsep hulul al-Hallaj dimana Tuhan dengan sifat ketuhanan menyatu dalam dirinya, berbaur sifat Tuhan itu dengan sifat kemanusiaan.
Penyatuan antara roh Tuhan dengan roh manusia dilukiskan oleh
al-Hallaj di dalam syairnya sebagai berikut :
 “JiwaMu disatukan dengan jiwaku, sebagaimana anggur dicampur dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu dalam setiap keadaaan Engkau adalah aku”.[10]
Bahkan didalam syairnya yang lain, al-Hallaj melukiskan dengan
sangat jelas bahwa :
 “Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucinta adalah aku.
Kami adalah dua roh yang bersatu dalam satu tubuh. Jika engkau lihat
aku, engkau lihat Dia, dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat kami”.[11]
Tatkala peristiwa hulul sedang berlangsung, keluarlah syatahat (kata-kata aneh) dari lidah al-Hallaj yang berbunyi Ana al-Haqq (Aku adalah Yang Maha Benar). Kataal-Haq dalam istilah tasawuf, berarti Tuhan. Sebagian masyarakat saat itu menganggap al-Hallaj telah kafir, karena ia mengaku dirinya sebagai Tuhan. Padahal yang sebenarnya, dengan segala kearifan dan kerendahan hati spiritualnya, al-Hallaj tidak mengaku demikian. Perspektif ini dibangun berdasarkan ungkapan syairnya yang lain dengan mengatakan bahwa :
 “Aku adalah Rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku, aku hanya satu dari yang benar, dibedakanlah antara kami atau aku dan Dia Yang Maha Benar”.
Dalam pengertian lain dapat diungkapkan bahwa syatahat yang keluar dari mulut al-Hallaj tidak lain adalah ucapan Tuhan melalui lidahnya.[12]
Dengan ungkapan ini, semakin tidak mungkin untuk memahami bahwa maksud al-Hallaj dengan hululnya dalam berbagai syairnya adalah dirinya al-Haq. Jadi karena sangat cintanya kepada Allah menjadikan tidak ada pemisah antara dirinya dengan kehendak Allah, seolah-olah dirinya dan Tuhan adalah satu. Sebagaimana diungkapkan dalam syairnya : “Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku”.[13]
Seandainya apa yang dikemukakan oleh Harun Nasution, tentang tafsiran al-Hallaj mengenai perintah Tuhan agar sujud kepada Adam (QS. 2 : 34) adalah pendapat yang sebenarnya yang dimaksud oleh al-Hallaj, tentu ini pandangan yang sesat. Karena apabila masuk ke jiwa seseorang misalnya Isa, maka jadilah Tuhan semisal Isa, ini bertentangan dengan firman Allah “Laisa kamitslihi syaiun”. Apabila dengan masuknya Tuhan ke dalam diri manusia tidak dengan tidak mengurangi keberadaan Tuhan, maka berarti ada dua Tuhan atau sekurang-kurangnya belahan Tuhan yang dapat dinamakan dengan anak Tuhan sebagaimana yang disebut penganut Kristen sekarang, tentu ini sangat bertentangan dengan Al-Qur’an Surat Al-Ikhlash.
Namun pendapat al-Hallaj bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan itu akan masuk ke dalam diri manusia dengan jalan fana’ yaitu dengan menghilangkan sifat kemanusiaan, hal ini dapat diterima. Sebagaimana menurut al-Hallaj ia bukanlah Yang Maha Benar, tetapi hanyalah satu dari yang benar. Jadi menurutnya, ia bukan Tuhan. Oleh karena itu yang lebih tepat dalam manafsirkan atau memahami ajaran al- Hallaj adalah bahwa menurutnya, Tuhan mengisi diri manusia-manusia tertentu dengan sifat ketuhanan, maka jadilah manusia itu satu dari yang benar, dialah manusia yang memiliki / dikaruniai sifat Tuhan
C.    AL-HULUL DALAM TASAWUF
A. Sejarah Al-Khulul
Doktrin al-Hulul adalah salah satu tipe dari aliran tasawuf falsafi dan merupakan perkembangan lanjut dari paham al-Ittihad. Konsepsi al-Hulul pertama kali ditampilkan oleh Husein Ibn Masur al-Hallaj yang meninggal karena dihukum mati di Baghdad pada tahun 308 H, karena paham yang ia sebarkan itu dipandang sesat oleh penguasa pada masa itu.
   B. Pengertian Al-Khulul
Pengertian al-khulul secara singkat ialah Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat-sifat kemausiaannya melalui fana dan ekstase.
Menurut Al-Hamdany (Sanggahan Terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi. 1969, Hal : 19) menyebutkan bahwa, hulul merupakan kepercayaan manusia bahwa Allah bersemayam ditubuh salah seorang yang kiranya bersedia untuk ditempati, karena kemurnian jiwanya dan kesulitan ruhnya. Di antara orang-orang yang menganut aqidah dan kepercayaan itu ialah al-Hallaj yang telah dihalalkan darahnya oleh para alim ulama hingga ia terbunuh.

C. Konsep Ajaran Al-Khulul
Menurut al-Hallaj manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat ketuhannan atau lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut. Demikian juga halnya tuhan memiliki sifat ganda, yaitu sifat-sifat Ilahiyat dan lahut dan sifat Insaniyah atau nasut. Apabila seseorang telah dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dan mengembangkan sifat-sifat Ilahiyatnya melalui fana, maka Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan dan inilah yang dimaksud dengan hulul.
Teori lahut dan nasut ini, berangkat dari pemahamannya tentang proses kejadian manusia. Al-Hallaj berpendapat bahwa Adam sebagai manusia pertama diciptakan Tuhan sebagai copy dari diri-Nya – shurah minn nafsih – dengan segenap sifat dan kebesarannya, sebagaimana ia ungkapkan dalam syairnya.
“Maha suci dzat yang menampakkan nasut-nya, Seiring cemerlang bersama lahut-Nya, Demikian padu makhluk-Nya pun terlihat nyata, Seperti manusia yang makan dan minum layaknya”.
Konsepsi lahut dan nasut ini didasarkan al-Hallaj pada firman Allah dalam Surah al-Baqarah 34, menurut pemahamannya, adanya perintah Allah agar malaikat sujud kepada Adam itu adalah karena Allah telah menjelma dalam diri Adam sehingga ia harus disembah sebagaimana meyembah Allah. Bagaimana gambaran hulul itu dapat dipahami dari ungkapan al-Hallaj berikut ini:
Berbaur sudah sukma-Mu dalam rohku jadi satu,
Bagai anggur dan air bening berpadu,
Bila engkau tersentuh, tertusuk pula aku,
Karena ketika itu, Kau dalam segala hal adalah aku.
Aku yang kurindu, danyang kurindu Aku jua,
Kami dua jiwa padu jadi satu raga,
Bila kau lihat aku, tampak jua Dia dalam pandanganmu,
Jika kau lihat Dia, kami dalam penglihatanmu tampak nyata.
Dari ungkapan di atas, terlihat bahwa wujud manusia tetap ada dan sama sekali tidak hancur atau sirna. Dengan demikian, nampaknya paham hulul ini bersifat figuratif, bukan riel karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalam kondisi fana dalam iradat Allah. Manusia diciptakan Tuhan sesuai dengan citra-Nya, maka makna perpaduan itu adalah munculnya citra Tuhan ke dalam citraNya yang ada dalam diri manusia, bukan hubungan manusia dengan Tuhan secara riel. Oleh karena itu, ucapan ana al-haqq yang meluncur dari lidah al-Halaj, bukanlah ia maksudkan sebagai pernyataan bahwa dirinya adalah Tuhan. Sebab, yang mengucapkan kalimat itu pada hakikatnya adalah Tuhan juga tetapi melalui lidah al-Hallaj. Interpretasi ini sesuai pula dengan pernyataan al-Hallaj dalam syair berikut:
“Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, aku bukanlah Yang Maha Benar”.




BAB III
         PENUTUP
    KESIMPULAN
Khulul secara etimologis berasal dari kata hall-yahull-hulûl berarti berhenti atau diam, Menurut Abû Manshûr al-Hallaj dalam tasawuf filosofis menyatakan bahwa hulûl adalah pengalaman spiritual seorang sufi sehingga ia dekat dengan Allah, lalu Allah memilih kemudian menempati dan menjelma padanya, Konsep yang diusung oleh Mansur al-Hallaj dalam praktek pengalaman tasawufnya sebenarnya berpijak dari kedekatannya dengan Tuhan. Kedekatan berikut dengan segala atribut nuansa spiritualnya bertumpu pada konsep teologi yang masih dalam koridor spiritualitas Islam (Islamic Spirituality), Menurut al-Hallaj manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat ketuhannan atau lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut. Demikian juga halnya tuhan memiliki sifat ganda, yaitu sifat-sifat Ilahiyat dan lahut dan sifat Insaniyah atau nasut.




DAFTAR PUSTAKA
Azra Azyumardi, et. Al., Ensiklopedia Islam, Jakarta, PT Ichtiar Baru van Hoeve, Cetakan X, 2002.
al-Syaiby Musthafa, Syarah al-Diwan li al-Hallaj (Beirut : Maktabah An- Nahdhoh, 1974)

Hadi M. Abd. W., dalam pengantar Saleh Abdul Sabur, Tragedi al-Hallaj, Pustaka, Bandung, 1976, viii.

Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam (Jakarta, Raja Grafindo, 1997).


Joebar Ajoeb, dalam pengantar Ibrahim Gazur I-Ilahi, The Secret of Ana L-Haqq, (Jakarta : Rajawali, 1986

Siregar Rivay. 2000. Tasawuf : Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufieme. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada

Said bin Abdullah Al-Hamdany. 1969. Sanggahan Terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi. Bandung : Pelit










[1] Kamil Musthafa al-Syaiby, Syarah al-Diwan li al-Hallaj (Beirut : Maktabah An-
Nahdhoh, 1974), 19
[2] Azyumardi Azra, et. Al., Ensiklopedia Islam, Jakarta, PT Ichtiar Baru van Hoeve, Cetakan X, 2002, hal. 74.
[3] M. Abd. Hadi W., dalam pengantar Saleh Abdul Sabur, Tragedi al-Hallaj, Pustaka,
Bandung, 1976, viii.
[4] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam (Jakarta, Raja Grafindo, 1997)

[5] Syiah Qaramitah adalah sebuah kelompok Syiah beraliran garis keras yang dipimpin
[6] Sulaiman Al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym, Semarang, Pustaka Nuun, 2004, hal. 4
[7] Azyumardi Azra, ibid.
[8] Ibid.
[9] M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999, hal. 57
[10] Ajoeb Joebar, dalam pengantar Ibrahim Gazur I-Ilahi, The Secret of Ana L-Haqq,
(Jakarta : Rajawali, 1986), 21
[11] Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1973), 90.
[12] Azyumardi Azra, et.al.,Log.cit, hal. 75

Rangkuman Buku filsafat analitik

RANGKUMAN
BUKU FILSAFAT ANALITIK
BAB I
PENDAHULUAN
Saya akan merangkum buku yang berjudul Filsafat Analitik yang di tulis oleh Drs. Rizal Mustansyir pada tahun 1987 dijakarta utara. Jumlah buku ini tebalnya 127 halaman    dengan sistematis sebagai berikut coper,hak cipta, kata pengantar, daftar isi, isi, dan daftar pustaka,  dengan 6 Bab, akan tetapi dalam rangkuman ini saya hanya akan merangkum Bab 4, Bab 5 dan Bab 6.
     BAB II
PEMBAHASAN
PENYEBAR BENIH FILSAFAT ANALITIK
Kalau ada orang yang menganggap analisa bahasa merupakan hal yang baru dalam arena filsafat, maka anggapan yang demikian itu sebenarnya kurang tepat. Sebab kendati analisa bahasa baru dicanangkan sebagai suatu metode dalam berfilsafat oleh Wittgenstein pada keduapuluh ini, tetapi benih analisa bahasa itu sendiri sesungguhnya sudah ada dalam pemikiran filsuf terdahulu. Kita akan coba menurut jejak pemikiran para filsuf itu dan menunukan ide mereka yang ada kesamaannya dengan filsafat analitik. Ide tersebut baik disengaja maupun tidak di sengaja, diambil oleh tokoh-tokoh filsafat analitik dan dikembangkan sesuai dengan pola pemikiran mereka masing-masing. Oleh karena itu perkembangan filsafat analitik hingga mencapai taraf sekarang ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari ide yang pernah dilontarkan oleh para filsuf terdahulu. Meskipun para filsuf terdahulu itu belum lagi menjadikan analisa bahasa sebagai satu-satunya objek pemikiran mereka, namun dalam pemikiran mereka itu kita dapat melihat cuatan-cuatan ide yang bercirikan filsafat analitik. Jadi baik disengaja ataupun tidak mereka telah menanamkan saham yang tidak kecil bagi perkembangan analitik. Hal yang demikian itu merupakan suatu pertanda ada pertautan erat antara sejarah pertumbuhan filsafat analitik dengan sejarah perkembangan filsafat secara umum. Filsuf yang dapat dianggap sebagai penyebar benih filsafat analitik itu antara lain Socrates, aristoteles, Descartes, david hume. Imanuel kant, George Edward Moore
1.      Socrates (469-399)
Filsuf piawai dari Athena ini hidup pada masa filsafat hanya dipakai sebagai lidah kaum sofis. Kaum sofis inilah yang membawa perubahan terhadap corak pemikiran filsafat yang semula terarah pada alam semesta, menjadi corak berpikir filsafat yang terarah pada teori pengetahuan dan etika.
Dalam situasi yang kacau itulah Socrates tampil ke arena filsafat untuk
menghadapi pengaruh kaum sofis. Metode yang dipakai Socrates untuk menghadapi kelihaian silat lidah kaum sofis itu dikenal sebagai metode dialektik-kritis.
Dengan memakai metode dialektik-krisis ini Socrates berhasil mengalahkan kaum sofis, dalam banyak perdebatan yang mereka lakukan. Disini kita melihat, tujuan utama Socrates adalah menjernihkan pebagai pengertian yang selama ini dikacaukan oleh kaum sofis. Atau dengan kata lain, metode dialektik-kritis yang dipakai Socrates itu dimaksudkan untuk menyembuhkan kekacauan yang terjadi dalam arena filsafat pada masa itu, yang ditimbulkan oleh kaum sofis. Kedua hal tersebut aspek penyembuhan terhadap kekacauan dalam filsafat dan tidak memiliki objek sendiri termasuk orang penyebar benih filsafat analitik yang handal pada zamannya.
2.      Aristoteles (384-322)
Filsuf piawai kelahiran stegeira ini termasuk salah seorang cucu murid Socrates yang paling jenius dalam bidang filsafat. Ia telah banyak menulis karya filsafat, salah satu diantara sekian banyak karyanya, organon merupakan sumbangan paling berharga bagi bidang filsafat analitik. Karya tersebut berisikan aturan fikir yang sekarang lebih dikenal istilah logika. Pokok persoalan yang dibahas Aristoteles dalam organon atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama logika tradisional itu meliputi pengertian dan penggolongan artian, keterangan, batasan, susunan fikir, penyimpulan langsung dan fikir, adalah butir-butir pemikiran yang bertaut erat dengan bahasa. Dengan mempelajari aturan fikir yang diajukan aristoteles itu, suatu bentuk pelajaran deduktif kita dapat memperoleh keputusan yang terjamin keabsahannya.
Dengan demikian upaya sebagian besar filsuf analitik untuk meneraokan penggunaan bahasa logika kedalam bidang filsafat, secara nyata telah memperlihatkan pengaruh pemikiran Aristoteles, terutama dalam bidang logika. Kendatipun bidang logika dalam kurun waktu belakangan ini telah mengalami perkembangan yang cukup sangat pesat (dinamakan logika modern atau logika simbolik), namun dasar-dasar pemikiran yang digariskan Aristoteles (dinamakan logika tradisional atau logika Aristoteles) sebelumnya masih tetap merupakan bahan pemikiran yang actual dalam dunia filsafat pada umumnya. Oleh karena itu Aristoteles tidak saja dapat dianggap sebagai penyebar benih bagi filsafat anallitik, akan tetap juga peletak dasar yang kuat bagi perkembangan Atomisme logik dan positivisme logik.
3.      Rene Descartes (1596- 1650)
Filsuf perancis ini dijuluki sebagai “Bapak filsafat modern”, karena ia menempatkan akal fikir (rasio) pada kedudukan yang tertinggi, satu hal yang memang didambakan oleh manusia di zaman modern. Filsafat Descartes terutama tentang konsep manusia bersifat dualisme. Ia menganggap jiwa dan badan sebagai dua hal yang terpisah. Konsep Descartes tentang manusia ini kelak akan dikritik habis-habisan oleh salah seorang tokoh aliran filsafat bahasa biasa, Glbert Ryle. Tidak tanpa disadari, barang kali juga tidak dikehendakinya, Descartes telah memberikan rangsangan pada ryle untuk mengritik konsep tentang manusia itu menyryt kaca mata analisa bahasa. Untuk mendapkan suatu pengetahuan yang tidak diragukan lagi kebenarannya, Descartes menggariskan empat langkah atau aturan sebagai berikut :
            a.Kita harus menghindari sifat tergesah-gesah dan prasangka dalam mengambil suatu keputusan, dan hanya menerima yang dihadirkan pada akal secara jelas dan tegas sehingga mustahil disangsikan.
            b. setiap persoalan yang diteliti, dibagikan dalam sebanyak mungkin bagia sejauh yang diperlukan bagi pemecahan yang memadai.
            c. mengatur fikiran yang sedemikian rupa dengan bertitik tolak dari objek yang sederhana sampai pada objek yang lebih kompleks. Atau dari pengertian yang sederhana dan mutlak sampai pada pengertian yang kompleks dan nisbi.
            d. setiap permasalahan ditinjau secara universal atau menyeluruh, sehingga tidak ada yang dilalaikan.
            Langkah-langkah yang diajukan oleh Descartes dalam upaya untuk memperoleh kebenaran itu pada prinsipnya bersifat analitik, terutama langkah kedua dan pula dalam pemikiran para filsuf analitik, khususnya dalam konsep Atomisme logika russel dan wttgenstein. Kedua tokoh ini menyakini bahwa realitas itu dapat dipecah menjadi beberapa fakta atomik. Setiap fakta atomik dapat diungkapkan kedalam proposisi elementer, da sesuai dengan objek putamanya itu bahasa, makna para filsuf analitik itu tidak mengarahkan teknik analisa itu pada fakta atomik sebagai objek pembahasan, melainkan yang proposisi elementer. Akan tetapi perbedaan yang paling jelas antara penerapan teknik analisa Descartes dengan para filsuf analitik yaitu “Descartes menggunakan jalan akal yang natural, tanpa teknis dan logis.
4.      David Hume (1711-1776)
Tokoh empirisme yang berasal dari Inggris ini menganggap pengalaman sebagai yang paling memadai untuk mencapai kebenaran. Bagi Hume, sumber segala pengertian filosofis itu adalah pengaaman inderawi yang meliputi isi pengertian, hubungan antara pengertian. Pandangan yang demikian jelas bertentangan dengan pandangan dercartes yang lebih mempercayai akal sebagai sarana untuk mencapai kebenaran. Meski Hume mengakui bahwa sikap skeptis secara metodis dari Descartes berguna untuk memerangi metafisika, namun ia tidak mempercayai sikap setiap skeptis itu dapat membahayakan akal sehat, sikap Hume yang secara tegas menolak sikap metafisika itu kelak akan mewarnai pula corak pemikiran kaum pofitivisme logis.
Sumbangan Hume lainnya bagi pertumbuhan filsafat analitik adalah pandangannya mengenai ide sederhana dan ide kompleks. Bagi Hume, ide yang sederhana itu adalah coppy dari perasaan yang sederhana . Selanjutnya, dalam upaya menyingkirkan istilah-istilah kosong, artinya meneliti ide-ide kompleks yang lazim digunakan, apakah ide itu dapat dikembalikan pad aide sederhana yangmembentuknya maka istilah itu tidak mempunyai arti. Cara pembersihan yang diajukan Hume, akan dikembangkan oleh kaum positivisme dalam analisa bahasa menjadi suatu prinsip pentasdikan, Hume tidaklah menerapkan cara pembersihan ini dalam lingkup bahasa, melainkan dalam lingkuo kesan-kesan yang didasarkan atas pengalaman, sedangkan kaum positivism logic, menerapkan prinsip ini dalam lingkup bahasa, selain didasarkan atas dan pengamatan yang telah diterima dalam bentuk yang menterjemahkan, dalam ukuran yang sangat berbeda dalam halnya empirisme.

5.      Immanuel Kant (1724-1804)
              Menurut Kant, pengetahuan yang dihaasilkan oleh kaum Rasionalisme tercermin dalam  putusan yang bersifat analitik. Dalam hal ini Kant menunjuk pada tiga bidang sebagai tahapan yang harus dilalui, yaitu:
         a. Bidang Inderawi ; disini peranan subjek lebih menonjol, namun harus ada dua bentuk murni yaitu “ruang” dan “waktu” yang dapat bisa  diterapkan pada pengalaman
         b. Bidang akal; apa yag telah diperoleh melalui bidang Inderawi tersebut untuk pengetahuan yang bersipat objektif
          c. Bidang Rasio; pengetahuan yang telah diperoleh dalam bidang akal itu baru dapat dikatakan sebagai putusan. Namun ketiga macam tersebut ide sendiri itu tidak mungkin dapat dicapai oleh akal pikir manusia. Ke tiga ide ini hanya merupakan petunjuk untuk menciptakan kesatuan pengetahuan.
      6. George Edward Moore (1873-1958)
            Pemikiran moore inilah benih filsafat analitik yang menampakan tunasnya kendati moore belum bagi mencanangkan analisa bahasa sebagai satu-satunya metode bagi filsafat , selanjutnya moore menjelaskan, tugas filsafat bukanlah penjelasan ataupun penafsiran tentang pengalaman kita melainkan memberikan penjelasan terhadap suatu konsep yang siap untuk diketahui,
            Corak pemikiran moore seperti yang telah dipaparkan diatas itu, kelak akan disebar luaskan dan dikembangkan secara rinci oleh para filsuf analitik. Baik secara terang-terangan maupun tidak, telah mengakui pengaruh pemikiran moore dalam filsafat

ALIRAN DALAM FILSAFAT ANALITIK
Pada umumnya aliran yang ada dalam filsafat analitik itu memiliki titik tolak yang berbeda tentang masalah penggunaan bahasa bagi maksud-maksud filsafat.
“Pertama” mereka yang berpandangan bahwa bahasa biasa itu cukup memadai untuk maksud filsafat. Kelemahannya terletak pada penyimpanan terhadap penggunaan bahasa biasa.
“Kedua” mereka yang berpandangan bahwa bahasa biasa itu tidak cukup memadai bagi maksud filasafat. Karena bahasa itu mengandung kekaburan, berdasarkan dua titik tolak yang berbeda tentang penggunaan bahasa bagi maksud filsafat, corak pemikiran aliran yang bersangkutan dengan teknik analisa bahasa yang mereka terapkan
A.    ATOMISME LOGIK
Aliran ini mulai dikenal untuk pertama kali pada tahun 1918 melalui tulisan-tulisan dn kemudian pada puncaknya dalam pemikiran-pemikiran
            Atomisme logic ini adalah suatu paham atau ajaran yang berpandangan bahwa bahasa itu dapat dipecah menjadi proposisi-proposisi atomic atau proposisi elementer, melalui teknik analisa logic atau analisa bahasa. Setiap proposisi atomic atau ungkapan keperibadaan suatu fakta atomic, yaitu bagian terkecil dari realitas. Dengan pandangan yang demikian itu, kaum atomisme logic bermaksud menunjukan adanya hubungan yang mutlak antara bahasa dengan realitas.
B.     Konsep Atomisme logic Bertand Russel (1872-1970)
Pada umumnya Russel mengikuti garis pemikiran moore sebagai upaya untuk menentang pengaruh kaum Hegelian di inggris bertitik tolak pada akal sehat, namun dalam perkembangan pemikiran selanjutnya. Corak logic dengan bertitik tolak pada bahasa logika, russel bermaksud menentukan corak logic yang terkandung dalam suatu ungkapan. Oleh karena itu Russel adanya perbedaan corak logic ini melalui perbandingan antara dua kalimat yang struktur bahasanya sama, namun memiliki struktur logic yang berbeda.
Menurut Russel analisa bahasa yang benar itu dapat menghasilkan pengetahuan ynag benar pula tentang dunia, karena unsure paling kecil bahasa merupakan unsur paling kecil dari dunia fakta. Atau dengan kata lain, ada kesamaan antara struktur dunia fakta atau realita di satu pihak dan dunia fakta (bahasa) atau symbol dipihak lain: ada insomorfi (kesepadaan) antara unsure bahasa dan unsur kenyataan. Prinsip isomorfi ini berkaitan erat dengan dasar acuan bagi suatu kata atau ungkapan. Dengan memberikan dasar acuan itu russel menganggap telah “mengisi” setiap pernyataan dengan fakta.
Bahasa logika sebagaimana halnya dengan russel, Wittgenstein bertitik tolak pada bahasa logika untuk merumuskan persoalan filsafat. Dalam pendahuluan tractatus, ia mengatakan bahwa cara merumuskan persoalan filsafat (oleh para filsuf terdahulu, pen.)
Menurut Wittgenstein salah satu fungsi filsafat adalah menunjukkan sesuatu yang tidak dapat dikatakan (atau difikirkan) dengan menghadirkan secara jelas sesuatu yang dapat dikatakan. Oleh karena itu baginya, suatu karya filsafat seharusnya mengandung penjelasan. Apa yang dihasilkan dari suatu karya filsafat, melainkan membuat ungkapan itu terjadi.
Dengan demikian, sejarah filsafat mencatat tradisi analisa bahasa yang sesungguhnya terdaoat dalam pemikiran moore-russel-wittgenstein positivism logic hanya dianggap sebagai suatu penyelangan dari tradisi analisa yang sesungguhnya dari tokoh filsafat analitik tersebut, lantaran corak positif yang di terapkan dalam teknik analisa bahasa itu boleh kaum positivisme logic begitu ketat dan kaku, maka ada  untuk yang tmenilai bahwa “bahwa kaum positivisme logic ini telah membekukan metode filsafat moored an Wittgenstein itu menjadi suatu dogma”. Namun harus diakui, atas jasa kaum positivisme logic ini pulalah, filsafat analitik menjadi lebih dikenal oleh lingkungan filsafat. Salah seorang tokoh positivisme logic yang berhasil membuat filsafat analitik inindikenal diluar inggris adalah A.J. Ayer. Oleh karena itu pembincangan mengenai teknik analisa bahasa positivisme logic dalam tulisan ini banyak menyoroti pemikiran Ayer yang termuat dalam bukunya language, Truth and logic.
Titik-tolak ayer untuk menghapuskan metafisika dari kancah filsafat selain didasarkan pada prinsip juga didasarkan pada gagasan russel mengenai aturan-aturan tatabahasa terhadap keniscayaan-keniscayaan logic. Sebagai contoh Ayer menunjukan kasus umum terjadi dalam bahasa inggris yaitu, disaat kita menggambarkan sesuatu melalui penggunaan bentuk tatabahasa dari subjek dan predikat.
Disitu kita cenderung menganggap bahwa ada keharusan untuk membuat suatu perbedaan logic antara sesuatu yang digambarkan itu sendiri dengan sifat-sifat pengertiannya. Dengan cara pengertian itu Ayer bermaksud melibatkan teknik-teknik analisa itu terhadap struktur bahasa yang kita gunakan.
Mengarahkan filsafat sebagai pendamping ilmu pengetahuan, artinya tujuan analisa filsafati adalah mengantar kita kearah suatu pandangan posotivistik mengenai filsafat. Filsafat harus berkembang kearah logika ilmiyah yaitu, kegiatan yang memperlihatkan pertalian logis dari hipotesa-hipotesa dan pembatasan simbol-simbol yang terdapat didalamnya. Dalam bentuk yang bersangkutan dengan ilmuan-ilmuan filsafat yang ada pada kejanggalan dalam melakukan penelitian filsafat  dapat membentuk karakter hidup. Pada permasalahan yang telah terjadi pada saat yang memungkinkannya.
            Di samping peranannya sebagai bidang filsafat khusus, filsafat analitik juga ini merupakan salah satu dari aliran filsafat. Dalam kedudukannya sebagai aliran filsafat, filsafat analitik setarap dengan aliran filsafat lainnya, seperti Rasionallisme, Empirisme, Kritisisme, Idealisme, dan lain-lain. Sebagaimana halnya setiap aliran filsafat yang memperlihatkan kekhasannya melalui metode yang yang dijalankan, maka filsafat analitik ini pun memiliki aspek metodis yang khas, yaitu metode analisa bahasa.
            Peranan yang dimainkan filsafat analitik ini disatu pihak sebagai bidang filsafat khusus, dipihak lain sebagai suatu aliran filsafat menjadikannya berbeda dari bidang filsafat dan aliran filsafat lainnya. Peranan ganda yang dimainkan oleh filsafat analitik inilah yang sesungguhnya menimbulkan permasalahan dalam “tubuh” filsafat analitik itu sendiri. Permasalahan itu terutama berkisar pada perbedaan yang timbul diantara para flsuf analitik itu sendiri dalam menentukan penggunaan bahasa yang dianggap tepat dan memadai bagi maksud-maksud filsafat. Para penganut atomisme ligik dan positivism logic misalnya, menganggap bahasa logika lebih sesuai bagi maksud-maksud filsafat, sedangkan penganut bahasa biasa, menganggap bahasa biasa cukup memadai bagi maksud-maksud filsafat. Penentuan titik tolak penggunaan bahasa bagi maksud-maksud filsafat yang berbeda di antara para filsuf analitik inilah yang menimbulkan kesulitan untuk menentukan batas ruang lingkup kegiatan flsafat analitik.
            Terlepas dari segala kelemahan yang terdapat dalam metode analisa bahasa itu, sebenarnya kita dapat mengambil manfaat yang sangat berharga dengan kehadirannya di tengah kancah filsafat. Beberapa manfaat yang kiranya perlu yang menjadi bahan pemikiran kita yang mengeluti masalah filsafat meliputi antara lain:
pertama ; sikap kritis yang diperlihatkan oleh para filsuf analitik terhadap kebanyakan ungkapan atau istilah flsafat yang “aneh” dan membngungkan (misalnya; kritik yang dilontarkan moore terhadap kaum) merupakan bekal yang sangat berharga bagi mereka yang ingin terjun ke kancah filsafat. Sikap yang demikian itu membuat kita tidak akan menelan mentah-mentah setiap konsep filsafat yang kita pelajari bahkan kita dituntut untuk mempertimbangkannya melalui pemikiran yang jernih, dan menghormati “akal sehat” dalam menyimpilkan pelbagai pendapat atau putusan filsafat.
Kedua ;menyadarkan pada kita akan besarnya peranan logika untuk memperoleh atau menarik kesimpulan yang sahih (valid), sehingga keterkaitan yang erat antara bidang logika dengan bahasa. 
Dalam bahasa hal ini digunakan bagi maksud-maksud filsafat mengandung alasan yang kuat. Kendati penganut Atomisme logic dan mengenai bahasa logika sbagai satu-satunya sarana yang paling memadai bagi filsafat agak berlebihan, namun dalam batas kewajan tertentu kita dapat menerima alasan logis sebagai pendukung atau penunjang putusan filsafat yang benar. Dengan demikian kita dilatih atau dituntut untuk berfikir secara teratur.
Ketiga; prinsip pentadiskan (perification principle) yang diajukan oleh kaum positivisme logik (khususnya Ayer) merupakan merupakan cara yang baik untuk melepaskan pemikiran kita dari pernyataan semu. Pernyataan semu inilah yang membuat bidang filsafat dijauhi  seperyi yang oleh kebanyakan ahli ilmu pengetahuan, sebab pernyataan seperti itu dianggap tidak mengandung”napas ilmiah” yang tidak dapat dibuktikan benar atau salahnya.
Keempat; tugas utama filsafat analitik yang ditekankan pada aspek penyembuhan bahasa (Therapeutick), sebagaimana diajukan wittgenstein, mengandung aplikasi jadi pembenahan penggunaan bahasa filsafat. Dengan demikian tidak terjebak didalam teka-teki filsafat yang penuh mengandung misteri, yang tak mungkin untuk dipecahkan. Sedikitnya kita punya alasan untuk menghindari diri dari filsafat yang tidak mungkin untuk dijawab.
Kelima; penekanan pada penggunaan bahasa biasa bagi maksud-maksud filsafat seperti yang disarankan oleh penganut filsafat bahasa biasa (wittgenstein II, Ryle, dan austin.), pembuka peluang yang lebih besar bagi kita untuk memiliki menyelidiki sendiri perbagai masalah yang relavan dengan kehidupan kita sehari-hari. Terutama konsep austin tengtang tindakan bahasa (speech acts), merupakan “lahan” penelitian filsafat analitik yang luas dan menarik. Sebab kita dapat melihatkan, disecara langsung untuk membuktikan keselarasan antara isi tuturan dengan tindakan yang dilakukan, sebagai cermin tanggung jawab sipenutur terhadap isi tuturannya.
            Semjua contoh diatas merupakan tindakan illokusi, sebab dalam berjanji dan menyarankan. Namun dalam tindakan illokusi itu terkebih dahulu harus dilihat apakah situasi dan kondisi yang melingkupi memang sesuai dengan isi tuturan. Sebab manakal isi tuturan tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya, mak tindakan illokusi itu tindakan akan dapat mencerminkan tanggung jawab si penutur.
            Apabila ada hal tersebut tidak ada atau tidak sesuai dengan kenyataan, berarti berarti tindakan illokusi itu tidak akan mencerminkan tanggung jawab isi penutur terhadap isi tuturannya. Akibatnya timbul kejanggalan hal yang bersifat tidak semestinya dalam pengungkapan isi tuturan itu, padahal tindakan akan diselenggarakan atau yang dimaksud itu telah usai isi tuturan yang diungkapkan dan sangatlah tidak bertanggung jawab tidak memiliki peluang atau kemungkinan untuk menghadirinya, mungkin lantaran itu harus menjalankan tugasnya.
            Namun perlu kita ketahui bahwa “siyuasi atau keadaan yang dikemukakan diatas bukanlah merupakan syarat bagi tindakan illukasi, keadaan itu dibutuhkan tindakan illukasi yang wajar dan bertanggung jawab, keadaan itu tidak dapat dianggap sebagai syarat yang mutlak bagi tindakan illukasi, karena mungkin saja dalam kasus tindakan illukasi tertentu  sipenutur memang tidak mengetahui berlakunya keadaan yang demikian.
BAB III
PENUTUP
1.      Kritik
Dalam buku yang saya rangkum ini banyak kata yang memakai kata yang bersangkutan dengan kata-kata sulit dan tidak dapat dimengerti dan memahaminya.
2.      Saran
Buku ini sangat baik untuk para siswa para guru dan calon guru, dan dapat dijadikan modal untuk mendidik para siswa.
3.      Daftar Pustaka
Mustansyir , Rizal. 1987. Filsafat analitik. Jakarta utara: PT Raja grafindo persada